Share

Rahasia di tepi sungai
Rahasia di tepi sungai
Penulis: Rafaiir

Dosa dan Kekecewaan

***

“Sarapan!”

Pagi itu, rutinitas hidupku hampir sama seperti biasanya –Pergi makan, sekolah, bermain, dan mengerjakan tugas. Tidak ada sesuatu yang menarik terjadi, sama seperti saat ini. Panggilan Ibu untuk pergi sarapan terdengar lantang hampir di setiap jam 6 pagi di hari biasa.

Jika aku tidak membalas ucapannya dalam tiga menit, sesuatu yang buruk akan terjadi. Ia dikenal sebagai seorang yang disipliner dalam segala hal.

“Bagas! Sudah kubilang untuk pergi makan, apa kamu masih tidur di jam segini?”

Suaranya terdengar lebih jelas dari balik pintu kayu yang terpasang poster anime Naruto tersebut, ketukan sebanyak tiga kali menghiasi kepanikan di pagi hari yang selalu menjadi suatu kebiasaan kami.

Aku buka pintu itu dan tersenyum, meskipun rambut masih terlihat berantakan.

“Basuh mukamu dan pergilah ke bawah, atau kamu akan telat pergi ke sekolah.”

Aku mengangguk malas, segera kumelangkah menuju kamar mandi dan membasuh wajahku yang lengker karena keringat selepas tidur. Entah kenapa, pagi hari ini di Jakarta terasa sangat gerah dan panas, berbeda dengan biasa.

Hampir memakan waktu lima menit untukku membasuh muka. Di depan meja makan, sudah duduk dengan rapi, ayahku, yang kini bekerja di salah satu perusahaan keungan, ia memegang bagian SDM.

Sedangkan Ibu masih berada di dapur, mempersiapkan hal terakhir yang biasa dipinta oleh Ayah, secangkir kopi hangat dan sebungkus kue manis yang menjadi pemecut Ayah untuk bekerja dengan maksimal.

“Hari ini kamu belajar seperti biasa, kan? Naik tingkat menjadi tingkat 2 SMP sesuatu hal yang baru tentunya,” ucap Ibu, ia membawa cangkir dan kue itu, serta meletakan keduanya di samping Ayah yang masih sibuk dengan ponselnya.

Aku mengangguk, tentu saja ini hal baru. Aku tidak tahu apakah tingkat dua SMP sama dengan tingkat satu, jikalau begitu tentu bukan hal yang baru.

Tapi tentunya berbeda tingkatan, beda juga level kesulitan yang harus kuraih. Ini kupelajari dari game yang selalu kumainkan di setiap malam setelah tugas. Setiap kamu mendapat tingkatan baru, pasti akan menemukan kesulitan yang berbeda.

“Sudah saatnya kamu belajar dengan giat, impian menjadi seorang dokter bukan sesuatu yang bisa  dianggap enteng,” jelas Ayah, tak biasanya ia bicara dan menasihatiku di pagi hari itu.

Aku mengangguk, semua nasihat yang mereka katakan, sepenuhnya sudah aku dengar beberapa kali dalam beberapa bulan terakhir. Jadi rasanya hampir dejavu dengan kejadian yang terjadi, hasilnya akan tetap saja.

Aku menghabiskan sarapanku dan pergi ke kamar untuk bersiap, sedangkan Ayah sudah bersiap dengan jas dan kemejanya yang mengkilap, Ibu pasti selalu mempersiapkan segalanya agar Ayah terlihat memukau pagi itu.

“Aku pergi dulu, Mah.”

Ibu mengangguk, keduanya saling mengesun pipi satu sama lain. Ayah melambaikan tangan padaku dan aku hanya mengangguk pelan sembari tersenyum simpul. Entah kenapa, aku serasa canggung jika berbicara atau dekat dengannya.

“Cepat bersiaplah, Ibu mau pergi ke pasar dulu.”

Aku tersentak, segera kumelangkah dan masuk kamar, mengenakan seragam sekolah dan pergi menenteng tas. Semuanya sudah kupersiapkan untuk hari baru yang akan kujalani, semoga saja semuanya berjalan sesuai dengan apa yang kuinginkan.

Namun terkadang, kita tidak boleh banyak berangan pada harapan.

***

“Bagas,” panggil ketua kelas.

Aku menoleh pelan, buku tulis yang sedang kubuka sengaja kututup dan kufokuskan pada isyarat tangan dari anak laki-laki yang memanggilku. Ia berdiri sambil memegang sebuah surat berwarna putih di tangan kanannya.

“Ada apa?”

“Ada surat untukmu,” ungkap ketua kelas kepadaku, ia memberi surat itu tanpa rasa ragu.

Aku kaget, kubaca keseluruhan isi pesan, entah kenapa hatiku seperti berhenti berdetak, mataku melotot tajam menyadari makna pesan tersebut.

Dengan secepat kilat, aku berlari keluar ruang kelas menuju pintu gerbang. Sungguh, berita yang tak mengenakan dan mengecewakan, kenapa hal buruk ini terjadi padaku di awal hari baru yang kuharapkan?

Jarak rumah dengan sekolah cukup jauh, aku harus menaiki angkutan kota untuk sampai di sana, itu pun membutuhkan waktu sekitar 15 menit.

