Share

Hampa dan sunyi

***

Ibu dibawa oleh beberapa orang keluar rumah dengan keadaan tubuhnya yang tertutup kain berwarna putih. Aku masih bisa melihat bekas piring dan gelas tempat Ibu makan dan minum semalam, entah apa yang kulakukan ini benar atau justru membuat Ibu semakin menderita di sana.

Karena kematiannya yang janggal, kepolisian terpaksa memeriksa area rumah dan beberapa perabotan. Orang-orang khusus yang mengenakan pakaian serba tertutup berwarna putih dan memakai topeng datang dan mulai mencari “bukti” di dalam rumah tersebut.

Mereka pasti sudah menyadari jika ada sesuatu di piring tersebut, mereka terus menyisir daerah dapur dan berharap dapat menemukan sesuatu yang menggemparkan. Salah satu petugas sesekali melirikku dan menatapku tajam, aku yakin pandangan darinya bermaksud sesuatu.

“Tidak ditemukan apa-apa, dia sepertinya menengguk racun itu,” ucap seorang petugas labfor sembari membuka masker penutup mulut yang ia kenakan.

Ia mengabaikanku sebagai pemilik rumah, dan meninggalkan tempat ini dengan segera. Tak ada penjelasan dari maksud pandangan darinya kepadaku, aku harap dia tidak mengetahui semuanya.

“Jika kamu ingin kepastian yang benar, kami bisa saja melakukan autopsi untuk—”

“Jangan. Aku ingin ia dikuburkan dengan keadaan yang utuh, tanpa luka baru sedikit pun.”

Aku menolak dengan tegas gagasan itu. Dengan dilakukannya autopsi, bukan tidak mungkin mereka akan mengetahui makanan yang ada di perut Ibu dan mulai menyelidikinya.

“Baiklah, itu juga hak keluarga untuk memutuskan.”

Mereka, para petugas mulai mengemasi barang-barang dan pergi dari tempatku. Sebelum mereka benar-benar pergi, aku menarik tangan seorang petugas yang tadi berbicara denganku dan hendak meminta tolong padanya.

“Aku ingin bertemu dengannya, apa kamu bisa mengantarkanku?” tanyaku.

“Siapa?”

“Ayahku.”

Kami sempat beradu pandang selama beberapa menit, pada akhirnya ia menyetujui dan menyuruhku untuk bersiap sebelum berangkat. Ada sesuatu yang harus kubicarakan dengannya, mungkin sepatah atau dua patah kata perpisahan dari Ibu dan dariku untuknya, karena ialah dalang dari semua kekacauan di dalam rumah.

Kami berangkat, dengan menaiki mobil polisi, aku sudah seperti seorang penjahat yang tertangkap. Terkejutnya lagi ketika polisi di depanku berbicara tentang kemungkinan dari kematian ibuku, menurutnya, cara dan kronologi kematian Ibu sangat janggal.

“Jika dugaanku tidak salah, kamulah yang membunuhnya.”

Deg! Bagai tersambar petir di siang bolong. Aku dikejutkan dengan spekulasi yang polisi itu katakan, selebihnya tepat tapi aku enggan mengakuinya dengan begitu saja. Itu bisa menghindariku dari reuni tak terduga Anak dan Ayah di dalam sel penjara.

“Tapi tidak mungkin. Tidak ada anak yang mau membunuh orang tuanya, kan?” tanya polisi tersebut sembari tersenyum.

“I-iya….”

“Jika kalian membutuhkan pembuktian, kami bisa saja menerima tindakan autopsi sesuai yang diinginkan oleh keluarga korban.”

Aku mengangguk, selepas pembicaraan itu, kami saling diam tanpa suara hingga sampai di rutan tempat ayahku “tinggal” untuk sementara.

Aku tidak hapal di mana sebenarnya sel milik Ayah. Namun, seorang sipir wanita memberitahuku dan mengajakku dengan ramah, menyusuri koridor rutan yang menakutkan dan dipenuhi oleh orang-orang yang menatapku tajam.

Hingga sampailah aku di depan kamar sel milik Ayah, ketika dibukakan pintu, aku melihat Ayah yang sedang beribadah di dalam sel. Entah kenapa, rasanya aku sangat terkejut melihat sikap dan perilaku Ayah yang berbanding terbalik dengan apa yang kupikirkan.

“Ada apa?”

“Anakmu, dia hendak mengobrol denganmu.”  Sipir itu menepi dan terlihat mata Ayah yang berbinar melihatku di depan matanya.

Ia segera memelukku dengan erat dan membenamkan wajahnya di pundakku. Hanya dia saja keluarga yang kumiliki. Namun, aku enggan untuk mengakuinya mengingat perbuatan bejad yang ia lakukan.

“Aku sangat merindukanmu, Bagas.”

“Hmm….”

