Oh ya yang baru nemu cerita ini pastikan follow authornya dulu, dan jangan lupa vote serta tinggalkan jejak.(◠‿◕)Gerakan Danar yang hendak meneguk minumannya terhenti. Dia menatapku sesaat, lalu menghela napas. "Apa itu penting banget?" Kalau dia masih menganggapku sahabat, dia akan menjawabnya dengan mudah. Tapi, tunggu. Aku tiba-tiba salah tingkah. Ini pasti wujud dari overthinking yang aku rasakan akhir-akhir ini tentang Tama. Menelan ludah kasar, aku beranjak duduk di samping Danar dengan gerakan pelan. "D-dia nggak seperti Tama, kan?" tanyaku ragu. Aku bisa melihat kerutan samar pada dahinya. "Seperti Tama?" Aku mengangguk, lalu kembali merasa nyeri saat ingat sebelum ke rumah sakit aku sempat melihat Tama dengan istrinya. "Sudah punya pasangan." "Gue nggak tau," sahutnya melengos dengan muka masam. Kentara sekali Danar nggak mau mengatakan hal yang sebenarnya. "Oke. Gue nggak mau maksa," ucapku akhirnya dan bergerak ke dapur untuk menyimpan buah-buahan yang tadi dibawa
Danar kesal karena kesusahan menyuap dengan tangan kiri. Dia mendorong mangkoknya menjauh. "Butuh bantuan?"Lelaki berwajah lempeng itu nggak menjawab dan hanya menyeka bibirnya yang belepotan kuah seblak. Aku menarik napas melihat tingkahnya. Dia terbiasa mandiri, lengannya yang menggantung itu pasti membuatnya kesal setengah mati. Aku menyimpan piring, dan meraih mangkok Danar. "Gue suapin sini." Danar melirikku dengan kening berkerut. "Nggak usah. Lo makan aja.""Ahelah! Nggak usah sok kuat. Udah, suapin Wina aja. Gue lagi males nyuapin lo," sambar Giko, menyempatkan diri menjeda kegiatan makannya. Danar berdecak, dan dia pasrah saat aku menyodorkan sendok. "Nah, gitu kan enak. Wina bisa sambil makan dan nyuapin lo," ujar Giko lantas tertawa. "Kalian udah mirip kayak laki dan bini. Dahlah, Win. Lo sama Danar aja. Sama-sama single, pas." Aku dan Danar kompak mendelik. Dan hal itu membuat tawa Giko berhenti seketika. "Ya kan kali aja jodoh gitu," ujarnya lalu kembali fokus ke
Bunyi alarm pintu terkunci terdengar dari belakang Tama. Aku menelan ludah melihat lelaki itu menjulang di hadapanku. Aku nggak tahu apa yang Tama pikirkan. Di apartemennya ada Sintia, istrinya, bisa-bisanya dia malah mengejarku ke sini? Apa dia memang sudah nggak waras? "Tam, lebih baik kamu balik ke unit kamu. Aku nggak mau cari gara-gara," ujarku yang masih berpikir sehat di sini. Tama menggeleng, kakinya maju selangkah, lalu tangannya menggapai sebelah tanganku, dan menggenggamnya. Tentu saja aku nggak tinggal diam. Aku mencoba menarik tanganku dari genggamannya. Tama nggak boleh meraba perasaanku melalui sentuhan itu. Nggak boleh. Namun, genggamannya terlalu erat. "Aku minta maaf. Pasti kamu enggak nyaman banget tadi," ucapnya lirih dengan mata lurus menatapku. Aku paling nggak bisa ditatap seperti itu. Dadaku bisa-bisa meledak beneran. "Apa yang membuat kamu berpikir aku merasa nggak nyaman?" tanyaku tak berani menatapnya. Aku lebih baik bermain mata dengan lantai di bawah
Arin berbinar melihat Danar kembali masuk kantor. Dia segera menyambut lelaki itu dengan gaya sok akrab. Langkahnya bergerak mendekati Danar yang sedang mendapatkan ucapan selamat datang dari para stafnya. "Pak Danar udah merasa sehat? Kok udah masuk kantor aja?" tanya Arin sembari melihat ke arah gue kanan Danar yang masih dibungkus perban dan gips. Di permukaan perban itu sudah banyak coretan ucapan sembuh. "Saya sudah sehat kok, Arin. Saya bosan tiduran terus." "Wah, kalau begitu misal Bapak butuh sesuatu jangan sungkan memberi tahu saya, ya. Saya siap membantu," ucap Arin dengan senyum yang dibuat semanis mungkin."Terima kasih, Arin." Danar tersenyum tipis, lantas mata legamnya menyorot padaku yang berdiri di sisi Arin. "Ikut ke ruangan saya, Win," ujarnya lalu bergerak kembali ke ruangannya. Arin seketika manyun. "Kok lo sih yang diundang ke ruangan dia. Padahal jelas-jelas gue yang nawarin bantuan," gerutu Arin dengan bibir mencebik. "Jangan manyun. Mau gue kasih tau sesu
Giko mendengus ketika melihatku mengusik aksinya merayu seorang cewek. Gila, ya. Bahkan pramuniaga kafe dia embat juga. Aku sontak memukul kepalanya saat dia mendekat padaku. "Dasar playboy ayam jago. Kerja! Malah gombalin cewek," hardikku mendelik. Tangannya mengusap bekas pukulanku. "Sakit, Win. Lo ringan tangan banget, sih? Pantes jomlo!" Aku mendelik. "Mending juga jomlo daripada sekalinya punya pacar playboy Jatinegara kayak lo. Ngapain lo di sini?" Giko menunjukkan sebuah donat yang tinggal setengah. "Gue tadi belum sempet sarapan makanya ke sini. Eh, ketemu Adel yang cantik dan imut," ucapnya seraya tersenyum lebar. Ya Tuhan, mana ucapannya yang katanya mau fokus mengejar Arin? "Mata masih jelalatan saja, sok-sok-an mau ngejar Arin." Aku menerima kopi dari penjaga konter coffebean. "Siapa yang jelalatan coba? Tadi itu gue lagi motivasi Adel biar dia lanjut kuliah lagi. Kan sayang kalau nggak dilanjutin. Masa depannya masih panjang." Aku mencebikkan bibir. "Modus aja lo.
