Share

Kucing yang Baik

***

Keduanya membawaku pergi ke Bandung dan menetap selamanya di sana, kutinggalkan seluruh kenanganku yang berharga tentang Ayah dan Ibu di rumah itu, biarkan mereka bercerita suatu saat nanti kalau ada kejadian luar biasa yang pernah terjadi di rumah itu.

“Tidak usah khawatir, kamu aman bersama kami,” ucap Nenek halus, aku mengangguk.

Aku pergi menjauh dari pintu rumah dan duduk di atas mobil angkutan umum yang telah diberhentikan oleh Kakek. Sekali lagi, aku berbalik badan dan memalingkan wajahku menatap rumah yang sudah kudiami selama 15 tahun itu, tak kusangka perpisahannya akan seberat ini.

“Bagas, ayo kita berangkat.”

Benar, aku harus memulai hidup baru. Aku harus memulai lembaran yang baru. Aku harus mulai melupakan kematian Ibu. Aku harus mulai melupakan tentang Ayah. Benar! Aku harus memulai semuanya lagi dari awal.

“Apa kamu ingin bertemu dengan ayahmu dulu sebelum pergi?” tanya Kakek dalam mobil angkutan umum tersebut, aku menggelengkan kepala sembari memerhatikan jalanan, aku duduk paling belakang tepat di balik kaca belakang mobil angkutan umum.

Keduanya tidak bertanya lebih lanjut lagi, mereka terus terfokus pada jalanan di depan, memastikan agar kami tidak melewatkan stasiun kereta.

Kami turun di Stasiun Gambir. Kulihat ramai sekali pengunjung stasiun hari itu, kerumunan yang terjadi hampir mirip seperti kejadian ketika sedang masa mudik lebaran. Aku hampir terlepas pegangan Kakek dan Nenek ketika kerumunan itu hendak masuk ke kereta yang datang.

Akhirnya, kami berhasil duduk di tempat yang kosong. Rute Jakarta-Bandung hanya akan memakan waktu sekitar dua jam dari keberangkatan. Selagi menunggu, aku mulai menyetel musik di ponselku, saat ini sedang tenar-tenarnya lagu Bruno Mars berjudul Versace on the Floor, lagu yang cukup panas menurutku.

“Tenang saja, di Bandung tidak seburuk yang kamu pikirkan, bahkan lebih baik menurut Kakek,” ucap pria tua itu mencoba membuka pembicaraan agar tidak ada kecanggungan antara aku dengannya di kemudian hari.

“Benar, bukannya kamu suka main di taman Lembang? Nanti kita bisa main beberapa kali ke sana,” bujuk Nenek.

Dalam hati, aku sangat antusias mendengar bujukan darinya. Banyak kenangan baik yang tersimpan di ingatanku tentang taman Lembang, tempat yang menjadi pertama kali aku mengagumi atmosfer Kota Bandung.

Aku tersenyum tanpa memalingkan wajah dan mataku dari pepohonan yang terlewati di balik kaca jendela kereta, kupikir kehidupan di Bandung akan sepenuhnya menarik dan menyenangkan, tidak ada lagi kenangan buruk yang akan menghantuiku. Aku harap begitu.

***

Sudah satu minggu, aku tinggal bersama Kakek dan Nenek. Aku perlahan mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan baruku. Tetangga baru, teman-teman di lingkunganku yang baru, bahkan orang pengantar roti pengantar roti yang baru kukenal.

Aku hanya berharap bisa bersikap ramah dan baik pada mereka semua, pikiran yang baik tentu akan mengantarkan hal-hal yang baik pula. Itulah yang kupikirkan selama ini ketika melihat sikap mereka yang begitu hangat padaku.

“Kakek mau pergi dulu ke, kamu pergilah main ke rumah Pak Hasan,” ucap Kakek, aku hanya mengangguk sembari bermain dengan kucing peliharaan Kakek yang cukup besar dan berwarna motif putih dan jingga.

“Iya, nanti aku ke sana,” ucapku singkat.

Aku masih bermain dengan kucing Kakek di depan rumah, tak terasa seseorang seperti sedang mengamatiku dari jauh. Kuperhatikan lebih jelas, benar saja. Ada seorang gadis kecil yang tengah berdiri di balik pohon dan terus menatapku dalam jauh.

Aku berdiri sambil menggendong kucing yang bernama Leo, kuperhatikan semakin lama, ia semakin dalam menatapku dan kucing yang sedang kugenggam.

