Dan kini ia berdiri selangkah di depanku.Aku harus mendongakan kepala jika ingin membalas tatapan horornya.Lalu, seperti tentakel Formes, tangan makhluk itu pelan-pelan terulur ke arahku.Sesaat aku bingung harus bertindak apa.Aku masih nggak ingin menginggalkan spot tempatku berdiri untuk kabur dari makhluk ini.“Hihh!” seruku dengan kencang.Aku nekad menyambut tangannya.Tangan itu terasa sangat dingin.Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi aku terus menyalurkan energi hangat yang berlawanan dengan energi dingin yang ada di tubuhnya.Tapi, ia juga tak menyerah, aku merasakan perlawanan dari tubuhnya.Makhluk itu mengangkat tangan yang lain untuk mendeteksi kekuatanku. Tapi, aku menggunakan tangan lain untuk menghadang tujuannya dengan kembali menyalurkan energi hangat ke tubuhnya yang sedingin bongkahan es.“Hah!” teriakku tercekat.Mataku membelalak maksimal ketika dari punggungnya tangan lain muncul.Dan lebih gawatnya, tangan yang muncul bukan hanya satu, tapi ....Dua.Tiga.E
Daffar mengikuti apa yang kulakukan dengan kembali merapikan tempat ini ala kadarnya dengan gerakan cepat.Sinna dan suaminya yang tidur berhimpitan di sofa belum menunjukkan tanda-tanda akan segera bangun.Aku meraba saku ketika hendak duduk di sofa yang berada di ruang tamu.Ah! Telepon genggamku tertinggal dalam mobil Daffar. Aku terlalu terburu dan panik hingga melupakan benda itu.“Kita pakai telepon genggamku dulu,” ujar Daffar yang membaca gerak-gerikku.Aku mengangguk pelan, lalu duduk di sofa itu sambil masih menggendong bayi Sinna. Aku nggak mau bayi itu menangis sementara ibu dan ayahnya masih dalam kondisi pemulihan.Daffar duduk di sebelahku dan menunjukkan layar telepon genggamnya padaku. Lalu, aku menunjuk beberapa bahan pokok yang harus dibeli agar untuk sementara waktu keluarga kecil Sinna tidak keluar rumah.Daffar mengutak-atik layar telepon genggamnya sambil menyendarkan kepalanya ke bahuku.“Kita juga akan seperti ini kelak ‘kan, Anneth?” tanyanya pelan.“Hem?” gu
Aku mengalihkan pandangan ke arah si bayi, Sinna mengikuti arah pandanganku dan menempelkan telunjuknya di tengah bibir dengan posisi vertikal.Perasaan dia yang bicara, gimana ceritanya aku yang disuruh diam?“Dan jelaskan! Gimana Mister Daffar bisa bersamamu ke tempat ini? Dan terangkan bagaimana dedemit itu bisa sampai ke sini? Apa urusan dedemit itu sama keluargaku ini? Apa? Apa? Kenapa? Gimana? Siapa?” Dalam suaranya yang ditahan, tetap saja cerocosannya tak berkurang derajatnya.Masih sambil berbaring, aku menggerakkan kedua telapak tanganku ke bawah, lalu mencontohkannya sebuah gerakan tarik embus napas panjang dengan pelan.Sinna otomatis mengikuti gerakan percontohan itu.Kemudian setelah ia terlihat tenang, aku mengusap-usap punggungnya.“Yang pertama yang harus ada dalam pikiranmu adalah tenang, oke? Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja,oke?” ucapku menebarkan sugesti positif.Bagaikan anak kecil, Sinna dengan patuh mengangguk.“Aku akan menceritakan dengan pelan, han
Suami Sinna memperhatikan apa yang diucapkan Daffar dengan saksama. Kurasa kegilaan yang baru saja ia alami membuatnya tak ingin banyak tanya.“Aku nggak tahu harus bagaimana mengucapkan terima kasih, apalagi dengan barang sebanyak itu,” balas suami Sinna terus terang.“Itu bukan masalah, yang penting kalian aman,” jawab Daffar dengan tenang.Suami Sinna beranjak untuk membantu Sinna.“Ssst! Daffar,” ucapku sambil mendekat ke kupingnya.“Em,” gumam Daffar lembut.“Gimana kalau Anbar membayar jenis manusia untuk mengganggu keluarga Sinna?” tanyaku khawatir.Daffar menoleh dan memandangku dengan lembut, lalu ia tersenyum.“Jangan khawatir, apa saja yang digerakkan Anbar, mereka nggak akan bisa menembus kekuatanmu,” jawab Daffar dengan yakin.Aku sangat lega mendengar keyakinan dalam suaranya itu.“Aku hanya waspada saja, makanya aku membuat gudang di depan, apartemen ini jadi memiliki dua lapis pintu. Ya, mana tahu, mereka butuh sesuatu yang terlewat kita beli. Aku ingin semua pertemuan
