Share

Kegilaan dan Putus Asa

***

Beberapa bulan setelahnya, aku secara resmi tinggal berdua dengan ibuku. Kami sudah tak memedulikan keadaan Ayah seperti apa di penjara, kekecewaan yang ia berikan pada kami cukup membuat kami berpaling dan menjauh darinya, untuk selamanya.

Senyum, tawa, dan kehangatan di dalam lingkaran keluargaku sudah menghilang. Ibu, sosok orang terdekat yang masih berada di sampingku, wajah dan tubuhnya tampak seperti tak bersemangat. Makanan yang ia sajikan juga terkadang terasa hambar di lidah.

Aku tidak bisa protes, aku tidak bisa ngeyel padanya. Situasi kami berada dalam keadaan yang sama-sama sulit. Aku kehilangan ayahku, dan dia mungkin kehilangan belahan jiwanya untuk selamanya. Aku mencoba hidup dalam rutinitasku dan berharap suatu saat, semua ini akan berakhir.

“Bagas … bangunlah,” ucap Ibu di pagi hari, matanya sayu dan menatapku dengan raut wajah kesedihan.

Aku berdiri dengan sigap, jika Ibu melemah dalam kondisi saat ini, maka aku akan hadir untuk memberikan warna baru bagi hidupnya. Setidaknya itu yang harus kulakukan agar keluarga ini kembali menemukan kehangatannya.

Namun, respon yang ia berikan tidak seperti apa yang kuharapkan. Ia masih tertunduk lesu, tak bersemangat dan terkadang jatuh tanpa sebab. Aku sering menjumpai ia menangis di malam hari sembari memukul-mukul foto pernikahannya dengan Ayah.

“KAU BAJINGAN!”

“LAKI-LAKI BUSUK!”

“SAMPAH!”

Bukan hanya ketiga kalimat itu, aku bahkan sempat mendengar beberapa kata umpatan yang keluar dari mulutnya, kata-kata yang tak sepantasnya kudengar malam itu.

Hatiku semakin hancur, hari demi hari aku melihat Ibu layaknya tengah disiksa dalam penderitaan yang dalam. Hidupnya semakin tak terarah, lunglai dan lemas. Aku bahkan sempat melakukan konsultasi dengan psikolog terdekat untuk mengobati Ibu. Namun, tak satu pun dari mereka mampu melakukannya. Aku habis akal saat itu juga.

Malam itu, aku makan malam bersamanya. Ia biasa memasakan makanan nasi goreng untukku dan beberapa makanan ringan yang ada di atas meja. Ia duduk tepat di depanku, menyisakan satu kursi kosong di sisi lain yang biasa digunakan ayah.

Meskipun Ayah sudah tak ada, Ibu masih meletakan piring di tempat itu, seolah-olah pria hina itu berada di sini, bersama kami. Saat itu, aku berinisiatif untuk menyingkirkan piring kosong beserta gelasnya ke rak. Namun, hal yang terjadi sungguh tak terduga.

“Apa yang kamu lakukan?!”

Ibu membentakku, sikap kasar yang pernah kulihat di kamar terpampang jelas di depanku. Ia berubah beringas, matanya melotot tajam seolah-olah kedua bola matanya hendak melompat keluar, ia memegang sendok dan gelas dengan erat, dan tiba-tiba dengan cepat melemparkan gelas kaca itu kepadaku.

“Aku hanya menyingkirkan ini agar Ibu tidak—”

“Jangan kamu lakukan! Biarkan saja di sana.”

Aku yang sudah terlanjur shock segera meletakan kedua benda itu kembali ke atas meja dan meninggalkan Ibu sendirian di ruang makan, menyantap makanan yang ia buat serasa membayangkan tengah melakukan makan malam romantis dengan Ayah bayangan.

Hingga tengah malam, Ibu tidak menghampiriku dan aku dihinggapi rasa lapar sampai dengan pagi hari. Malam itu juga, aku mendengar sesuatu seperti tawaan yang diiringi dengan tangisan dari kamar kedua orang tuaku.

Aku memberanikan diri mengintip, dan aku hampir melompat karena kaget. Aku melihat Ibu yang sedang tertawa sambil memegang baju favorit milik Ayah. Ia juga tampak seperti tengah berbicara dengan seseorang di dalam, matanya tampak kosong dan pikirannya liar kemana-mana.

Hari itu, aku sudah mendiagnosis Ibu kalau dia mengidap gangguan jiwa.

Penderitaanku bertambah dan satu persatu orang terdekatku mulai menghilang.

