Abimana, Jenala serta Sera sudah mencoba berbagai macam permainan. Mereka dipaksa oleh gadis kecilnya, dan berakhir perut mereka minta di isi karena sudah terlalu lelah bermain. Mereka memutuskan ke restoran favorite mereka yang ada di sini. Restoran itu menyediakan menu eropa serta asia. "Huh… lelahnya. Mama, Sera mau jus alpukat. Seperti yang Mama buat minggu lalu." "Kamu buat jus alpukat? Kenapa tidak membuatkanku?" Abimana menatap Jenala, yang dibalas kekehan oleh sang empu. "Itu sisa alpukat di kulkas, Mas. Dan aku pikir Mas Javi tidak menyukainya, karena kebanyakan orang-orang di sini memakan alpukat pakai roti." Jenala pernah menawarkan pada rekan kerjanya dulu, tapi mereka malah menertawakannya. Kata mereka sungguh aneh melihat alpukat dibuat jus seperti itu."Aku suka, dulu waktu liburan ke Jakarta sering dibuatin sama Oma." Netra Abimana meredup kala mengingat mendiang neneknya. Jenala yang melihat itu langsung berinisiatif mengelus lembut punggung tangan sang suami. "N
Pagi ini ada pemandangan yang tak biasa. Viktor ikut sarapan dengan keluarganya, Abimana yang sudah mengambil duduk menatap papanya penuh penilaian. "Tumben Papa ikut sarapan? Ada angin apa?" Alih-alih merasa tersinggung, pria itu menatap putra sulungnya dengan smirk khas andalannya. "Ingin saja, apalagi yang memasak menantu Papa." Abimana melayangkan tatapan protes, dia memincing menatap ke arah sang papa. "Jangan main-main, Pa. Jenala istriku!" Uhuk!Raquel yang sedang menyiapkan hidangan di atas meja pura-pura terbatuk keras, agar atensi kedua pria itu mengarah padanya."Posesif," ejek Viktor, sementara Abimana memasang raut datar. Raquel meremas kedua tangannya, lalu menghentakkan kaki menuju dapur. "Hari ini suami saya sarapan di rumah, kamu jangan membuat kesalahan. Berdoa saja supaya masakan kamu bisa diterima di lidahnya."Jenala mengangguk kaku. Lalu mengikuti langkah Raquel menuju meja makan. "Cisa di mana, Ma?" Raquel menatap Abimana sekilas. "Ke rumah Miranda, ada ke
"Tapi apa? Nyatanya dia berbohong. Justru dia yang selalu membuatku merasa kecil dan hilang arah. Rasanya menyakitkan, sungguh. Karena pria itu adalah orang yang aku cintai, tapi dia juga yang menghancurkanku." Perkataan dengan nada datar itu memukul telak Abimana, ia mencoba untuk menyentuh Jenala. Tapi dengan cepat perempuan itu menepisnya. “Sepertinya kita butuh waktu sendiri, Mas. Awal-awal aku begitu yakin denganmu, tapi kenapa makin ke sini kamu terlihat egois.”Abimana menggeleng kuat, dia menarik tangan Jenala dan menggenggamnya erat. “Tidak Jena, jangan katakan hal seperti itu. Aku-” Abimana menelan ludah susah payah. ”Aku tau jika diriku sangat bodoh dan berpikiran sempit saat panik. Aku mohon, jangan pergi!” Jenala membuang pandangan ke arah lain, dia tak tahu harus merespon seperti apa. Hatinya begitu sakit kala mendengar tuduhan Abimana kepadanya. “Aku tidak tau jika Papa alergi, dan Mama hanya mengatakan kalau udangnya dicampur saja dengan bumbu yang lain. Lalu dible
"Mama…. Cisa… tolong…." Jenala berteriak kesakitan kala merasakan perutnya diremas, diiringi oleh aliran darah yang mulai mengalir dari pangkal pahanya."Hiksss… tolong…. Sakit…." Rintihnya pilu.Raquel serta Cisa bergegas masuk ke kamar mereka, tak lama kemudian terdengar teriakan Abimana yang menyerukan nama Jenala. "Ya Tuhan! Jena!" "Astaga!" Para asisten rumah tangga memekik, mereka mulai berkumpul, sementara Abimana terus menepuk pipi Jenala agar perempuan itu tak kehilangan kesadaran. "PANGGIL PAK SAM! CEPAT!" Abimana berteriak keras, dia membopong Jenala menuju mobil. "Astaga! Jenala kenapa Javier?!" Raquel serta Cisa berlari menyusul langkah lebar Abimana. Alih-alih menjawab, Abimana semakin dilanda rasa panik ketika Jenala mulai menutup mata."Jena… jangan tutup mata kamu… tolong… sayang." Tubuh Abimana semakin bergetar kala mulai merasakan darah pada telapak tangannya. "CEPAT! PAK SAM CEPAT KE RUMAH SAKIT TERDEKAT!" Sang supir yang baru datang bergegas menjalankan roda