Aku mengelap kedua tangan, lalu membuka apron tolak basah ini.Dengan tergesa, aku berjalan mencari tas ransel.Aku nggak tahu apa Daffar merasakan firasat yang sama atau hanya menebak dari gerak-gerikku, yang jelas, sekarang dia berjalan mengekor.Aku merogoh telepon genggam dalam ransol. Nama Aaron terpampang di layar.“Halo?” sapaku begitu telepon genggam ini menempel di telinga.“Anneth!!” Suara melengking perempuan seketika membuat telinga ini berdenging.Dengan cepat, aku menjauhkan telepon genggam ini dari telinga.Ini ‘kan telepon Aaron? Kok suaranya-Aku kembali menempelkan layar telepon genggam itu karena raungan suara perempuan itu tak henti meneriakkan namaku.“Anneth!” seru suara perempuan itu sekali lagi.“Iya, halo,” balasku dengan cepat.“Kamu harus cepat ke sini!” seru suara perempuan itu panik.Ini kok kayak suara-“Allen?” tebakku dengan cepat.“Haduh! Iya! Siapa lagi?!” jawabnya dengan nyaring.Tapi ini ‘kan nomor Aar-“Di mana Aaron?” tanya dengan nada cepat, mend
Kekuatan kegelapan Anbar itu seolah mengenaliku, gumpalan hitam semu merah itu seperti sedang berusaha keluar dari dalam tubuh jenis manusia milik Daffar yang dapat kutembus.Pelan-pelan aku membuka kelopak mata.Daffar sedang memandangku dengan tatapan yang dalam.Dia tersadar jika kini aku balas menatap matanya.“Apa yang terjadi? Kamu menemukannya? Atau malah enggak sama sekali? Apa kekuatan Anbar itu juga tak terlihat olehmu?” berondongnya dengan nada yang sangat cepat.Aku menghela napas berat.“Daffar, bisakah Kamu menjauh sejenak?” pintaku lirih.“Oh!” serunya terkejut.Tapi, ia mengangguk.“Selangkah atau dua langkah?” tawarnya tanpa dosa.Aku mengembuskan napas panjang ... lagi.“Dua langkah lebih baik,” jawabku pada akhirnya.Daffar mundur ke belakang. Dan aku tahu, setelah itu dia berbalik dan tetap mengawasi.Aku mengabaikannya, lalu kembali mengulang proses menggunakan kekuatan dalam diriku sekali lagi.Setelah beberapa saat berkonsentrasi-Eh!Aku melihat seluruh ruangan
Aku terus mengikuti langkah Daffar yang tak pernah melepaskan genggaman tangannya.“Daffar, apa aku bisa menggunakan telepon untuk mengetahui keberadaan Allen di sini?” tanyaku mendadak teringat bagaimana gadis itu menghubungiku.“Tidak, kedua benda itu tidak akan bisa digunakan di sini,” jawab Daffar lugas.“Tapi, tadi bisa?” kejarku merujuk pada telepon Allen sebelumnya.“Anbar menempel dengan Shrim dan kota-kota lain yang ditinggali manusia. Bisa jadi, posisinya yang menempel membuat kedua telepon itu berada dalam satu gelombang sinyal. Tapi, sebenarnya, kemungkinan keberhasilan sambungan telepon itu satu dibanding ratusan peluang,” jelas Daffar dengan suara berbisik.Ah ... berarti, telepon Allen tadi adalah satu dari sekian banyak keberuntungan.Jantungku berdetak turun naik akibat kekhawatiranku yang sampai detik ini belum menemukan tanda-tanda keberadaan Allen dan Aaron.Kami terus berjalan dalam kegelapan dengan hanya diterangi dengan bola cahaya gaib dalam genggaman tangan in
“Hah!” seru Allen bingung.Tapi, aku mendorong punggungnya dengan sedikit penekanan.Gadis itu segera melompat ke dalam celah sempit yang kini melebar itu.Aku begitu lega ketika akhirnya kaki Allen tak terlihat lagi.Ah!Berbeda dengan celah titik putih yang sebelumnya, celah titik putih di dekat tabir merah ini dengan cepat kembali merapat untuk kemudian menghilang.Daffar yang mengetahui Allen telah kembali ke dimensi asal, ia menarik tanganku ke arah depan, mendekat ke tabir cahaya merah itu.“Aku nggak dapat menembusnya, juga tidak bisa menemukan celah lemahnya,” bisiknya lirih di telingaku.Aku turut mengamati tabir merah itu, tapi tidak tahu harus menemukan satu titik lemahnya dalam bentuk apa.Sedetik kemudian, aku menemukan satu ide yang begitu saja melintas dalam benak.Dengan pelan, aku menggulirkan bola cahaya gaib dari genggaman tanganku.Bola itu menggelinding mendekati tabir cahaya berwarna merah itu.Waow!Aku begitu takjub ketika melihat apa yang terjadi di depan mata