***

Kami sekeluarga menjadi bahan pembicaraan selama beberapa bulan oleh tetangga sekitar, mereka mulai bergosip tentang aku yang terlantar, Ibu yang mulai gila, hingga kasus skandal pernikahan antara Ibu dengan Ayah.

Semua yang mereka katakan membuat pikiranku semakin kacau. Aku terpaksa harus selalu siaga di kamar Ibu, dengan obat penenang yang kubeli di apotik menggunakan uang saku Ibu. Setiap kali jam 12 siang atau 4 sore, aku selalu berada di dekatnya ketika efek obat mulai menghilang.

“Ibu … apa kamu mau makan?” tanyaku.

“Di mana Ayah?”

“Ayah sedang … bekerja, malam ini dia pulang.”

“Oh. Nanti malam saja bareng Ayah,” ucap Ibu, ia sama sekali tidak menatapku dan malah melirik langit-langit dengan tatapan yang aneh.

Itulah rutinitasku sejak Ibu kudiagnosis mengalami gangguan jiwa, aku hendak menelepon petugas rumah sakit jiwa terdekat. Namun, itu justru akan menimbulkan spekulasi liar dan aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.

Jalan satu-satunya aku harus berada di dekat Ibu dan merawatnya sendiri. Kupelajari teknik untuk menyembuhkan gangguan jiwa dari internet dan buku sekolah, terapi yang banyak melibatkan kenangan dan ingatan seputar orang terkasih. Untuk Ibu, itu adalah Ayah.

Apa yang kulakukan berbuah manis, tak kusangka terapi yang kulakukan bisa kembali membuat Ibu normal untuk setidaknya beberapa waktu. Sudah tak terhitung berapa banyak pil penenang yang kugunakan padanya, tapi semua usaha itu terbayar ketika melihat Ibu ceria kembali seperti biasa.

Aku tidak apa-apa, biarkan saja dia hidup dalam imajinasinya.

Suatu hari, seorang polisi datang dan kebetulan aku sedang berada di atas. Pintu terbuka dan orang yang menerima kedua polisi itu tak lain adalah Ibu. Gawat! Pikirku.

Ibu hanya tahu Ayah pergi bekerja dan sering pulang malam untuk menemaninya tidur, ia tidak tahu kalau Ayah tengah dipenjara. Dengan membangkitkan kenangan buruk itu kembali, bukan tidak mungkin semua usahaku akan sia-sia.

“Ibu Mira, ini rekaman dari suamimu beberapa bulan lalu yang belum kamu ambil,” ucap salah satu polisi.

“Suamiku? Bukankah dia masih bekerja?”

“Bekerja? Apa maksudmu? Dia masih menjalani masa hukuman.” Polisi itu membantah dengan nada yang cukup tinggi.

“Tidak! Dia masih bekerja!” bentak Ibu dengan lantang.

Suara keduanya yang saling beradu argumen dengan nada tinggi memancing perhatian warga komplek untuk datang. Sekali lagi, Ibu menjadi pusat perhatian tetangga yang selalu membicarakannya.

Aku menarik Ibu masuk dan memberikan beberapa pil penenang untuknya. Aku juga tak lupa berterima kasih kepada kedua polisi dan mulai menutup rumah, pintu dan jendela agar tertutup.

Ini tidak baik, keadaan Ibu akan semakin buruk.

Hal buruk terjadi di hidupku. Penderitaan yang Ibu alami harus segera dihentikan segera. Aku tidak tahan melihat ia sengsara dalam lautan kekecewaan yang ia buat sendiri, aku tidak bisa membiarkan itu terus terjadi.

Maafkan aku! Aku anak yang jahat.

Aku menyiapkan makan malam untuk Ibu, untuk kesekian kalinya, Ibu tampak tenang setelah kuberi beberapa pil penenang. Ia makan tepat di depanku dan tersenyum dengan mengatakan makan malam yang kubuat enak.

Aku tersenyum simpul, sambil berlinang air mata kupandang wajah wanita yang akan kurindukan selamanya. Ia makan sangat lahap hingga tak sadar kepalanya pening dan matanya mulai terpejam, ia terjatuh menyamping dengan busa putih keluar dari mulutnya.

Aku bangkit dan mengusap rambut panjang Ibu yang sebahu, rambut yang selalu menjadi favoritku sejak kecil. Sangat sakit rasanya, aku harus berusaha tegar. Aku tidak boleh menunjukan kesedihan dan kekecewaanku di hadapanya.

Hari itu, ia meninggalkanku.

Tidak!

Aku yang memintanya untuk meninggalkanku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status