Share

Itikad Baik dan Buruk

***

“Aku tidak pernah mengajarkanmu menjadi seorang berandal, Bagas!” erang Kakek, amarahnya masih menggebu-gebu karena ulahku beberapa hari lalu, berbeda dengan Nenek yang sudah mulai melunakan hatinya yang semula keras padaku.

“Bukankah sudah kubilang kalau mereka duluan yang menghinaku, aku sama sekali tidak bersalah, aku hanya mencoba membela diri.”

“Apa membela diri adalah tindakan yang salah?!” tanyaku dengan lantang, kami yang saat itu sedang makan malam sontak saling pandang satu sama lain, benar, mereka merasa terganggu dengan sikapku yang seolah-olah ingin mencari pembenaran.

Nenek menggeram kepada Kakek, membisikan sesuatu tepat di depanku. Mereka memang biasa seperti itu, jika ada sesuatu yang ingin Nenek katakan, ia biasa membisikannya pada Kakek biar pria tua itu yang mengatakannya padaku.

“Baiklah, kami akan mendengarkanmu. Jadi, jangan memulai pertengkaran di atas meja makan, kamu mengerti?” tanya Kakek, wajahnya yang pasrah mulai tak lagi memedulikan aku malam itu, sedangkan Nenek tersenyum dan mengajakku untuk kembali makan.

15 menit kami berdiam di atas meja makan, aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, cerita sesungguhnya yang kualami akibat perundungan yang Ilva lakukan. Kakek tampak terpejam, entah dia menikmati semua ceritaku hingga tertidur atau dia memang benar-benar malas untuk mendengar celotehanku.

Berbeda dengan Nenek, ia tampak begitu antusias mendengarkan hingga selesai. Tak hanya itu, ia banyak bertanya siapa yang memulai pertengkaran dan setelah terjadi pertengkaran.

“… Begitulah yang terjadi,” ucapku, menamatkan ceritaku dengan kesimpulan yang singkat.

Kakek hanya menganggut-anggut, sedangkan Nenek mulai berjalan dan duduk di sampingku. Ia peluk tubuhku hangat sembari mengusap kepalaku dengan tangannya yang mulai keriput. Rasanya tidak senyaman pelukan ibu, tapi aku memang sangat membutuhkan pelukan dari seseorang, tentu untuk melepaskan penat dan tekanan yang kuterima.

“Lain kali jika ada yang memulai, jangan kamu iyakan. Kamu baru masuk sekolah sudah membuat onar, akan buruk citramu ke depannya.” Kakek berdiri dan memilih untuk pergi ke kamarnya, meninggalkan aku yang masih dipeluk dengan erat oleh Nenek.

“Jangan pikirkan apa yang ia katakan, lama-lama dia juga akan melunak, kok,” ucap Nenek, aku mengangguk, tak ada senyuman yang tercipta dari wajahku, kekesalan karena Kakek masih belum mengakui ceritaku membuat aku tidak bisa tersenyum begitu saja.

Hari itu, kuhabiskan sisa malam untuk membaca beberapa buku dan literatur. Alih-alih hendak menghilangkan stress dan tekanan, justru yang kudapatkan adalah keruwetan ketika membacanya. Memang benar apa kata orang, mood seseorang berpengaruh pada aktivitas ke depannya.

Dalam kesunyian malam, tepat pukul 2, yang kudengar hanyalah suara dari jangkrik dan ranting pohon yang saling bergesekan satu sama lain. Terbesit dalam pikiranku, bagaimana jika aku pergi ke luar dan menikmati udara malam di jam 2? Sungguh menyenangkan sepertinya, serasa kesunyian hanya milikku seorang.

Untungnya Kakek dan Nenek sudah tertidur jam segitu, jadi aku tidak perlu merisaukan omelan mereka ketika keluar dini hari seperti ini.

Rumah Kakek yang berada di dalam perkampungan, membuat suasana semakin sunyi karena warga yang sudah larut dalam dunia mimpi. Seringkali aku harus bersembunyi di balik pepohonan ketika melihat rentetan senter yang menyala berasal dari warga yang kebagi tugas ronda.

Aku terpikir untuk mengunjungi tepi sungai, bukan sungai besar, hanya aliran sungai kecil dengan rerumputan hijau di pinggir kanan dan kirinya. Sungguh sangat menenangkan dibandingkan lautan busa di lantai dua rumah Kakek, entah kenapa aku sangat menikmati kesendirian pada malam itu.

Bagaimana kabarmu di sana, Ibu?

