Suami149Wanita itu mengerjap berkali-kali hingga pandangannya dapat melihat jelas. Setidaknya dapat mengenali di mana ia berada. Sedetik berikutnya ia meringis, merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Bahkan bibirnya begitu perih, padahal hanya dipakai untuk meringis.Mata wanita itu kembali memejam. Ingin menggerakkan tubuh, tapi ngilu di setiap inci tubuh melarangnya. Pada akhirnya hanya desisan pelan yang keluar dari mulutnya.Terdengar suara langkah kaki menjauh.“Tuan, Nyonya Esther sudah bangun.” Terdengar suara wanita melapor. Meski tidak keras, tetapi cukup bagi wanita yang tergolek lemah itu mencerna situasi. Ia yakin jika pria yang membuat luka di sekujur tubuhnya ada di ruangan itu juga. Dan yang melapor barusan pelayan pribadinya. Mereka kini berada di kamar pribadi Esther.Tadi, meski dalam keadaan lelembut belum terkumpul, tetapi ia merasakan seseorang mengobati lukanya.Ternyata hanya ini yang dilakukan Benny setelah menyiksanya. Hanya menyuruh pelayan membersihkan dan me
150“Aku belum bisa ke sana, Lu, tolonglah handle dulu semuanya. Aku percaya sama kamu.” Samudra memasang handfree di telinganya. Sebenarnya ia sudah menunda mengangkat panggilan dari orang kepercayaannya itu karena toh sebentar lagi tiba di apartemen. Namun, ponselnya yang tergeletak di dashboard mobil terus saja meraung-raung.Ia tahu dirinya salah karena sudah membebankan segala sesuatu terhadap orang kepercayaan juga sahabat lamanya itu. Namun, kondisinya memang belum memungkinkan dirinya untuk datang ke sana. Saat ini perusahaan ayah Mentari membutuhkan lebih banyak perhatian walaupun belum tahu mau dibawa ke mana nantinya mengingat hubungan dengan pemiliknya sudah berantakan. Belum lagi urusan pribadi dan keluarganya menyita waktu dan pikiran Samudra. Semua membuatnya kacau.“Iya, nanti kalau Bumi Jaya sudah stabil, aku akan percayakan untuk di-handle orang juga. Yang pasti untuk sekarang ini aku belum bisa datang ke sana. Kamu yang sabar dulu, ya.”Dengan mengemudikan mobil dal
151Jangan bayangkan bagaimana perasaan Samudra saat ini. Ia bahkan melajukan kendaraan roda empatnya bagai kesetanan. Berkali-kali hampir menyerempet atau bahkan beradu dengan pengguna lain di jalan. Tak terhitung sumpah serapah dari mereka yang kesal dengan cara mengemudinya yang ugal-ugalan.Namun, ia tidak peduli semua itu. Tujuannya hanya satu, segera sampai di kediaman sang ibu. Ia sangat mengkhawatirkan wanita itu.Serangkaian doa terus terpanjat agar Tuhan masih memberikan keselamatan dan umur panjang pada wanita yang sangat disayanginya itu. Saat ini, sang ibu adalah satu-satunya keluarga yang tersisa yang masih ia miliki, jika Tuhan mengambilnya juga, artinya ia tidak lagi memiliki siapa pun.Karenanya memanjatkan doa agar sang ibu diberi keselamat dan kesehaan serta umur yang panjang terus ia lakukan. Berharap Tuhan masih memberinya kesempatan untuk memenuhi permintaannya.**Kediaman Hanggara beberapa saat sebelumnya.“Apa kamu sudah mengurusnya, Benny?”Pria lebih setengah
152“Esther!” Benny maju. Tangannya bergerak cepat ingin merebut benda di tangan istrinya. Namun, Esther sudah bersiap dengan kondisi itu.Bergegas wanita itu menghindarkan tangannya, kemudian kembali menyunggingkan senyum sinis.“Lihatlah, Bu, betapa putramu sangat ketakutan.” Esther menyindir seraya menatap mertuanya. “Tahu kenapa?” lanjutnya seraya memiringkan kepala.Nenek Widya yang tidak mengerti dengan semua ucapan Esther, sejak tadi terus memperhatikan menantu pertamanya itu dengan kening berkerut. Mulutnya tetap terkatup, tapi kecurigaan mulai berkelindan melihat perubahan gestur dan raut wajah anak sulungnya.“Esther, jangan macam-macam. Ingat, kondisi kesehatan ibuku tidak stabil.” Benny melotot tajam. Berharap dengan begitu Esther takut dan menghentikan aksi gilanya.“Kenapa Benny Hanggara? Bukankah itu yang kamu harapkan? Ibumu segera menyusul ayahmu ke alam lain, agar kamu bisa bebas menguasai hartanya, bukan?”“Esther! Apa kamu sudah gila?” Benny membentak, lalu hendak
