Share

Logika yang terabaikan

***

Hari demi hari terlewati, pasca skorsingku yang mencapai batas –skors selama satu minggu– di hari kemarin. Kini aku siap untuk kembali ke sekolah, mencoba meraih peringkat atas akademik dan kepopuleran di antara siswa lain. Hal ini tentu bisa membuat seseorang menjadi tidak nyaman.

Ilva, ia kini sepenuhnya berada dalam tanganku. Kekalahan memalukan melawan anak baru membuatnya harus menanggung malu yang sangat besar, dari cerita murid lain –Aku mendengarnya ketika istirahat makan siang. Ilva menjadi salah satu siswa “jagoan” di tiga sekolah aliansi.

“Tiga sekolah aliansi? Itu mengesankan,” ucap salah satu siswa, merasa terkagum mendengar apa yang seharusnya menjadi rasa malu bagi seorang siswa.

Merasa hebat di bagian kenakalan? Yang benar saja! Apa hidup mereka akan berakhir menjadi gelandangan dan preman suatu hari nanti? Aku tak habis pikir dengan tingkah mereka yang mengagung-agungkan posisi mengesankan di tiga sekolah aliansi.

“Apa maksudnya itu?” tanyaku kepada Ilva, selama jam istirahat ia selalu berada di dekatku, entah untuk melindungiku atau sebagai “ganti” kekalahan tempo hari.

“Para siswa terbaik, dalam hal pertarungan, mereka mengajukan diri sebagai komandan Tiga Sekolah Aliansi. Dulu aku bagian kepengurusan dari mereka,” ucap Ilva, ia duduk tepat di depanku sembari membawa makanan ringan yang ia bawa.

“Jadi, mereka hanyalah segerombolan anak sialan yang menghabiskan waktu untuk omong kosong kejayaan dan merundung orang untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan?” tanyaku.

Ilva berdecak lidah ketika mendengar apa yang kukatakan, ia memalingkan wajahnya dan memandangi taman sekolah yang cukup indah dan rindang.

“Itu cukup jahat, tapi memang begitulah yang terjadi.”

Aku terdiam, menyimak semua kata yang barusan Ilva katakan. Sepenuhnya aku tidak merasa bersalah atas keputusan Ilva yang meninggalkan mereka, ia sudah kalah pertempuran, mau tidak mau dia harus menaati sang pemenang, karena sejarah ditentukan oleh para pemenang.

“Tch! Aku tidak punya waktu berurusan dengan mereka yang bahkan tidak memikirkan masa depan mereka sendiri,” hinaku, Ilva tampak semakin kesal, dilihat dari raut wajah dan alisnya yang perlahan semakin mengkerut mendengar kelanjutan dari ceramah dariku.

“Mereka juga tidak ada waktu mengurus pecundang sepertimu.”

“Ya benar juga sih, tapi sayangnya kamu yang salah satu petinggi dari kelompok sialan itu harus kalah dengan memalukan oleh pecundang ini.”

“Hentikan….”

“Bahkan aku masih mencium bau sampah dari dua ketiakmu itu, sialan!”

“Kubilang hentikan, KAU BRENGSEK!”

Ilva dengan lantang menarik kerah baju dan menatapku dengan kedua matanya yang menyala marah, seluruh siswa di kantin tak bisa melerai kami karena mereka tidak ada yang berani mendekati kami, dua orang paling menakutkan di SMA, hanya orang bodoh yang berani melerai kami.

Dan benar, orang bodoh itu datang sembari menyiram wajahku dan wajah Ilva menggunakan minuman yang ada di nampan yang ia bawa, bau dan rasanya seperti jeruk.

Semuanya sontak berteriak dan tersentak diam melihat adegan tak terduga dari wanita tersebut. Mereka mungkin tidak berpikir kalau kami tidak akan melukai seorang wanita, aku tidak tahu Ilva bagaimana, tapi lain denganku.

Kutarik kerah baju wanita di sampingku, rambutnya panjang terurai dengan kaca mata bulat yang ia kenakan. Bajunya ikut basah karena tanganku yang masih berlumuran air jus tersebut.

“Apa kamu ingin aku merusak wajahmu itu, Mata Empat?!” bentakku.

“Lakukanlah! Aku tidak takut sama sekali,” erangnya, menatapku tajam dengan nada suara yang cukup tinggi.

Tak lama, datanglah seorang guru BK yang berpakaian seragam olahraga guru. Ia melihat kekacauan di kantin yang semakin tak terkendali berkat amarahku, segera ia menarik dan mengunci kepalaku di lengannya, begitu juga dengan Ilva dan wanita sialan yang melemparku tadi, keduanya dituntun oleh orang yang berbeda.