Aku menunggu dengan risau, keringat dingin mengucur deras dari atas kepala, kepanikan dan tangisan ini tentu membuat sebagian penumpang yang satu mobil denganku kebingungan, bahkan ada dari mereka yang menanyakan perihal keadaanku.

Tapi aku tidak bisa memberitahu mereka, aku tidak bisa mengatakan kalau ayahku terbukti bersalah atas kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan karyawan perusahaan. Itu sungguh memalukan dan menjijikan!

Seperti apa yang terbesit dalam benakku. Rumahku, kampungku, tetanggaku, semuanya seketika heboh dengan berita tertangkapnya Ayah. Mereka pasti tidak menduga, sosok pria yang ramah dan aktif di desa bisa berbuat jijik dan tidak senonoh seperti itu.

Polisi berjaga di luar rumah ketika aku hendak masuk, “Oh nak, kamu jangan masuk!”

“Aku anak dari dia! Biarkan aku masuk!” tegasku dengan wajah berlinang air mata.

Kurusak garis polisi itu dan melihat beberapa polisi yang tampak tengah menggeledah kamar Ayah dan Ibu, mereka menemukan beberapa berkas yang tak kuketahui. Ketika kekacauan ini terjadi, hanya satu yang kupikirkan, di mana Ibu?

“Kemana Ibu?” tanyaku.

“Oh Istri tersangka? Dia ikut ke polres untuk dimintai keterangan.”

Tanpa membuang waktu, segera kulangkahkan kaki ini kembali menaiki angkutan umum dan pergi ke kantor polisi.

Sungguh tidak kuduga, kenapa hariku dimulai dengan kejadian begini?

Sesampainya di sana, aku melihat kedua orang tuaku yang tengah berbicara di depan seorang opsir yang bertugas mencatat atau mengetik sesuatu di depan komputer. Aku masuk tanpa izin dan memeluk Ibu dari belakang, kutumpahkan semua kekecewaan itu padanya.

“Bagas, tidak apa-apa, Nak. Ayahmu akan segera dibebaskan,” ucap Ibu, suaranya bergetar dan matanya merah karena terus menerus nangis.

Ayah hanya diam, dengan wajah tertungkul dan tertunduk. Ia memasrahkan apa yang terjadi pada dirinya, dan membuang semua harga dirinya di hadapanku. Sungguh, kumemikirkan sebuah kata yang pantas untuknya, memalukan!

“Bisa kita lanjutkan?”

Ayah mengangguk, dan Ibu menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan dari polisi tersebut. Ia menjawabnya dengan sungguh-sungguh, terkadang juga diiringi dengan bentakan yang lantang.

“Kamu! Jawablah semua pertanyaan itu, apa perlu aku yang membentengimu terus?” bentak Ibu, baru kulihat Ibu berkata seperti itu pada Ayah.

“Jadi, semua kejadian ini. Apa benar itu dilakukan olehmu, Tuan?” tanya polisi.

Ayah mengangguk pelan.

Ibu berang, dengan keras ia mendaratkan pukulan telak di wajah suaminya hingga jatuh tersungkur. Beberapa polisi berusaha melerai pertikaian tersebut dan memisahkan keduanya. Apa yang kulakukan melihat kejadian itu? Aku diam, seorang bocah laki-laki di situasi orang dewasa, apa yang bisa kuperbuat.

“KURANG AJAR KAMU!”

“Bawa dia pergi dari sini, begitu juga dengan dia.”

Polisi itu memerintahkan anak buahnya untuk membawa Ibu dan aku pergi dari ruang pemeriksaan, aku sama sekali tidak menolak, aku hanya masih menatap Ayah yang perlahan sirna dari mataku, harga diri dan semua yang berkaitan dengannya sirna dalam pusaran kekecewaan.

“Ibu, kumohon jangan—”

“DIAM!”

Suasana di kantor polisi itu, suasana antara aku dengan Ibu cukup canggung dan menegangkan. Wanita itu tak hentinya menangis, menghina dan mencaci Ayah dengan kata-kata umpatan yang tak seharusnya kudengar.

Tak berlangsung lama, Ayah keluar dari ruang pemeriksaan. Wajahnya tampak babak belur dengan darah yang keluar dari hidung dan telingannya. Kuduga, ia pasti habis dihajar habis-habisan oleh polisi di dalam.

“Persidangan akan dilakukan dalam dua minggu ke depan. Harap persiapkan diri kalian.”

Ayah pergi berbeda arah denganku, ia masuk ke sebuah jeruji besi yang dipersiapkan untuk tahanan sementara. Ibu dengan kesalnya langsung pulang tanpa mengajakku. Itulah kali pertama aku merasakan sebuah kekecewaan dari orang terdekat, seseorang yang selalu hadir dengan penuh senyuman di pagi hari.

Ia tersenyum seraya memegang jeruji besi penjara.

“Bagas, maafkan Ayah.”

Aku menangis saat itu juga, pulang dan mulai menidurkan kepala yang serasa mau meledak ini. Malam itu, keadaan rumah lebih sunyi dari biasanya. Ah, rutinitasku akan tampak berbeda dari sebelumnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status