Di hari ke dua belas ini, aku bisa berbaring di kamar Alina. Merebahkan tubuh di kamar nyaman. Kulihat lampu terang dengan melipat dua tangan di bawah kepala. Merenungi semua yang terjadi. Terkadang semua masalah bisa selesai dengan sabar. Hanya saja, sabar itu begitu sulit. “Abang nak pijat.” Alina mendekat. Duduk di dekat kakiku. “Boleh.” Wanita berwajah bersih itu mulai menyimpan tangan di paha dan memijatnya terus ke bawah. “Jadi Zikri tak nak turun tangga?” tanyanya dengan raut khawatir. “Ya, dia teriak-teriak panggil Mama Alin di atas tangga. Tak nak turun bila tak Mama Alin yang temani.” “Ya Allah, kasihan.” “Tapi nak turun kan?” “Ya, sama Azka.” “Syukur lah, anak-anak itu mudah move on nya.” “Papanya yang tak dapat move on.” Alina mengencangkan pijatannya di paha. “Dasar.” “Abang ingat terus malam terakhir kita yang panas tu.” “Ih.” Alina memukul betis. “Adik. Malam tu-“ “Diam!” “Sangat bersemangat tuk—“ “Diam!” “Habisnya, nak pergi tapi—“ “Diam!” Alina menc
Aku merebahkan diri dengan lelah. Setelah menginap satu malam di Jakarta untuk melakukan pertemuan dengan beberapa relasi, hari ini baru terbang ke Malaysia dan baru bisa duduk di sofa dengan nyaman. Aisha membawa segelas minuman. “Es, kopi kurma buat Abang,” katanya dengan seulas senyuman. Aku menerima dan langsung menegaknya. Terasa segar di tenggorokan. “Sedap, Dik.” Aisha duduk di dekatku dengan tanpa kehilangan senyumannya. “Aku udah masak. Makan sekarang tidak?” “Abang dah sarapan di pesawat. Nanti je.” “Bagaimana Alina mau ke sini?” Saat pertanyaan Aisha terlontar, Umma pun ikut bergabung. Beliau duduk di sofa yang ada di seberang kami. “Alina nak tinggal kat sana dulu. Next time, bila dah siap tuk kehidupan poligami ni, Alina pasti balik.” “Dibilangin gak. Kalau aku siap pergi dari rumah ini?” Wanita bergaris wajah ketimuran ini menatap lekat. “Tak.” “Kenapa?” “Tak boleh lah macam tu, Aisha. Awak dah pergi lama. Nak jauhkan Umma dengan Azka kah?” timpal Umma. “Ya t
“Hmm?” Aisha langsung melihatku. “Ya sangat murah. Kenapa tak beli di butik? Uang di ATM ada kan?” Aku merasa sudah bicara benar, tapi Aisha menanggapinya lain. “Abang, maksudnya apa?” Aisha langsung mundur. Melepas tanganku dari punggungnya. Dia menghadapku dengan tatapan aneh. “Ya ... uang Abang cukup untuk beli pakaian yang lebih bagus dari itu.” Entah kalau bicaraku ini menyinggung. Tapi maksudku seperti ini: Aku sudah memberi dia ATM yang penuh. Aku bekerja untuk dia, anak, keluarga, agar mereka mendapatkan semua yang layak. Tapi kenapa malah membeli yang murahan, semua orang di sini tidak ada yang memakai pakaian semurah itu. Apa lagi untuk tampil di depan suami. It’s oke jika dia belum beradaptasi, aku hanya ingin dia mengerti. Namun, sepertinya Aisha mengartikan kalimatku dengan cara berbeda. “Abang kenapa jadi berubah seperti ini. Sok high klass. Apa masalahnya dengan pakaian tiga puluh ringgit? Di luar sana itu banyak yang bahkan tidak bisa beli baju setahun sekali. Aba
Pov Alina Bang Rasya pasti sedang berduaan dengan Aisha. Bermanja. Makan saling suap. Lalu menghabiskan malam yang indah. Wajar, setelah dua minggu Bang Rasya menghabiskan waktu di sini, pasti mereka melepas rindu. Wanita berdarah ketimuran itu kan cantik. Cinta pertama Bang Rasya pula. Pasti Bang Rasya sangat bahagia bersama dengannya. Kenapa pula Bang Rasya harus repot-repot datang ke sini. Padahal dia sudah punya segalanya dari Aisha. Ya Pintar, ya cantik, ya salehah, ya bisa punya anak. Huh. Tak habis pikir. Aku yakin setiap wanita, jika suaminya bertemu dengan mantan pacar yang merupakan cinta pertama sang suami, pasti sangat cemburu. Apa lagi aku. Dia adalah cinta pertama sekaligus mantan istri yang berpisah bukan karena masalah pribadi. Aku sangat tahu bagaimana perasaan suamiku padanya. Buku yang dia buat itu malah aku hafal isinya. Bagaimana dia mengagungkan dan tersakiti karna kepergian Aisha. Dan aku masih saja ada di antara mereka. Ini sungguh kebodohan yang hakiki. A