153“Ibu ….” Samudra berlari saat dari kejauhan melihat Ratri, asisten ibunya duduk terpekur di depan sebuah ruangan. Awalnya Samudra berniat pulang ke rumah sang ibu, hanya saja saat wanita yang sudah puluhan tahun mengabdi kepada Widya itu mengabarkan ibunya sudah dibawa ke rumah sakit, ia memutar laju mobilnya.“Bagaimana kondisi ibu?” tanyanya begitu tiba di hadapan Ratri. Sudah tak dapat dilukiskan bagaimana kekhawatirannya.Ratri yang semula hanya duduk terpekur, langsung berdiri tatkala mendengar suara anak majikannya. Kemudian mengangguk hormat dengan tubuh tegak layaknya seorang ajudan. Tadi juga dirinya yang menelepon Samudra dan mengabarkan kondisi Widya.“Masih ditangani dokter, Pak. Saya masih menunggu informasi,” jawab wanita usia tiga puluhan yang selalu memakai pakaian serba gelap itu.“Apa kondisi ibu sangat serius?” kejar sang pria tidak sabar. Berharap Ratri menyampaikan berita yang tidak terlalu mengkhawatirkan.“Kepala Bu Widya terbentur pinggiran meja nakas, ada
153Senyap, dingin, bahkan suara ketukan sepatu yang berjalan lunglai dikoridor rumah sakit ini laksana backsound music di film horor. Ya, sangat horor bagi Samudra. Tidak ada yang lebih horor daripada mendapat kabar wanita tercintanya telah tiada.Andai ia mampu, rasanya ingin berteriak atau menangis berguling-guling untuk meluapkan kesedihannya.Rasanya tidak ingin mempercayai kabar itu, tapi tatkala menatap wajah-wajah serius awak medis itu, sudah cukup menjelaskan jika kabar itu bukan hanya bualan. Itulah kenyataannya.Jangan tanya bagaimana kondisi hati Samudra saat ini. Saking tak kuat menampung berbagai rasa yang menyiksa, bahkan hatinya seolah ikut mati. Kosong. Hampa. Dunia terasa runtuh di atas kepalanya.Tubuh sang pria langsung meluruh dan terduduk di lantai begitu tiba di luar ruangan. Tulang-tulangnya sudah tak lagi mampu menopang tubuh kekarnya.Ternyata serapuh ini dirinya, ia lemah tanpa sang ibu. Ia tergugu dengan hati yang hancur lebur. Menangis tak bersuara. Merata
154“Mau ke mana?” tanya laki-laki berwajah kusut yang duduk di lantai dan bersandar di tepian ranjang. Matanya memicing melihat wanita yang dinikahinya beberapa bulan lalu karena mengaku hamil, menggeret koper dan melewati dirinya tanpa kata seolah ia makhluk kasat mata.Wanita yang menggeret koper menghentikan langkah, lalu melirik dengan malas.“Mau pergi lah, mau ngapain lagi di sini?” balasnya jengah, kemudian hendak berlalu lagi.“Pergi ke mana? Aku belum menceraikanmu, Novita.” Laki-laki muda itu mengerutkan kening. Raut tidak suka bergambar di wajah kusutnya.Wanita yang tidak lain Novita, mengibaskan tangan di depan wajah. “Sekarang itu sudah tidak penting lagi. Diceraikan atau tidak, aku tetap akan pergi,” ujarnya lagi jengah.“Memangnya kamu mau pergi ke mana? Bahkan kamu tidak punya tempat tinggal.” Bastian mendecih. “Pulang ke rumah ayahnya Mentari? Om Sam tidak akan mengizinkanmu. Atau mau tinggal di kolong jembatan?”Lagi-lagi Novita mengibaskan tangan. “Sudahlah, janga
155“Lepas, Bastian … sakit …!” Novita menjerit seraya memegangi tangan Bastian yang menjambak rambutnya.“Kamu tidak bisa pergi setelah semua yang kuberikan padamu, Jalang!” Bastian menyeret tubuh Novita hingga menjauhi pintu yang sudah terbuka sedikit.“Aku sudah memberimu uang, aku juga sudah memberimu status. Lalu, kau mau meninggalkanku begitu saja setelah aku terpuruk seperti ini? Tak akan kubiarkan!” Suara Bastian sarat emosi. Diseretnya tubuh itu hingga mencapai ranjang. Kemudian dihempaskan ke atasnya dengan kasar.“Setelah ibuku pergi, ayahku juga entah di mana, dan kamu mau jadi perempuan tidak tahu diri?” Telunjuk bergetar Bastian menunjuk kasar wajah Novita yang masih meringis memegangi rambutnya.“Aku tidak akan melepaskanmu, Novita! Lebih baik kubunuh saja kamu sekalian!” lanjutnya berapi-api. Tubuhnya bergetar menahan emosi.“Kamu sudah gila, Bastian!” Novita balas berteriak dengan masih memegangi rambutnya yang acak-acakan.“Ya, aku memang sudah gila. Makanya jangan ma