Aku mencoba melepaskan pelukan Ayah dan meminta tempat sunyi agar aku bisa berbicara tenang dengannya. Sipir itu mengangguk dan menuntunku masuk ke sebuah ruangan yang kedap suara, di sanalah semua hal yang berkaitan dengan kematian Ibu, aku utarakan di depan Ayah.

***

Aku pergi setelah menceritakan semuanya kepada Ayah tentang kondisi Ibu, gangguan mental yang dialaminya, hingga cacian dan cibiran yang kami terima akibat perbuatan bejad pria tersebut.

Ayah bukanlah laki-laki yang bodoh, ia cepat menanggapi apa yang kukatakan dan mulai merenungkan penyesalan.

Inilah terakhir kali aku mengunjungi Ayah, aku tidak pernah menerima kabar apa pun darinya, bahkan mendekati rutan itu sendiri, aku enggan. Hukuman penjara selama 20 tahun, pasti akan membuatku bisa melupakannya dengan cepat.

Sampai di rumah, keadaan lebih sepi dibanding biasanya. Suara jerit tangis dari Ibu yang selalu kudengar ketika jam 5 sore, atau ketika efek penenangnya habis sudah tak lagi menghiasi rumah ini.

Keluarga besar sudah mulai pulang meninggalkan rumah ini kosong tanpa penghuni, keluargaku dengan keluarga besar memang tidak terlalu akrab, biasanya kami hanya dalam dalam acara-acara resmi saja, tidak pernah bersenda gurau atau bermain bersama dalam sebuah wisata seperti keluarga besar pada umumnya.

Sunyi.

Lampu rumah mati, perabotan cukup berantakan dan kain-kain berserakan memenuhi lantai. Segera kuraih sapu dan mulai membereskan satu persatu perabotan, menyusunnya kembali ke tempat semula dan menjadikan rumah ini kembali seperti biasa.

Ting!

Suara bel rumah terdengar. Aku langsung membukanya sembari memegang sapu di tangan kiriku. Kulihat seorang pria tua dengan sorban, baju panjang berwarna putih dan celana hitam menyapaku hangat, dialah ketua RT di lingkunganku.

“Apa keluarga yang lain sudah pulang?”

Aku mengangguk.

“Oh, sayang sekali, lalu kamu tinggal sendiri di sini? Apa perlu kami temani?”

“Tidak perlu, terima kasih.”

Ia berpamitan setelah mendapat kesan buruk dariku, jawaban singkat dan tatapan datar membuat pria itu tampak canggung dan langsung mengurungkan niatnya untuk menemaniku. Mereka pergi  setelah adzan berkumandang di mesjid.

Hari-hari mulai kulalui dengan kesendirian, tanpa adanya orang terkasih yang menemani. Setiap malam, aku selalu terpikirkan jeritan dan penderitaan Ibu yang selalu kulihat, membayangkan jika Ibu masih hidup dan terus tersiksa batinnya akibat kekecewaan yang menutupi hatinya.

Perbuatanku, tanganku ternoda sangat hina. Kejadian yang tak boleh terjadi. Namun, harus terjadi. Aku diambang dilematis antara harus mempertahankannya atau merelakannya pergi bersama khayalan imajinasi.

Berbulan-bulan aku hidup di rumah ini, bermodalkan makanan yang ada di dalam kulkas dan uang dari para pelayat. Aku bisa bertahan dengan memakan makanan cepat saji dan mie instan, aku tidak pernah keluar untuk bersosialisasi atau mengobrol dengan tetangga, bahkan rasanya mereka mulai menjauhiku sedikit demi sedikit.

Terdengar dari balik pintu kamar, beberapa orang yang mengaku “kerabat” terdekat dari Ibu menyapaku, suaranya lembut dan tutur katanya sopan. Aku sangat menghargainya. Namun, aku menolak ketika ia mengajakku untuk tinggal bersamanya.

Beberapa ajakan lain kutolak, bahkan ada yang mengiming-imingi untuk tinggal dan hidup mewah, serasa mempunyai kehidupan baru di balik dosa besar yang sudah kuperbuat. Namun, aku tetap dalam pendirianku, kutolak semua ajakan itu dan membiarkan mereka pulang dengan hampa.

Hingga satu waktu, ajakan berbeda datang dari orang yang tak terduga. Suaranya berat dan cukup pelan, cukup serak dan tutur katanya khas orang asli priangan. Aku mengira itu kerabat Ibu yang lainnya. Namun, ketika mereka menjelaskan siapa. Aku langsung membuka pintu dan menatap kedua orang itu dengan tatapan sedih.

“Kakek … Nenek….”

Wajah yang familiar di pikiranku, dulu aku sering bermain di rumah mereka dan sepertinya mereka hendak mengajakku untuk tinggal di rumah mereka selamanya. Seketika dalam bayang-bayang mata ini, aku seperti melihat dua buah sayap dari masing-masing punggung mereka.

“Ah, malaikat, yah?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status