“Nanti Mama pulang.” “Tante pasti bohong.” Aku mengusap rambut Chacha dan membujuk dia untuk segera pulang. “Ayo, Cha. Sebentar lagi maghrib.” Aku membersihkan tangan Chacha dan menuntun tangannya untuk segera bergegas. Dia pun mau pulang meski sambil menangis pelan. Seorang tetangga mendekatiku di depan pintu gerbang rumah Shena yang memang tak bergembok ini. “Mbak Alina, ingatkan dong adiknya. Masa kakaknya pakai cadar adiknya jadi pelacur,” tegur Bu Teti. Aku segera menutup kuping Chacha. Astagfirullah, Bu Teti, Mulutnya. Depan anak-anak bicara begitu. “Jangan bilang begitu depan anak kecil, Bu.” Aku bicara sesopan mungkin. “Saya hanya mengingatkan. Kakaknya pakai cadar, seperti manusia yang paling soleh. Tapi adiknya begitu.” Mau menanggapi tapi bingung. Membela diri pun percuma. Alhamdulillah setelah menutup diri, aku lebih bisa menjaga sikap dan bibir. “Terima kasih atas peringatannya, Bu Teti. Saya permisi.” Aku bergegas membawa Chacha pulang. “Lagi diajak ngomong mala
Pov Teuku Arasya Azka mengaji dengan lantunan yang merdu. Di mushola keluarga ini, aku dan Aisha mendengarkannya. Terkadang aku merasa menjadi ayah yang tahu matangnya saja. Tak tahu bagaimana mentahnya. Tak ikut mengajar, tak ikut mendidik, tahu-tahu sudah pintar. Azka mengakhiri bacaannya dan menutup Al-Quran. “Pintar dia mengaji, Dik,” kataku pada ibunya. “Dari semua ingatan yang hilang, hanya mengaji yang gak hilang, jadi hanya itu lah yang aku wariskan pada anak. Karena yang lain banyak yang lupa. Ilmu agama dan ilmu dunia semua hilang.” Aisha menceritakan itu tanpa beban, tapi aku miris mendengarnya. “Karena uminya juara MTQ se Aceh, mungkin Allah mengabadikan ingatan yang itu. Agar adik tetap mengaji.” “Mungkin.” Aku meremas pundak Azka dengan bangga. Anak ini hanya lirik kanan-kiri. Memerhatikan rautku lalu ibunya. Setelah begitu banyak beban pelajarannya, dia tak lagi terlalu aktif loncat sana-sini. “Papa sudah suruh orang buat lapangan futsal.” “Jangan fulsal lah, P
“Ohhh ... datang kat sini nak off-road? Bukan nak termui istri kah?” “Dua-duanya lah.” “Hih!” Alina marah, tapi dia menarik tanganku dan menciumnya. Dia langsung masuk ke dalam rumah. Menyediakan minum dan lainnya. Aku mengobrol dengan ibu dan bapak mertua seperti keluarga pada umumnya. Bapak mertua sangat antusias bertanya tentang rencana offroad kami. Beliau malah ingin ikut. “Bapak ikut sama saya esok.” “Siap.” “Tak boleh. Bahaya!” timpal Alina ketus. “Ni bukan off-road ekstrem lah. Ringan je. Kami hanya menyusuri hutan tanpa hambatan, and berhenti di kali.” “Di kali?” Alina mengernyit. “Hmm... yang dulu pernah kita lihat.” “Kali yang itu?” Dia seperti tertarik. “Adik nak ikut? Tempat main adik di hutan, sawah, kali kan?” “Tak!” Alina masih ketus. ** Malamnya aku dan Alina hanya duduk diam-diaman. Menonton TV dan tidak melakukan apa pun. Kami duduk satu sofa, tapi rasanya sangat jauh. Wanita di sampingku ini sangat cantik dengan potongan rambut yang baru. Mahkota yan
Pov Alina Aku terpana melihat rombongan mobil monster itu datang. Banyak tetangga yang sengaja keluar rumah karena sangat menyita perhatian. Mana berhenti di jalanan depan rumah pula. Wanita mana yang tak marah. Katanya ingin disambut. Diberi pelayanan terbaik. Aku sudah siap-siap mempercantik diri dari kemarin tak tahunya malah bawa teman. Kesal, sungguh. Bukan main. Dua hari aku menghabiskan waktu di salon. Lah dia pulang malah mau offroad. Awalnya mau kubiarkan dia sampai pagi. Biar kapok maksudnya. Tapi tak tega melihat dia yang pasrah menunduk sambil melihat meja saat kuomeli. Padahal ponselnya menyala berkali-kali, tetapi abang diamkan saja. Pada akhirnya, aku yang luluh dan mengajaknya melakukan apa yang dia minta kemarin. Bertemu setiap hari dan bertemu dua minggu sekali itu berbeda. Ada rindu yang menyelimuti kami dan itu sungguh indah. Rindu kadang membuat tersiksa. Membuat pemiliknya merana. Namun, juga membawa bahagia yang berbeda. Paginya abang pergi offroad bersam
