"Teng kyu, Bebeb Wina!" Giko memelukku sangat erat hingga napasku terasa sesak. Aku memukul-mukul bahunya, agar dia segera melepas pelukannya. Namun, sia-sia. Dia benar-benar ingin mencabut nyawaku atau bagaimana? Setelah hampir membunuhku, dia dengan gemas mencium ubun-ubunku baru melepas pelukannya. Aku tersengal dan buru-buru meraup udara sebanyak-banyaknya. "Setan, lo! Lo mau bunuh gue?!" bentakku dengan mata melotot. "Duh, Win. Jangan mendelik gitu dong, ntar kayak Suzanna di Malam Jumat Kliwon, serem." Aku mendengus dan meliriknya dengan tatapan jengkel. Dasar manusia enggak punya ahlak. Baru juga menghirup udara bebas, Giko menarik tanganku sampai aku nyaris terjerembab. Astaga! Dia membawaku duduk di salah satu kursi restoran yang ... lumayan berkelas daripada restoran siap saji yang biasa dia kunjungi saat masih sekolah. "Karena lo udah setuju jadi pacar pura-pura gue, so gue mau traktir elo makanan terenak di restoran ini," ucapnya dengan wajah penuh binar. Aku tidak
"Thanks, ya, buat kencannya malam ini, Pacar," ucap Giko saat kami sudah sampai di depan pintu apartemen. Aku memutar bola mata dan bersedekap tangan. "Cabut lo." "Ebuset, masa sama pacar sendiri gitu?" Aku melotot. "Pura-pura, ya." Bibir Giko berlipat, tangannya dengan jahil mengacak rambutku. "Akting dikit biar di depan Tuan Besar Ruslan terlihat natural." "Giko! Apaan sih," aku menyingirkan tangannya yang nggak punya adab itu. "Rambut gue kusut!" "Udah malam ini nggak apa-apa dong kusut dikit." Aku mendengus sebal lalu mengibaskan tangan, menyuruhnya pergi. "Karena ini udah malam, makanya cabut gih.""Oke, thanks ya, nanti kita rencanain jadwal makan malam bersama keluarga besar gue, buat ngenalin lo secara resmi ke mereka," ujarnya menarik turunkan alisnya. Makan malam dengan keluarga Giko terdengar menyeramkan di telingaku. Ya Allah, mendadak aku menyesal menolongnya. "Gi, apa gue mundur aja, ya?""Eh, apa?!" pekiknya. Bola matanya membulat, sudah seperti kecongkel sodet
Terima kasih buat yang udah meramaikan bab kemarin. Hari ini aku up lagi mohon diramaikan juga yak, aku harap kalian bisa tahan emosi. Wkwk.Kasih api!_____Cemburu. Pria yang memiliki mata teduh dengan dua alis tebal membingkai itu bilang cemburu? Aku lebih cemburu karena dia sudah hidup bertahun-tahun dengan wanita lain. Sementara selama itu aku menghabiskan waktu untuk men-stalking akun sosial medianya. Miris kan? "Aku mau mandi, gerah. Ngantuk juga. Kamu bisa pulang, kan?" Kepala Tama menjauh dari pundakku. "Kamu mengusirku?" tanya Tama dengan mata mengerjap. "Memang kamu enggak kangen sama aku? Kita seharian nggak ketemu loh. Pagi yang aku harap bisa berangkat kerja bareng kamu, malah kamu udah pergi duluan." Aku menarik napas lalu beringsut menatapnya. "Aku kangen sama kamu. Cuma malam ini dan malam kemarin kamu nyebelin. Jadi, aku males." Tama diam, tapi tangannya bergerak meraih tanganku dan menggenggamnya. "Jangan males. Itu cuma bikin kita makin jauh. Aku itu selalu pen
Tawa Arin langsung terhenti begitu melihat Giko mendekat. Dia bahkan langsung pura-pura sibuk di depan layar. Aku dengan mata setengah watt yang hampir redup mengangkat kepala, menahan kuap, lalu merentangkan tangan. "Beb, makan siang, yuk." Tepat dugaanku. Tidak seperti biasanya yang lebih dulu menggoda Arin, dia langsung menghampiriku. Tersenyum lebar sembari menumpukan lengannya ke pembatas kubikel. "Gue lagi males makan. Ngantuk. Mau tidur aja." Aku kembali menjatuhkan kepala ke atas meja. Kasih aku waktu satu jam buat tidur. "Win, tapi ini bentar lagi jam makan siang loh. Emang lo nggak lapar?" tanya Giko lagi. Tanganku terangkat dan mengacungkan telunjuk. "Kasih aku satu jam aja buat tidur. Aku ngantuk banget.""Danar mana?" "Dia lagi ada meeting di luar. Sudah sejam yang lalu.""Lo yakin nggak mau makan siang?" tanya Giko lagi. Aku hanya mengangguk. Lalu aku mendengar suara langkah kaki menjauh, bersamaan dengan lenyapnya suara Giko. "Oh, My God! Keajaiban dunia dia ng
Aku terselamatkan dari cecaran Arin karena dia lantas sibuk dengan tumpukan pekerjaan yang Danar beri. Aku juga bisa fokus mengerjakan pekerjaanku hingga selesai. Pukul setengah delapan malam aku baru benar-benar merampungkan pekerjaan. Sementara Arin dan Danar belum kembali ke kantor divisi lantaran sedang mengikuti rakor di lantai sepuluh. Ketika aku sedang merapikan meja, ponsel pintarku yang ada di dekat PC bergetar. Senyumku sontak terbit saat membaca nama yang tertera di layarnya. Aku meraih benda pipih itu dan mengangkat panggilan tersebut. "Halo, Tama," sapaku, menjepit ponsel di antara telinga dan bahu. Sementara dua tanganku memasukkan barang-barang pribadiku ke dalam tas. "Udah pulang, Wina?" tanya Tama di sana. "Ini baru mau turun. Kamu di mana?" Aku menarik resleting setelah memastikan semuanya masuk ke tas. "Aku masih di kantor. Ini lagi istirahat sebentar. Ngopi biar nggak ngantuk. Sambil telepon kamu biar tambah melek." Aku terkekeh mendengarnya. "Sama siapa?"