Abimana mendongak, diiringi air mata yang masih mengalir. "Maaf… maaf Jena, aku tidak bisa menjaga anak kita di dalam sini. Dia pergi sebelum kita mengetahui keberadaannya." Saat itu juga Jenala merasa dunianya runtuh seketika. Jenala menggeleng kuat, bulir air mata mulai berjatuhan membasahi pipi tirusnya. "Bohong…. tidak mungkin…." Jenala menatap ke sembarang arah, dia seperti orang linglung yang sedang mencari sesuatu."Maaf Jena, maaf karena tidak becus menjagamu." Abimana memeluk Jenala erat, pria itu bisa merasakan getaran pada tubuh ringkih sang istri. "Pembunuh! Dia pembunuh, Mas! Adik kamu itu pembunuh! Dia yang mendorongku dari tangga!" Seketika itu pula Abimana melepas pelukannya, dia menatap Jenala dengan bibir terbuka, wajah pria itu pias. Setelahnya menggeleng sedih. "Aku tau jika kamu terpukul, sayang. Tapi jangan seperti ini, ya? Aku akan selalu disampingmu." Abimana kembali memeluk Jenala, pria itu mengeratkan pelukannya walau Jenala memberontak kuat. Perempuan i
Viktor meregangkan otot-ototnya, pria itu merasakan jika tubuhnya tak bertenaga. Suara ketukan membuatnya menoleh. Dia berucap serak seraya memejamkan mata."Masuk." Tak lama kemudian, terlihat eksistensi seorang perempuan yang usianya tak berbeda jauh dari Jenala. "Mengapa bukan Raquel?" tanya Viktor ketika melihat Perempuan itu membawakannya sarapan. "Maaf, Pak. Bu Raquel sedang di rumah sakit, dan beliau belum pulang sampai sekarang." Kening Viktor berkerut. "Siapa yang sakit? Bukankah semalam dia masih di sini?"Perempuan muda itu menunduk. "Semalam Bu Jenala jatuh dari tangga, kurang lebih sekitar pukul sebelas malam. Tepat ketika beliau baru pulang kerja." Raut Viktor tiba-tiba mengeruh, pria itu mencoba mengatur nafasnya secara perlahan. "Tolong ambilkan ponsel saya di atas nakas." Setelah benda pipih itu berada di tangannya, Viktor dengan cepat menghubungi Abimana.[ Halo, Pa. ] Suara Abimana terdengar serak, dan itu sangat mengganggu bagi Viktor. "Kamu baik-baik saja? Pa
Tak terasa sudah dua hari Jenala berada di rumah sakit, sementara Abimana sedang ke kantor. Perempuan itu sengaja menyuruh Abimana pergi bekerja, karena Abimana sama sekali tak beranjak dari sisinya. Jenala tak mau pekerjaan Abimana terbengkalai. Sedangkan Sera sudah diurus oleh mama mertuanya. Ada satu hal yang mengganjal di hati Jenala ketika Viktor menjenguknya, pria itu hanya mengusap kepala Jenala, lalu memeluknya singkat. Sungguh, Jenala tidak pernah membayangkan jika Viktor memeluknya.Pasalnya, papa mertuanya itu sangat dingin dan susah ditebak, apalagi Jenala pernah mendengar perkataan pria itu saat di tangga bersama Raquel. Jujur saja, Jenala sekarang tidak tahu harus percaya atau tidak mengenai sikap baik orang-orang di sekelilingnya "Om Marlo?" Kaget Jenala ketika tiba-tiba pintu rawat inapnya terbuka, dan menampakan sosok tubuh tinggi tegap yang melangkah mendekat ke arah brankarnya."Om tidak bekerja?" "Kerja, tapi nanti. Om menyempatkan ke sini dulu sebelum ke Jakar
"Sera, baru pulang sekolah ya, sayang?" Sera yang akan ke kamarnya untuk mengganti seragam sontak saja menoleh, dan menemukan eksistensi perempuan cantik yang tentu saja sudah tak asing baginya. "Aunty Miranda?" Sera melangkah mendekat, lalu memeluk Miranda sekilas. Dan itu mampu membuat Miranda terdiam sesaat. "Sera semakin cantik saja, sudah lama kita tidak menghabiskan waktu berdua."Sera tersenyum, gadis kecil itu memang beberapa bulan ini jarang bertemu Miranda. Padahal dulu setiap weekend mereka selalu menghabiskan waktu berdua. "Sera sekarang lagi fokus buat lomba sama les, Aunty. Dan biasanya nemenin Mama kerja kalau Sera sedang libur sekolah." Miranda mengulum bibirnya, dia bukannya cemburu. Justru Miranda senang Jenala bisa dekat dengan Sera. Namun, mau bagaimna lagi? Namanya anak dirawat sedari kecil, pasti ada rasa asing ketika melihatnya dekat dengan yang lain."Ah … begitu, ya? Aunty jadi rindu pergi berdua sama Sera. Kapan-kapan mau Aunty ajak ke taman bermain, tid