“Kamu, gadis kecil di situ. Kemarilah,” pintaku sambil melambaikan tangan.

Ia terperanjat kaget ketika aku menyadari keberadaannya, ia segera berbalik badan dan lari meninggalkanku tanpa memberitahuku lebih lanjut alasan dia terus berdiam diri di tempat itu dan memperhatikanku terus.

“Siapa, Bagas?” tanya Nenek yang keluar sambil membawa teh hangat dan sepasang kue manis untukku.

“Entahlah, tadi ada seorang gadis yang terus menatapku dari balik pepohonan. Sepertinya dia tertarik dengan Leo,” ucapku.

“Oh Dik Yusa, dia memang sering datang kemari untuk bermain dengan Leon. Mungkin waktu ada kamu, dia jadi takut dan berbalik pulang,” jelas Nenek.

Aku mengerti kenapa sikapnya begitu aneh tadi, ia adalah anak gadis yang selalu bermain dengan Leo di sini, pantas saja tatapannya berbeda ketika menatapku tadi, seolah-olah aku sudah merebut teman baiknya dari pelukan anak gadis itu.

Keesokan harinya, aku sengaja membiarkan Leo bermain di luar sendirian. Benar apa yang kuduga, gadis bernama Yusa itu datang dan bermain-main bersama Leo. Kucing itu entah kenapa tampak lebih asik dibandingkan ketika bermain denganku.

Kubuka pintu dan keluar untuk menjumpai Yusa, ia tampak terkejut dan hendak meletakan kembali Leo ke tanah. Namun, aku menolaknya dan menyuruhnya untuk tetap menggendong Leo.

“Tidak apa-apa, kemarilah duduk di sini,” ucapku sambil menepuk kursi di pinggirku yang kosong, Yusa mengangguk dan segera duduk sesuai perintahku.

“Apa kamu biasa bermain dengannya?” tanyaku ramah, ia hanya membalas dengan anggukan.

“Tidak setiap hari, hanya hari-hari tertentu saja.”

Kuterdiam, segera kumelangkah keluar dan mengambil beberapa kotak kue untuk Yusa makan. Ia tampak terkejut melihatku membawa cukup banyak cemilan.

“Makanlah, temani aku di sini,” ucapku.

Yusa tersenyum menatapku, ia segera mengambil cemilan kue manis dari masing-masing kotak dan benar saja. Ia sangat menyukai makanan manis.

“Kamu tinggal di mana?” tanyaku.

“Aku tinggal di depan sungai Cisadane, rumah berwarna abu.”

“Oh, apa orang tuamu tidak apa-apa kamu keluar sendirian sampai sore begini?”

“Tidak apa-apa, lagi pula mereka pulang malam.”

Perbincangan antara aku dengannya mengalir begitu saja layaknya tengah mengobrol dengan anak sebayaku, tak ayal karena kedekatan yang tak disengaja itu membuatku cukup nyaman berada di dekatnya.

“Berapa umurmu, Yusa?” tanyaku.

“Aku 12 tahun,” ucap gadis itu, itu berarti ia beda 3 tahun denganku yang 15 tahun.

Tanpa sengaja, pembicaraanku dengannya berakhir tepat ketika matahari tenggelam. Ia memberikan Leo dan mengucapkan salam perpisahan kepadanya di hari itu, tampak dari kejauhan aku melihat ada seorang anak perempuan lagi, bertubuh lebih besar dari Yusa tengah melambaikan tangan.

Entahlah dia siapa. Namun, aku senang ketika Yusa kembali kemari, rasanya seperti aku sedang memiliki adik baru, mengingat sebelumnya aku belum pernah memiliki seorang adik.

“Apa Yusa sudah pulang?” tanya Nenek.

Aku mengambil cemilan kue dan mengangkatnya perlahan, “Iya, dia sudah pergi barusan.”

“Sendirian?”

“Tidak, dia dijemput oleh seorang anak gadis lainnya, aku tidak mengenalnya itu siapa,” ungkapku.

“Oh, palingan juga Intan. Dia Kakak Yusa, dia seumuran denganmu kalau Nenek tidak salah ingat.”

Kakak Yusa? Itu berarti dia adalah anak kedua? Aku cukup penasaran siapa Kakak Yusa itu sebenarnya, gadis bernama Intan itu.

Tapi tidak ada gunanya memikirkan hal itu dalam-dalam, sudah waktunya aku mempersiapkan diriku untuk masuk ke sekolah besok. Setidaknya di sanalah kehidupan remajaku akan dimulai kembali dari nol.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status