"Wina!" Suara panggilan itu menghentikan langkahku. Aku menoleh ke belakang dan langsung menemukan Giko setengah berlari menghampiri. Aku tidak menghiraukan dan kembali melanjutkan langkah menuju lift. Namun, dia dengan cepat bisa menyejajariku, dan tangannya yang usil langsung bertengger di pundakku, merangkul. Aku melebarkan mata, mengutuk tingkahnya yang asal peluk. Astaga, ini tempat umum. Aku memang kadang jalan berdua dengan Giko di wilayah gedung ini. Tapi, ya tentu saja nggak sampai main peluk begini. Cepat-cepat aku menyingkirkan tangannya dan mendelik. Menjadi perhatian para karyawan di pagi hari bukan awal yang baik. "Jaga sikap lo, Gi. Ini tempat umum," desisku berusaha tidak membuka bibir. "Kenapa sih? Kan kita pacaran," sahutnya cengengesan. Aku ingin sekali menampol kepalanya yang nggak tahu isinya apa. "Yang pacaran beneran aja nggak selebay elo," ujarku sebal masih mempertahankan ekspresi gemas campur kesal. "Lihat, situasi dong, Gi." Giko masih cengengesan seak
"Aku nggak bisa, sori," ucapku lirih. Saat ini aku sedang makan siang sendiri di pantri. Dengan bekal yang sengaja aku bawa dari rumah untuk menghindari makan siang bersama Tama atau Giko. "Kenapa? Sudah ada rencana?" tanya Tama di ujung telepon sana."Hu-um." Aku berharap Tama tidak bertanya lebih daripada ini."Kamu mau pulang ke rumah ibu kamu?" tanya Tama lagi. "Enggak, sih. Udah ada rencana aja." Aku nggak ingin jujur kalau weekend nanti Giko mengajakku makan malam dan akan memperkenalkan aku pada Luffy, kakaknya. Tapi, lidahku susah untuk jujur."Oke kalau gitu take your time buat nanti. Tapi Sabtu malam, kita bisa ketemu, kan?" Aku menggigit bibir tanpa sadar. Sekarang aku agak takut jika bertemu dengan lelaki itu. Di depannya aku merasa tidak bisa mengendalikan diri. "Lihat nanti saja kayaknya, deh. Soalnya kerjaan lagi hectic banget." Meskipun dalam hati aku ingin selalu bersama lelaki itu, tapi aku harus tetap bisa menahan diri. "Ternyata lo di sini." Aku terkesiap da
"Kok kamu ngomongnya gitu?" tanya Tama dengan nada tak suka. "Kenapa? Omongan aku benar kan? Kita enggak bisa begini terus. Lebih baik kamu jauhi aku aja." Aku mengatakan kalimat itu dengan mata lurus menatap pintu lift di depanku. "Enggak, ini salah. Kamu nggak tau gimana aku menunggu momen ini. Momen bersama kamu. Aku yakin kamu juga sama kan?" Aku melepas napas kasar. "Tapi masalahnya kamu dan aku nggak bisa bersama. Kamu udah punya keluarga dan aku nggak pernah punya rencana buat jadi yang kedua." Emosiku buruk. Aku merasa punya lampiasan rasa kesal yang aku simpan untuk Giko. "Aku nggak pernah anggap kamu yang kedua, ya, Win," ujar Tama terdengar dalam. Suara baritonnya yang biasa terdengar lembut, kini berubah dingin. "Aku nggak mungkin melepasmu begitu saja setelah menemukanmu." "Aku tetap yang kedua, Tama. Mau gimana pun kamu beralasan, aku tetap yang kedua." Aku menunjuk dadanya yang bidang. "Kamu udah punya Sintia lebih dulu!" "Aku akan melepas Sintia, secepatnya." S