Share

Anak Berandal Baru

***

Hari ini menjadi hari pertama aku masuk ke sekolah menengah atas, melanjutkan pendidikan yang terhenti di Jakarta. Kakek dan Nenek mau membantu sekolahku secara finansial, beberapa petak tanah dan usaha lainnya pasti membuat keuangan keduanya stabil hingga kini.

Aku senang, mereka begitu peduli padaku, setelah Ayah pergi dan Ibu tiada, tidak ada lagi kupikir seseorang yang mau peduli dan sayang padaku, dugaanku salah besar.

“Bersiaplah, Kakek pikir sekolah di Bandung perlu adaptasi yang relatif lama dibandingkan daerah Jabodetabek,” jelas Kakek.

“Itu benar, soalnya ada anak tetangga yang kesulitan beradaptasi dan memilih kembali ke Bekasi dan melanjutkan sekolah di sana. Aku harap kamu tidak seperti itu, Bagas,” timpal Nenek, ia menuangkan sup hangat dari dalam panci ke mangkuk besar kaca yang tampak indah.

Kuletakan tas sekolahku dan mulai menyantap sarapan bersama mereka, “Jangan khawatir, aku tidak akan mengecewakan kalian.”

Kakek dan Nenek tersenyum, mereka melanjutkan makan bersama denganku hingga waktu menunjukan pukul delapan pagi, sudah saatnya aku pergi sekolah.

Berbeda dengan siswa lainnya, aku datang jam 8 karena diminta oleh pihak sekolah. Kedatanganku ke sekolah sebagai siswa pindahan, bukan siswa baru. Aku pun tidak terlalu paham, tapi begitulah apa yang diperintahkan sekolah kepadaku.

Bukan bermaksud sombong, nilaiku selama di Jakarta dengan ketika penyamaan nilai di Bandung ternyata berbeda jauh. Nilai asliku di Jakarta terbilang tinggi ketika berada di Bandung, dengan kata lain para staf sekolah menganggapku seseorang yang cerdas.

“Aku berangkat!”

Kakek dan Nenek melambaikan tangan sembari tersenyum hangat, kedua mata mereka terpejam seperti mengharapkan ada sesuatu yang baru terjadi padaku. Semoga saja harapan baik yang mendatangiku.

Seluruh ceremonial terjadi, seperti perkenalan diri dan berbincang dengan teman sebangku. Semuanya terasa sangat lancar, bahkan seperti tidak ada masalah berarti. Kuperhatikan mata pelajaran dan mencoba menyimak penjelasan dari guru di depanku, pelajarannya cukup mudah dimengerti.

Bel istirahat berbunyi, mereka segera keluar secara berbondong-bondong dari kelas, beberapa kulihat ada yang makan di kelas, ada juga yang pergi ke kantin. Aku masih terdiam di kelas, masih terasa canggung meskipun aku sudah banyak bercerita pada teman sebangku tadi.

“Hei murid baru, apa kamu ingin pergi makan?” tanya salah satu siswa laki-laki, ia berjalan di depan tiga orang di belakangnya, kancing di seragamnya terlepas satu dan rambutnya cukup gondrong untuk ukuran seorang siswa.

“Tidak perlu, aku tidak lapar.”

Ia terdiam, menerima penolakan memang tidak mengenakan, tapi ada dua sikap yang biasa dilakukan orang-orang. Pertama, menerima penolakan. Kedua, menolak penolakan. Yang kulihat dari wajah laki-laki itu adalah opsi kedua, menolak penolakan.

“Tidak apa-apa, sekalian kuberi tumpangan untuk berkeliling sekolah. Kupikir kamu perlu tahu sebelum tersesat dan menangis di pojokan gedung,” ledek laki-laki tersebut, teman-teman di belakangnya tertawa, lawakan yang cukup lucu dari laki-laki itu, tapi tidak bagiku.

Ucapanya lebih mirip ke arah penghinaan dibandingkan lawakan, teman-temannya tertawa karena mereka tahu sifat asli laki-laki itu seperti apa. Namun, mereka tidak tahu sifatku seperti apa, dan mereka tentu tidak tahu apa aku menerima lawakan itu atau tidak.

“Aku tidak suka kamu menghinaku seperti itu!” tegasku sembari berdiri dari atas kursi dan menatap wajah laki-laki di depanku.

Ia tersenyum, sembari merenggangkan telapak tangannya di depanku, ia mengajakku untuk bertemu selepas sekolah di tempat yang sudah ia tentukan. Aku mengiyakan, jika aku menolak, bukan tidak mungkin ke depannya mereka akan terus menggangguku.