“Nanti Mama pulang.” “Tante pasti bohong.” Aku mengusap rambut Chacha dan membujuk dia untuk segera pulang. “Ayo, Cha. Sebentar lagi maghrib.” Aku membersihkan tangan Chacha dan menuntun tangannya untuk segera bergegas. Dia pun mau pulang meski sambil menangis pelan. Seorang tetangga mendekatiku di depan pintu gerbang rumah Shena yang memang tak bergembok ini. “Mbak Alina, ingatkan dong adiknya. Masa kakaknya pakai cadar adiknya jadi pelacur,” tegur Bu Teti. Aku segera menutup kuping Chacha. Astagfirullah, Bu Teti, Mulutnya. Depan anak-anak bicara begitu. “Jangan bilang begitu depan anak kecil, Bu.” Aku bicara sesopan mungkin. “Saya hanya mengingatkan. Kakaknya pakai cadar, seperti manusia yang paling soleh. Tapi adiknya begitu.” Mau menanggapi tapi bingung. Membela diri pun percuma. Alhamdulillah setelah menutup diri, aku lebih bisa menjaga sikap dan bibir. “Terima kasih atas peringatannya, Bu Teti. Saya permisi.” Aku bergegas membawa Chacha pulang. “Lagi diajak ngomong mala
Pov Teuku Arasya Azka mengaji dengan lantunan yang merdu. Di mushola keluarga ini, aku dan Aisha mendengarkannya. Terkadang aku merasa menjadi ayah yang tahu matangnya saja. Tak tahu bagaimana mentahnya. Tak ikut mengajar, tak ikut mendidik, tahu-tahu sudah pintar. Azka mengakhiri bacaannya dan menutup Al-Quran. “Pintar dia mengaji, Dik,” kataku pada ibunya. “Dari semua ingatan yang hilang, hanya mengaji yang gak hilang, jadi hanya itu lah yang aku wariskan pada anak. Karena yang lain banyak yang lupa. Ilmu agama dan ilmu dunia semua hilang.” Aisha menceritakan itu tanpa beban, tapi aku miris mendengarnya. “Karena uminya juara MTQ se Aceh, mungkin Allah mengabadikan ingatan yang itu. Agar adik tetap mengaji.” “Mungkin.” Aku meremas pundak Azka dengan bangga. Anak ini hanya lirik kanan-kiri. Memerhatikan rautku lalu ibunya. Setelah begitu banyak beban pelajarannya, dia tak lagi terlalu aktif loncat sana-sini. “Papa sudah suruh orang buat lapangan futsal.” “Jangan fulsal lah, P
“Ohhh ... datang kat sini nak off-road? Bukan nak termui istri kah?” “Dua-duanya lah.” “Hih!” Alina marah, tapi dia menarik tanganku dan menciumnya. Dia langsung masuk ke dalam rumah. Menyediakan minum dan lainnya. Aku mengobrol dengan ibu dan bapak mertua seperti keluarga pada umumnya. Bapak mertua sangat antusias bertanya tentang rencana offroad kami. Beliau malah ingin ikut. “Bapak ikut sama saya esok.” “Siap.” “Tak boleh. Bahaya!” timpal Alina ketus. “Ni bukan off-road ekstrem lah. Ringan je. Kami hanya menyusuri hutan tanpa hambatan, and berhenti di kali.” “Di kali?” Alina mengernyit. “Hmm... yang dulu pernah kita lihat.” “Kali yang itu?” Dia seperti tertarik. “Adik nak ikut? Tempat main adik di hutan, sawah, kali kan?” “Tak!” Alina masih ketus. ** Malamnya aku dan Alina hanya duduk diam-diaman. Menonton TV dan tidak melakukan apa pun. Kami duduk satu sofa, tapi rasanya sangat jauh. Wanita di sampingku ini sangat cantik dengan potongan rambut yang baru. Mahkota yan
Pov Alina Aku terpana melihat rombongan mobil monster itu datang. Banyak tetangga yang sengaja keluar rumah karena sangat menyita perhatian. Mana berhenti di jalanan depan rumah pula. Wanita mana yang tak marah. Katanya ingin disambut. Diberi pelayanan terbaik. Aku sudah siap-siap mempercantik diri dari kemarin tak tahunya malah bawa teman. Kesal, sungguh. Bukan main. Dua hari aku menghabiskan waktu di salon. Lah dia pulang malah mau offroad. Awalnya mau kubiarkan dia sampai pagi. Biar kapok maksudnya. Tapi tak tega melihat dia yang pasrah menunduk sambil melihat meja saat kuomeli. Padahal ponselnya menyala berkali-kali, tetapi abang diamkan saja. Pada akhirnya, aku yang luluh dan mengajaknya melakukan apa yang dia minta kemarin. Bertemu setiap hari dan bertemu dua minggu sekali itu berbeda. Ada rindu yang menyelimuti kami dan itu sungguh indah. Rindu kadang membuat tersiksa. Membuat pemiliknya merana. Namun, juga membawa bahagia yang berbeda. Paginya abang pergi offroad bersam