Aku mengurai pelukan dan mengusap pipi putriku yang basah. Cici sudah digendong Raka, dibawanya ke halaman belakang.“Kenapa kamu dan Cici keluar, Alin? Masuklah ke kamar atau main ke rumah abangmu saja.”Alina menggeleng tegas. “Tidak usah, Bu. Sampai kapan Alina harus menghindari mereka? Aku gak apa-apa dan mau ikut duduk di depan, Bu.”“Beneran tidak apa-apa, Nak?”“Iya, Bu. Alina yakin.”Aku menggandeng putriku sampai duduk di samping bapaknya, lalu memberikan segelas air putih. “Jangan menangis lagi, ya, Nak,” bisikku. Alina mengangguk seraya tersenyum.“Papa senang melihatmu sudah lumayan sehat, Alin. Papa hampir tidak kenal sama kamu. Sudah cantik seperti dulu dan kelihatan lebih bahagia.” Pak Nugroho langsung memuji. Pujian yang basi.“Papa? Sebutan itu tidak pantas lagi diucapkan seorang Alina. Benar-benar gak pantas.” Ekspresi Alina begitu datar. Senyuman di wajah mantan besanku langsung redup seketika. “Nak, saya benar-benar menyesal telah ikut menelantarkanmu. Saya minta
“Huh, dasar wanita sombong. Jangan harap bisa dapat lebih dari aku dengan statusmu yang hanya seorang janda. Apalagi ada anak. Kamu akan sulit menemukan ayah yang baik buat Cici. Belagu amat jadi orang,” cibir Delon.“Aku bisa jadi ibu sekaligus ayah buat putriku. Semua keluarga juga menghujani kasih sayang setiap hari buat Cici. Kuharap kamu tak pernah membutuhan anakku sampai kapan pun. Dan soal jodohku di masa depan, itu bukan urusanmu. Lebih baik urus hidup kalian sendiri.” Aku membulatkan mata, takjub akan keberanian putriku. Kukira dia akan menangis atau berlari menghindari perdebatan dengan mantan suami dan mertuanya, tapi putriku bisa menjawab dengan santainya.“Mana mungkin aku butuh anak itu. Yang ada kamulah yang akan butuh aku, Alina. Setelah bertahun-tahun menjanda dan tak ada yang mau, barulah kamu akan sadar kalau seharusnya kamu tak perlu menolak saat aku mengajakmu rujuk.”“Delon, kamu ini sudah gila, ya? Apa pantas kamu katakan seperti itu? Cici adalah anak kandungmu
Minibus yang membawa penumpang dengan tujuan berbeda ini berhenti di persimpangan, tapi bukan menuju kampungku. Ongkos yang dibayar dengan cara beli tiket tidak merepotkanku lagi saat mau turun. Perjalanan tadi malam lumayan nyaman karena selama dua tahun tidak ke sini, jalanan yang dulu banyak berlubang telah mulus dan rata. Minibus pun bisa melesat bak melayang di atas aspal. Mata yang sudah ngantuk serasa diayun dan dibuai. Tak sadar, sudah sampai di Palsabolas.Aku naik angkutan roda empat warna putih bermerek khusus yang akan membawaku ke tujuan. Beberapa ibu-ibu yang kebetulan ada di dalam angkutan tersenyum ramah. Aku membalas dengan senyuman sewajarnya.Perjalanan sekitar setengah jam, aku turun lagi dan naik becak menuju rumah dan penghuninya yang kurindukan. Setelah membayar ongkos dan menurunkan barang, aku menghembuskan napas sambil memejamkan mata, menghadap mentari yang masih malu-malu menampakkan wajahnya. Suasana yang sangat berbeda dibanding kota tempatku mengais reze
“Apa? Jadi dokter setampan dan semapan kamu pernah ditolak perempaun juga? Padahal pas di rumah sakit, banyak loh gadis-gadis yang ngejar kamu,” ledek Raka.“Jangankan ditolak, aku sudah cerita kalau bahkan pernah ditinggal pas mau nikah. Haduh, memang kalau sudah tak jodoh, ada saja halangannnya,” kekehku.“Lalu bagaiman dengan orang tuamu? Pasti mereka terpukul dengan kejadian itu.”“Ya, begitulah, Bro. Gadis itu sebenarnya masih keluarga jauh kami. karena Emak dan Ayah udah pengin sekali aku menikah, mereka merencanakan semuanya. Dan kamu tahu apa mahar yang dilarikan gadis itu?”Raka menggeleng. “Palingan uang dan emas, kan? Kena berapa? Lima puluh juta atau seratus juta?” cecar Raka.“Sertifikat sawah dan emas tabungan Emak. Uang yang sering kukirim untuk mereka sebagian ditabung dengan membeli emas. Eh, rupanya digondol calon menantunya yang gagal,” lirihku.Masalah finansial tak begitu membebani pikiranku, tapi semenjak kejadian itu Emak dan Ayah sakit-sakitan karena merasa be