Aku harus segera mengakhiri ini di sini dan secepatnya.

***

Mereka telah datang lebih dulu ketimbang diriku, tidak ada yang tahu kalau pada akhir jam pelajaran ini akan terjadi baku hantam pertama sejak aku masuk sekolah di Bandung. Mereka telah bersiap dengan membuat setengah lingkaran yang menghadap kearahku.

Siswa laki-laki yang sok jagoan itu, ia berdiri di tengah-tengah temannya, melompat-lompat ringan seolah-olah sedang bertinju di atas ring. Wajahnya tegas dan tajam menatapku, sedangkan aku hanya diam membalas tatapannya, tanpa ada seseorang yang menemaniku dan mendukungku dari belakang.

Sungguh, ini awal yang buruk untuk memulai hidup baru, harapan yang diinginkan oleh Kakek dan Nenek kepadaku.

Kurapatkan celah yang terbuka di antara dua sikutku dan mencoba membuat kuda-kudaku semakin kuat. Melihatku banyak persiapan, membuat mereka cukup ketakutan, pasti mereka takut setelah melihat kuda-kudaku seperti seseorang yang paham bela diri.

Padahal aku hanya mengikuti gerakan yang kutonton di TV, dan aku yakin semua itu pasti rekayasa.

“Apa kamu yakin akan melakukannya?” tanya laki-laki itu, memastikan untuk kedua kalinya padaku. Aku mengangguk.

Tanpa banyak bicara kudaratkan kepalan tangan nan keras ini menghantam wajah laki-laki itu, gerak yang sangat cepat dan keras, membuat ia terhuyung jatuh dengan wajah yang memar. Aku mengunggulinya.

“Sialan! Aku sama sekali belum bersiap, brengsek!” cela laki-laki itu.

Aku bergerak cepat, segera kutendang perutnya dan beberapa kali menghantamkan kepalanku mengarah ke wajah dan perutnya, membuatnya terkapar dengan wajah yang lebam tak karuan.

“Aku bilang belum siap, sialan!”

“Aku pikir ini adalah pertarungan, bukan ajang pencarian bakat!” Kutarik kerah baju laki-laki itu dan melemparnya ke tumpukan sampah di dekat sebuah kebun, baju putihnya kini kotor berlumuran lumpur berwarna cokelat dan bau menyengat dari sampah.

Mereka, teman-teman laki-laki itu hanya bisa diam dengan wajah melongo, melihat temannya babak belur hingga bahkan tersungkur dengan wajah tertunduk. Mereka terlalu bodoh untuk melawanku dan memilih untuk pergi berpencar meninggalkan laki-laki itu sendiri.

Hujan tiba-tiba datang mengguyur, keadaannya semakin mengenaskan dengan baju seragamnya yang sepenuhnya basah dan kotor. Hari itu, aku memenangkan pertarungan dan mereka tidak lagi menggangguku. Tidak sebelum laki-laki kini justru mendekatiku dan bergaul denganku.

Ilva. Itulah nama laki-laki yang kalah telak di pertarungan satu lawan satu denganku. Ia mengatakan kalau dia akan menuruti apa yang kukatakan dan menjadi teman baiknya. Aku menyetujuinya, setidaknya itu yang terbaik baginya daripada haru kembali bertarung denganku.

Sial bagiku, keesokan hari setelah pertarungan. Ada seseorang yang melihat pertarungan itu dan membocorkannya ke pihak sekolah. Aku, si murid baru dipanggil untuk menghadap, begitu juga dengan Ilva. Kami mengatakan yang sebenarnya kepada sekolah, dan mereka hanya menatapku hina.

Kakek dan Nenek datang, aku sudah menduga kemarahan mereka tak terbendung ketika mendengarku berkelahi di luar sekolah. Pihak sekolah awalnya ingin mengeluarkanku dan Ilva. Namun, Kakek dan Nenek memohon dengan sangat agar aku tak dikeluarkan. Hati mereka luluh, aku hanya diskors selama 1 minggu.

“Obati lukamu itu, sialan! Aku belum selesai denganmu,” ucapku dengan tegas, menunjuk beberapa luka lebam di wajah Ilva.

Ia terdiam dan memilih pergi meninggalkanku. Aku pulang bersama Kakek dan Nenek, selama 3 hari itu, mereka berdua sama sekali tidak ingin bicara apa pun padaku. Selama itu, aku merasa seperti terasingkan kembali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status