Selesai makan, aku dan Abang menonton di lantai dua. Chacha ikut duduk di antara kami. Aku menyisir rambut Chacha yang panjang. Kuikat dua lalu kukepang. Chacha bercermin dari kaca kecil. Dia komplain tidak mau diikat begitu. “Chacha maunya. Semua,” katanya dengan peragaan tangan yang seolah membuat lingkaran besar. “Dali atas sampai bawah.” “Oke, mudah je.” “Tante kayak upin-ipin.” Chacha terkekeh. “Ayam goreng? Betul, betul, betul.” Chacha semakin terpingkal. Kuganti gaya rambut Chacha menjadi kepangan dari atas sampai bawah. “Comel awak, Cha. Bak gadis desa lah.” “Tante bicala apa.” “Kamu kok cadel terus sih, kapan bisa bilang R. Zikri perasaan udah bisa bilang R, umur segini. Eh, tapi orang sana gak jelas sih R nya. Iya kan, Abang?” Bang Rasya yang sedang melihat ponsel diam saja. "Abang?" Dia melirik. “Hm?” Alisnya terangkat. “Sedang apa sih? Chat-an sama Aisha?” “Tak, teman Abang di Amerika.” Aku lanjut memainkan rambut Chacha. Abang menyimpan ponselnya dan ikut mem
Pov Alina Aku tahu, Bang Rasya hanya tak ingin melihat gurat kesedihan di wajahku, jadi dia menawarkan solusi yang sesungguhnya tak mungkin. Dia mengajakku pulang ke KL dan menjalankan program bayi tabung. Padahal waktu, tubuh, dan hatinya sedang terbagi. Menjalankan program bayi tabung dalam kondisi berbagi suami ... Oh, tidak. Aku tak akan siap. Takut ujung-ujungnya malah gagal. Dan itu pasti akan membuat lebih terluka. Dua minggu sebelumnya mungkin aku bisa mengalihkan perhatian dari pikiran-pikiran negatif, karena GAR sedang sibuk menyambut tahun baru. Tapi kalau di sana, meski beda rumah, rasanya belum bisa. "Abang ada rencana. Nak buat dekor rumah baru." Pria ini bicara sambil mengusap kepalaku. "Nak abang penggal rumah itu sekaligus halamannya. Lalu abang buat pagar tinggi. Next, adik tak kan bisa lihat Abang masuk ke gerbang rumah Aisha. Pun sebaliknya." Aku yang sedang tidur berbantalkan paha abang menimpali, "Jadi kami tetap di rumah itu. Tapi abang nak dibuat jadi du
Tanggal 30 Januari WHO menetapkan wabah itu menjadi darurat kesehatan. Waktu berjalan. Virus itu bertandang ke berbagai negara lewat pergerakan orang. AS bahkan menolak WNA yang telah melakukan perjalanan dari China. Tanggal 7 Februari Abang masih pulang. Tapi waktunya sudah semakin sibuk. Tak ada masa romantis-romantisan dan main-main. Aku yang memutuskan untuk kembali, tentu harus menerima semua konsekuensinya. Suamiku memang seperti ini, ada kalanya dia memiliki waktu longgar dan sangat perhatian. Ada kalanya dia tak bisa diusik sama sekali. Kami hampir tidak punya waktu siang yang romantis. Hanya saat malam, ketika dia mungkin terlalu tegang dengan pekerjaannya. Abang akan menghampiriku untuk melemaskan otot-ototnya. Itu pun hanya untuk memuaskan dirinya sendiri. Parahnya. Sebagai perempuan aku hanya bisa berlapang dada saat dalam kondisi seperti ini. Begitu banyak orang yang bergantung padanya menuntutku untuk kuat diterpa cobaan. "Jadi rencana renovasi rumah macam mana?" A
Pov Teuku Arasya “Abang, mari berpisah!” Alina bicara dengan nadanya yang lemas. Ada keputusasaan di sana. Aku terbatuk-batuk. “Jom!” jawabku tak kalah lemas. Alina terlihat sedikit mengulas senyum. Bukan senyuman bahagia melainkan senyum miris. “Baiklah, biar saya yang menggugat ke pengadilan.” Rautnya datar. “Tak perlu repot-repot. Tunggu Abang je.” Aku menjeda. Meminum air di meja, dan menyimpannya hati-hati. “Tunggu Abang mati.” Aku terbatuk lagi. Kuraba tenggorokan yang semakin sakit. Alina mengernyit. Alisnya hampir bertautan. “Saya bukan sedang membuat lelucon. Saya serius.” Aku mengangguk yakin. “Abang serius pun. Paru abang sudah cedera dari dulu. And Abang sekarang terkena covid. Tinggal tunggu mati lah.” Aku terbatuk lagi. Setelah hampir sepuluh bulan aku terhindar dari wabah itu, ternyata sekarang terkena juga. Aku memang tak bisa hanya diam di rumah, selalu ada keperluan yang mengharuskan keluar. Apa lagi November ini lonjakan kasus sedang tinggi. Sampai seribu p