Aku menolak tawaran pulang bersama Giko dan Danar lantaran Tama sudah lebih dulu mengirimiku pesan akan menjemput sore ini. Beralasan karena ada urusan dengan Arin, akhirnya kedua lelaki itu mau meninggalkan aku di lobi bersama dengan Arin. "Lo dijemput siapa?" tanya Arin begitu Danar dan Giko menjauh. "Gue nggak dijemput siapa-siapa kok," sahutku berbohong. Aku belum mengatakan apapun tentang Tama dan hubungan kami yang mulai rumit kepada Arin. Inginnya, aku merahasiakan untuk diri sendiri. Hubungan kami lain dari yang lain. Bukan hubungan yang layak dipamerkan. Arin berdecak. "Mustahil banget. Kalau enggak ada yang jemput lo ngapain lo pake acara bohong segala?" Aku lupa kalau Arin adalah manusia yang susah buat dikibulin. "Yuk, ah! Kita jalan aja." Aku menggaet lengan Arin keluar lobi. "Lo bawa mobil enggak?" "Lo beneran mau pulang bareng gue?" tanya Arin dengan wajah nggak percaya. "Enggak. Cuma mau nganterin lo ke parkiran." "Nggak jelas banget, sumpah." Wanita berponi yan
"Kok bengong? Memang kamu nggak capek terus berdiri begitu?" Teguran Tama membuatku kikuk. Aku menggaruk belakang telingaku dengan senyum canggung dan dengan perlahan bergerak duduk di sebelah lelaki itu. "Di kantor banyak kerjaan?" tanya Tama begitu aku duduk. Aku sengaja duduk dengan posisi agak memepet pinggiran sofa. Resiko lumayan bahaya jika kami berbenturan. Jika Giko atau Danar, ceritanya lain lagi, aku sudah terbiasa duduk berdempelan dengan mereka. Tapi, Tama? Ditatap saja kadang bikin kebat-kebit. "Lumayan, sih. Banyak yang harus aku kerjain tadi. Untung saja nggak sampai lembur." Tanganku bergerak meraih remot LED. Aku butuh suara lain untuk menguraikan kecanggungan yang kadang aku rasakan saat berdua seperti ini. Rasanya begitu sunyi ketika hanya ada suaraku dan Tama yang berdengung. "Mau aku pijat." Hah? Seandainya tawaran itu keluar dari Danar atau Giko, aku nggak akan mikir dua kali untuk menerimanya. "Nggak perlu, makasih. Nanti juga capeknya ilang." Ya, kali
"Win...." Kembali aku mendengar rengekan Giko. Aku tidak peduli dan terus menyibukkan diri. Ini masih jam kerja, tapi pria itu sudah melanglang di divisi marketing. "Gue bakal lakuin apa pun yang lo mau. Please, bantu gue kali iniii aja." Kedua tangannya menangkup di depan dada, bibirnya mencebik, menampilkan wajah sememelas mungkin. "Enggak!" Dan, entah ke berapa kalinya aku memberi jawaban yang sama. Bukannya aku nggak mau bantuin dia. Tapi, gimana? Permintaan tolongnya itu nggak masuk akal. Aku melangkah keluar menuju pantri dengan Giko yang masih saja mengekoriku. Hari ini dia menjadi manusia paling menyebalkan."Nggak akan lama. Ini akan berakhir kalau kita tunangan." Mataku melotot. "Lo udah gila, ya?" Aku sekonyong-konyong memutar badan, berkacak pinggang di depannya. "Demi gue masih ada di Jakarta. Emang lo mau kalau gue dipindah ke pedalaman Sulawesi sana?" Kembali dia merengek seperti bocah. "Kota Bau-bau bukan pedalaman, ya. Kepulauan Buton itu keren, lo bisa ke Wak
Giko meremas rambutnya kencang, lantas dua tangan dari kepala turun mengusap wajah dengan kasar. Dia benar-benar seperti orang frustrasi sekarang. "Mungkin lo bisa hubungi salah satu mantan lo yang gagal move on?"Giko menatap Danar dengan mulut setengah terbuka. "Itu sama saja lo nyuruh gue nyodorin ular ke bokap." Ringisan Danar menjadi tanda itu bukan solusi yang baik. "Wina. Hanya Wina yang bisa nolongin gue. Cuma dia cewek yang nggak ngefek ke gue, dan yang penting kami akrab. Akting kami pasti akan natural dan nggak canggung lagi."Aku mengembuskan napas kasar. Apa aku harus menyerah? Tapi, sumpah ini berat. "Gue serahin semua keputusan di tangan Wina," tandas Danar akhirnya, dia terlihat bingung juga mencari solusi. "Gue masih tetap saranin lo temui cewek itu dulu. Siapa tahu kalian cocok, kan nggak perlu ada usaha buat gagalin perjodohan itu. Posisi lo aman di Jakarta," ucapku, kembali mencoba peruntungan agar Giko mau menuruti ucapanku. "Mungkin kalau cuma jadiin teman