“Kalau saja kamu datang sebelum Alina kenal Delon, pasti dia tak perlu merasakan bagaimana menggenggam luka. Kamu juga tak perlu merasakan ditipu saat menjelang pernikahan,” kekeh Raka. Aku tersenyum tipis. Andai-andai adalah perbuatan setan. Yang telah lalu tidak bisa kembali.“Maut, rejeki dan jodoh itu adalah Rahasia Allah. Begitu juga dengan masa depan.”“Tapi kamu memang pecundang sih. Suka sama adikku sejak masa puber. Kayak gak ada gadis seumuran kita saja. Dan setelah gadis itu dewasa, eh malah dibiarin jatuh ke pelukan orang lain. Iya kalau pelukan itu membuat nyaman, kamu bisa berdalih kalau akan ikut bahagia jika dia bahagia. Cinta itu harus diperjuangkan, Bro.”“Iya, makanya kamu bantuin dong. Dulu aku ditolak soalnya.”Raka tertawa terbahak-bahak. “Ya jelas ditolaklah. Ngomong pas adikku masih sakit, lewat surat pula. Astaga, gak zaman lagi. Kalau saja kamu curhat padaku saat berkunjung ke rumah waktu itu, pasti aku terus rekomendasikan kamu sebagai calon suami idaman.”A
Aku yakin, Bu Rahimah juga mengajarkan putrinya hal serupa, menghormati keluarga suami. Aku ingin kelak memiliki istri yang memuliakan kedua orang tuaku dan juga Om serta Tante yang banyak berkontribusi atas keberhasilanku saat ini. Sempat juga berkenalan denagn beberapa gadis kota, tapi belum apa-apa mereka sudah banyak mengatur, termasuk tidak boleh memberikan uang pada keluargaku lagi karena istri harus prioritas.Astaghfirulloh. Aku bekerja keras untuk kebahagian keluarga besar serta istri dan anakku kelak. Bagaimana bisa aku memilih salah satu di antaranya? Tentu keduanya pihak itu sama-sama berharga.“Ibu dan Sri mau ke pesta nikahan sebentar. Gak apa-apa kan kalau Rian ditinggal sama Bapak?” tanya Bu Rahimah.“Gak apa-apa, Bu.” Aku jadi canggung karena mengingat ibunya Alina yang memberikan surat tadi pada Raka. Pasti sudah dibaca juga.“Aku juga harus siap-siap nih, Rian. Bapak lagi sakit dan aku yang harus gantikan. Kalau bisa, nanti aku bakalan cepat pulang kok.”“Iya.”Aku
“Kok balik lagi, Alin? Kamu gak jadi pergi?”“Kadoku ketinggalan, Pak. Motornya kuparkir di tepi jalan, gak masuk halaman. Tapi apa maksud restu itu, Pak?”Wajah Alina kelihatan tak bersahabat. Aku dan bapaknya Alina jadi berpandangan. “Ini, ada yang mau dikatakan Rian sama kamu. Duduklah dulu.”Alina duduk di dekat bapaknya, tapi menghindari berhadapan denganku. Aku meremas-remas tangan, tak tahu mau bilang apa. Apa tak bisa aku mengungkapkannya berdua saja? Tapi sepertinya ini momen yang pas karena bapaknay juga sudah tahu tujuanku.Aku menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. “A-aku mau ....”Segala kosa kata mendadak hilang. Beginikah rasanya jatuh cinta? Apa gugup selalu mendera jika ingin mengungkapkan perasaan untuk dibawa ke jenjang yang serius?“Aku mau pergi dulu, Pak. Nanti Ibu dan Kak Sri lama nungguin.”Wanita bergamis warna hijau kombinasi polkadot kuning itu berdiri dan masuk ke kamar paling depan, lalu keluar lagi membawa plastik warna putih. Aku gagal mengungk
“Aamiin aamiin. Kami doakan agar benar-benar kejadian. Kalian serasi banget,” balas wanita itu dengan wajah ceria.“Lisda, awas saja suaminya kena pecat,” cetus Alina. Seketika semuanya hening, hanya anak-anak saja yang masih terus mengobrol.Aku tidak bisa menebak pikiran Alina sehingga memilih diam saja. Mau kemana juga aku segan bertanya. Hingga hampir satu jam perjalanan, kami sampai ke sebuah waterpark yang tidak begitu ramai. “Cici dan Abang Ahmad mau mandi gak?” tanya Alina.Dua bocah itu menganggukkan kepala.“Ayo duluan keluar, Bang. Anak-anak udah tak sabar ini,” ujar janda anak satu itu. Aku tersenyum tipis, akhirnya berhasil juga membuatnya bersuara. Aku duluan keluar dan membantu menurunkan Cici dan Ahmad. Menggendong keduanmya di pinggang dan berjalan mencari gazebo yang kosong untuk tempat istirahat serta menaruh baju.“Abang yang menemani mereka mandi, ya.”Akhirnya kalau aku diam, dia bersuara lagii. Nada bicaranya juga tak ketus.“Tapi Abang gak bawa baju, Dik.”“Di