Aku menolak tawaran pulang bersama Giko dan Danar lantaran Tama sudah lebih dulu mengirimiku pesan akan menjemput sore ini. Beralasan karena ada urusan dengan Arin, akhirnya kedua lelaki itu mau meninggalkan aku di lobi bersama dengan Arin. "Lo dijemput siapa?" tanya Arin begitu Danar dan Giko menjauh. "Gue nggak dijemput siapa-siapa kok," sahutku berbohong. Aku belum mengatakan apapun tentang Tama dan hubungan kami yang mulai rumit kepada Arin. Inginnya, aku merahasiakan untuk diri sendiri. Hubungan kami lain dari yang lain. Bukan hubungan yang layak dipamerkan. Arin berdecak. "Mustahil banget. Kalau enggak ada yang jemput lo ngapain lo pake acara bohong segala?" Aku lupa kalau Arin adalah manusia yang susah buat dikibulin. "Yuk, ah! Kita jalan aja." Aku menggaet lengan Arin keluar lobi. "Lo bawa mobil enggak?" "Lo beneran mau pulang bareng gue?" tanya Arin dengan wajah nggak percaya. "Enggak. Cuma mau nganterin lo ke parkiran." "Nggak jelas banget, sumpah." Wanita berponi yan
"Kok bengong? Memang kamu nggak capek terus berdiri begitu?" Teguran Tama membuatku kikuk. Aku menggaruk belakang telingaku dengan senyum canggung dan dengan perlahan bergerak duduk di sebelah lelaki itu. "Di kantor banyak kerjaan?" tanya Tama begitu aku duduk. Aku sengaja duduk dengan posisi agak memepet pinggiran sofa. Resiko lumayan bahaya jika kami berbenturan. Jika Giko atau Danar, ceritanya lain lagi, aku sudah terbiasa duduk berdempelan dengan mereka. Tapi, Tama? Ditatap saja kadang bikin kebat-kebit. "Lumayan, sih. Banyak yang harus aku kerjain tadi. Untung saja nggak sampai lembur." Tanganku bergerak meraih remot LED. Aku butuh suara lain untuk menguraikan kecanggungan yang kadang aku rasakan saat berdua seperti ini. Rasanya begitu sunyi ketika hanya ada suaraku dan Tama yang berdengung. "Mau aku pijat." Hah? Seandainya tawaran itu keluar dari Danar atau Giko, aku nggak akan mikir dua kali untuk menerimanya. "Nggak perlu, makasih. Nanti juga capeknya ilang." Ya, kali
"Win...." Kembali aku mendengar rengekan Giko. Aku tidak peduli dan terus menyibukkan diri. Ini masih jam kerja, tapi pria itu sudah melanglang di divisi marketing. "Gue bakal lakuin apa pun yang lo mau. Please, bantu gue kali iniii aja." Kedua tangannya menangkup di depan dada, bibirnya mencebik, menampilkan wajah sememelas mungkin. "Enggak!" Dan, entah ke berapa kalinya aku memberi jawaban yang sama. Bukannya aku nggak mau bantuin dia. Tapi, gimana? Permintaan tolongnya itu nggak masuk akal. Aku melangkah keluar menuju pantri dengan Giko yang masih saja mengekoriku. Hari ini dia menjadi manusia paling menyebalkan."Nggak akan lama. Ini akan berakhir kalau kita tunangan." Mataku melotot. "Lo udah gila, ya?" Aku sekonyong-konyong memutar badan, berkacak pinggang di depannya. "Demi gue masih ada di Jakarta. Emang lo mau kalau gue dipindah ke pedalaman Sulawesi sana?" Kembali dia merengek seperti bocah. "Kota Bau-bau bukan pedalaman, ya. Kepulauan Buton itu keren, lo bisa ke Wak