Aku menatap lelaki yang kini sedang melakukan gerakan memutar pada kakiku. Apakah dia juga sebaik ini kepada istrinya? Ah! Pertanyaan yang bodoh. Mungkin malah dia berbuat lebih daripada hanya memijat. Memikirkannya membuatku sebal sendiri."Udah cukup, Tam." Aku menarik kakiku yang masih sedang dipijatnya. "Loh kenapa? Memangnya udah baikan?" tanya Tama dengan muka heran. "Udah enggak apa-apa kok." Aku tersenyum singkat lantas kembali menurunkan kaki. Selain mood-ku mendadak down gara-gara mengingat Tama bisa saja memperlakukan istrinya sangat baik, aku juga risih kakiku disentuh seperti itu. Aku menyukai Tama. Dan disentuh seseorang yang kita suka itu rasanya pasti ... ah, kalian pasti tau apa maksudku. "Oke, kita makan kebabnya saja kalau begitu." Tama memajukan sedikit posisi duduknya. Dia menarik kantong kertas dan membukanya. "Kamu suka pedas, kan?" "Sangat suka." Senyum pria itu kembali tersungging. "Berarti apa yang aku pesan tepat." Satu buah kebab dengan bungkus cantik
Yuk jangan lupa mampir dan beri ulasan yaaa....-------Mendengar cerita Tama tentang hubungannya dengan istrinya bikin aku tambah spaneng. Entahlah, aku sama sekali tidak bisa menerima begitu saja penjelasannya. Serasa masih belum masuk ke nalarku. Begini, Tama mengaku menikah dijodohkan. DIJODOHKAN! Sekali lagi aku tekankan. Dijodohkan saja bisa menghasilkan anak-anak yang jarak lahirnya begitu dekat, gimana kalau enggak dijodohkan? Masuk akal enggak, sih? "Mamaku dan orang tua Sintia menuntut kami untuk segera memiliki anak," dalih Tama. Yang lagi-lagi hanya membuatku bersedekap tangan dan berdecak. Kalau aku menceritakan semua yang dia akui kepada Giko dan Danar, aku yakin isi komentar mereka semua tentang hujatan untuk Tama. Beberapa menit lalu aku mengantar kepulangan Tama. Hanya sampai depan pintu saja. Lalu aku segera masuk setelah sebelumnya menghindari kecupannya yang akan mendarat di keningku. Hatiku sedang nggak baik-baik saja. Ubun-ubunku rasanya mau meledak setelah
"Teng kyu, Bebeb Wina!" Giko memelukku sangat erat hingga napasku terasa sesak. Aku memukul-mukul bahunya, agar dia segera melepas pelukannya. Namun, sia-sia. Dia benar-benar ingin mencabut nyawaku atau bagaimana? Setelah hampir membunuhku, dia dengan gemas mencium ubun-ubunku baru melepas pelukannya. Aku tersengal dan buru-buru meraup udara sebanyak-banyaknya. "Setan, lo! Lo mau bunuh gue?!" bentakku dengan mata melotot. "Duh, Win. Jangan mendelik gitu dong, ntar kayak Suzanna di Malam Jumat Kliwon, serem." Aku mendengus dan meliriknya dengan tatapan jengkel. Dasar manusia enggak punya ahlak. Baru juga menghirup udara bebas, Giko menarik tanganku sampai aku nyaris terjerembab. Astaga! Dia membawaku duduk di salah satu kursi restoran yang ... lumayan berkelas daripada restoran siap saji yang biasa dia kunjungi saat masih sekolah. "Karena lo udah setuju jadi pacar pura-pura gue, so gue mau traktir elo makanan terenak di restoran ini," ucapnya dengan wajah penuh binar. Aku tidak
"Thanks, ya, buat kencannya malam ini, Pacar," ucap Giko saat kami sudah sampai di depan pintu apartemen. Aku memutar bola mata dan bersedekap tangan. "Cabut lo." "Ebuset, masa sama pacar sendiri gitu?" Aku melotot. "Pura-pura, ya." Bibir Giko berlipat, tangannya dengan jahil mengacak rambutku. "Akting dikit biar di depan Tuan Besar Ruslan terlihat natural." "Giko! Apaan sih," aku menyingirkan tangannya yang nggak punya adab itu. "Rambut gue kusut!" "Udah malam ini nggak apa-apa dong kusut dikit." Aku mendengus sebal lalu mengibaskan tangan, menyuruhnya pergi. "Karena ini udah malam, makanya cabut gih.""Oke, thanks ya, nanti kita rencanain jadwal makan malam bersama keluarga besar gue, buat ngenalin lo secara resmi ke mereka," ujarnya menarik turunkan alisnya. Makan malam dengan keluarga Giko terdengar menyeramkan di telingaku. Ya Allah, mendadak aku menyesal menolongnya. "Gi, apa gue mundur aja, ya?""Eh, apa?!" pekiknya. Bola matanya membulat, sudah seperti kecongkel sodet