“KAU SISWA SIALAN! Aku bisa saja mengeluarkanmu saat ini juga.”

Entah kenapa, aku justru mendapatkan cacian lebih dari kedua orang di sampingku. Mungkin itu disebabkan karena guru yang pertama datang tengah melihatku mencekik kerah baju wanita tersebut.

“Sudah kubilang, aku sama sekali tidak—”

Plak!

Ucapanku terhenti dengan kasar, sebuah telapak tangan guru mendaratkan pukulan dan tamparannya di wajahku. Kekuatan dan kecepatannya luar biasa, mungkin ini pukulan pertama yang kudapatkan di sekolah ini, ironisnya langsung dari guru.

“Sudah salah masih mau membantah, dasar anak sialan!” bentak guru tersebut.

“T-Tunggu dulu, ini semua salahku karena aku yang membuat keadaan di kantin semakin kacau,” ucap wanita di sampingku.

“Jangan membelanya! Dia sudah menarik bajumu, tidak sepatutnya kamu membela orang jahat sepertinya.”

Aku hanya terdiam sembari wajah yang terus tertunduk, aku tidak mengerti dengan sistem keadilan di SMA ini, kenapa orang selalu melihat sesuatu dari satu sudut pandang saja? Kenapa mereka tidak mencoba untuk melihat sesuatu dari berbagai perspektif? Lalu kenapa akhirnya aku yang selalu disalahkan?

“Kamu akan saya hukum, buka seragam kamu!” titah guru tersebut, aku mengiyakan karena memang posisiku sangat terpojok dan tidak ada satu pun yang bisa membantuku.

Kubuka seragam sekolahku yang terlanjur basah, kini hanya ada kaus oblong berwarna hitam yang kukenakan. Guru itu juga memintaku untuk membukanya, kubuka dengan perlahan.

Kini di hadapan guru BK tersebut, aku sudah bertelanjang dada. Salah satu pria mengeluarkan benda dari dalam lemari dan benar apa yang kuduga, itu adalah papan nama yang akan dipasangkan padaku, dan sebuah mesin cukur.

“Tunggu dulu! Dengarkan penjelasanku dulu, Pak!” lantang wanita tersebut, tapi kedua guru itu sama sekali tidak mengindahkannya.

Keduanya diusir dari ruang BK, kini hanya meninggalkanku seorang. Mereka langsung mencukur habis rambut kepalaku hingga pendek layaknya tentara, begitu juga dengan papan yang mereka siapkan.

Aku sudah seperti tahanan yang dipermalukan di depan umum.

Tidak ada gunanya untuk melawan, kan?

Penghinaan itu telah berakhir di ruang BK, kini aku dituntun untuk dihukum untuk berdiri di lapangan upacara dengan bertelanjang dada dengan papan nama yang dikaitkan ke leherku dan terpasang di depan dadaku.

Orang-orang mulai menatapku dengan tatapan menghina, mengejek, dan ada beberapa yang melemparkan batu kearahku. Terkadang ketika kutatap balik mereka, siswa-siswa itu memilih pergi dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa.

Yang lebih buruk, hujan turun sangat deras. Tak ada perintah apa pun dari guru untukku berteduh dan semacamnya. Aku bermandikan air hujan sore itu hingga pulang sekolah, kini tak hanya baju, celanaku ikut basah sepenuhnya.

“Apa kamu tetap berdiri sejak hujan turun?” tanya seseorang di depanku, kutegakan kepala ini dan melihat ternyata dia adalah wanita si pengacau di kantin siang tadi.

“Mereka tidak menyuruhku meneduh, aku tidak bisa mendapat hukuman lain selain ini,” ucapku dengan datar.

“Tapi secara logika, harusnya kamu—”

“Jika bertanya seputar logika, apa hukuman ini sesuai dengan logika yang benar?” tanyaku menyela pertanyaan wanita tersebut.

Huft, tak ada gunanya berbicara dengan wanita itu.

“Pergilah, sebelum guru itu datang dan mulai menghilangkan logika tentang kebenaran suatu hal,” titahku kepada wanita tersebut.

Benar, ia pergi dengan wajah yang sedih. Sungguh, aku tidak membutuhkan belas kasihan darinya. Hukuman yang kudapatkan menimbulan rasa malu yang tak terhingga, mereka mungkin akan mengenal diriku sebagai seseorang yang berandal dan tak beradab.

Itulah yang terjadi, mereka akan menarik kesimpulan dari apa yang mereka lihat, bukan dari apa yang mereka pahami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status