Aku bergumam yang tidak-tidak, menceritakan tentang Ibu dan membayangkan kehadirannya di sampingku. Sungguh bodoh, aku yang menyuruhnya pergi, tapi aku juga yang menyesali perbuatanku padanya, setidaknya itu yang terbaik dengan pengharapan tempat yang utama bagi Ibu di sana.

Kutidur telentang di atas rerumputan hijau tersebut, ukurannya tidak terlalu besar, lebih mirip rumput di stadion sepak bola atau lapang futsal, terkadang aku berpikir yang terpasang di sini adalah rumput sintetis –rumput yang terbuat dari bahan plastik–

***

“Bagas! Kemarilah!” panggil Nenek dengan suara cukup lantang, aku yang masih terbaring di atas kasur terpaksa harus membukakan kedua mataku dan bangkit merespon seruan darinya.

Dengan wajah yang setengah mengantuk, kuberjalan menuruni tangga dan duduk di atas sofa. Semalam aku pulang jam 4 pagi setelah salah satu orang yang tengah meronda memergokiku tergeletak di atas rumput, tertidur.

Alhasil, aku pulang dengan banyak bintik-bintik bekas gigitan nyamuk di sekujur lengan dan kakiku. Untungnya Kakek dan Nenek tidak menyadarinya dan memilih untuk terus melanjutkan aktivitas mereka masing-masing.

Knock!

Suara ketukan terdengar nyaring, Kakek langsung membukanya dan terlihat dengan jelas sesosok siswa laki-laki yang mengenakan pakaian serba hitam datang bersama kedua orang tuanya. Dia adalah Ilva, orang yang kalah telak dalam peperangan di tempat sampah tersebut.

“Apa yang kamu lakukan di sini, sialan?!” erangku dengan kencang, membuat Ilva tersentak kaget.

“Aku datang untuk meminta maaf.”

“Eh?”

Kakek mempersilakan ketiganya masuk dan duduk di sofa yang masih kosong, Nenek mempersiapkan teh hangat untuk ketiganya dan ia juga memerintahkanku untuk membasuh wajahku.

Apa itu? Apa dia meminta maaf dengan terpaksa?

Mereka mengatakan yang sebenarnya, cerita Ilva hampir mirip dengan apa yang kukatakan, menurutku aku yang cukup berlebihan dalam bercerita pada Kakek dan Nenek.

Namun, aku mengagumi tekad dan keinginan Ilva untuk berdamai, cukup sulit bagi siswa laki-laki untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi, bahkan kesalahan seperti merokok juga pasti akan mereka sembunyikan sebaik-baiknya.

“Aku yang salah sudah merundungnya,” ucap Ilva dengan wajah tertunduk.

Rasakan sialan! Jangan sekali-kali kau macam-macam denganku lagi.

“Kami sudah mengetahui cerita yang sebenarnya dari Bagas, apa yang kamu katakan sama persis dengan apa yang ia katakan. Jadi bisa ditarik kesimpulan jika keduanya memang tidak ada niatan untuk berbohong.”

Situasi menjadi emosional, kedua orang tua Ilva meminta maaf akibat ulah anaknya yang menyebabkan aku diskors selama satu minggu di hari pertama aku belajar. Ia juga akan menanggung seluruh biaya kesehatan yang sebenarnya tidak diperlukan, karena Ilva bahkan belum pernah memukulku.

“Aku sih tidak masalah, selagi anakmu tidak berbuat onar lagi, aku sama sekali tidak keberatan untuk memaafkan dia.”

Aku bersikap angkuh padanya, aku harus menunjukan siapa raja sebenarnya dan dengan bersikap seperti ini, aku bisa menghindari perundungan yang mungkin saja akan terjadi di lain hari.

“Bagas!”

“Apa, Nek? Biarkan dia yang menyesal, orang yang merundung harus diberi pelajaran agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.”

“BAGAS!”

Aku menghentakan lengan Nenek yang mencengkeramku erat, dan pergi dengan langkah cepat menuju kamar dan menguncinya rapat-rapat. Entah kenapa aku merasa seperti ada gejolak yang terjadi padaku, aku memang senang jika Ilva dikalahkan, tapi aku tidak puas hanya dengan dirinya.

Muncul sebuah ide gila yang terbesit dipikiran, bagaimana jika aku terus berpetualang dan menjadi Raja di sana? Baik raja di bidang akademik atau di bagian anak-anak “bermasalah”.

“Ilva masalah kecil, akan kukuasai sekolah itu dan membiarkan semua orang tunduk padaku!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status