153“Ibu ….” Samudra berlari saat dari kejauhan melihat Ratri, asisten ibunya duduk terpekur di depan sebuah ruangan. Awalnya Samudra berniat pulang ke rumah sang ibu, hanya saja saat wanita yang sudah puluhan tahun mengabdi kepada Widya itu mengabarkan ibunya sudah dibawa ke rumah sakit, ia memutar laju mobilnya.“Bagaimana kondisi ibu?” tanyanya begitu tiba di hadapan Ratri. Sudah tak dapat dilukiskan bagaimana kekhawatirannya.Ratri yang semula hanya duduk terpekur, langsung berdiri tatkala mendengar suara anak majikannya. Kemudian mengangguk hormat dengan tubuh tegak layaknya seorang ajudan. Tadi juga dirinya yang menelepon Samudra dan mengabarkan kondisi Widya.“Masih ditangani dokter, Pak. Saya masih menunggu informasi,” jawab wanita usia tiga puluhan yang selalu memakai pakaian serba gelap itu.“Apa kondisi ibu sangat serius?” kejar sang pria tidak sabar. Berharap Ratri menyampaikan berita yang tidak terlalu mengkhawatirkan.“Kepala Bu Widya terbentur pinggiran meja nakas, ada
153Senyap, dingin, bahkan suara ketukan sepatu yang berjalan lunglai dikoridor rumah sakit ini laksana backsound music di film horor. Ya, sangat horor bagi Samudra. Tidak ada yang lebih horor daripada mendapat kabar wanita tercintanya telah tiada.Andai ia mampu, rasanya ingin berteriak atau menangis berguling-guling untuk meluapkan kesedihannya.Rasanya tidak ingin mempercayai kabar itu, tapi tatkala menatap wajah-wajah serius awak medis itu, sudah cukup menjelaskan jika kabar itu bukan hanya bualan. Itulah kenyataannya.Jangan tanya bagaimana kondisi hati Samudra saat ini. Saking tak kuat menampung berbagai rasa yang menyiksa, bahkan hatinya seolah ikut mati. Kosong. Hampa. Dunia terasa runtuh di atas kepalanya.Tubuh sang pria langsung meluruh dan terduduk di lantai begitu tiba di luar ruangan. Tulang-tulangnya sudah tak lagi mampu menopang tubuh kekarnya.Ternyata serapuh ini dirinya, ia lemah tanpa sang ibu. Ia tergugu dengan hati yang hancur lebur. Menangis tak bersuara. Merata
154“Mau ke mana?” tanya laki-laki berwajah kusut yang duduk di lantai dan bersandar di tepian ranjang. Matanya memicing melihat wanita yang dinikahinya beberapa bulan lalu karena mengaku hamil, menggeret koper dan melewati dirinya tanpa kata seolah ia makhluk kasat mata.Wanita yang menggeret koper menghentikan langkah, lalu melirik dengan malas.“Mau pergi lah, mau ngapain lagi di sini?” balasnya jengah, kemudian hendak berlalu lagi.“Pergi ke mana? Aku belum menceraikanmu, Novita.” Laki-laki muda itu mengerutkan kening. Raut tidak suka bergambar di wajah kusutnya.Wanita yang tidak lain Novita, mengibaskan tangan di depan wajah. “Sekarang itu sudah tidak penting lagi. Diceraikan atau tidak, aku tetap akan pergi,” ujarnya lagi jengah.“Memangnya kamu mau pergi ke mana? Bahkan kamu tidak punya tempat tinggal.” Bastian mendecih. “Pulang ke rumah ayahnya Mentari? Om Sam tidak akan mengizinkanmu. Atau mau tinggal di kolong jembatan?”Lagi-lagi Novita mengibaskan tangan. “Sudahlah, janga
155“Lepas, Bastian … sakit …!” Novita menjerit seraya memegangi tangan Bastian yang menjambak rambutnya.“Kamu tidak bisa pergi setelah semua yang kuberikan padamu, Jalang!” Bastian menyeret tubuh Novita hingga menjauhi pintu yang sudah terbuka sedikit.“Aku sudah memberimu uang, aku juga sudah memberimu status. Lalu, kau mau meninggalkanku begitu saja setelah aku terpuruk seperti ini? Tak akan kubiarkan!” Suara Bastian sarat emosi. Diseretnya tubuh itu hingga mencapai ranjang. Kemudian dihempaskan ke atasnya dengan kasar.“Setelah ibuku pergi, ayahku juga entah di mana, dan kamu mau jadi perempuan tidak tahu diri?” Telunjuk bergetar Bastian menunjuk kasar wajah Novita yang masih meringis memegangi rambutnya.“Aku tidak akan melepaskanmu, Novita! Lebih baik kubunuh saja kamu sekalian!” lanjutnya berapi-api. Tubuhnya bergetar menahan emosi.“Kamu sudah gila, Bastian!” Novita balas berteriak dengan masih memegangi rambutnya yang acak-acakan.“Ya, aku memang sudah gila. Makanya jangan ma
156“Ampun Om ….” Rintihan samar dari mulut lelaki muda yang tersungkur di dekat ranjang, membuat pria yang sudah mengangkat lagi tangan terkepalnya, mengentikan gerakkan. Tinju itu mengambang di udara sebelum akhirnya hanya memukul angin.“Ahhh ….” Pria hampir empat puluh tahun menarik diri dan membuang tinjunya menonjok angin. Ditatapnya lelaki berwajah babak belur yang masih tersungkur di lantai itu dengan tatapan masih penuh amarah. Entah berapa puluh pukulan bersarang di wajah dan tubuhnya tanpa ia bisa melawan.Samudra tidak memberinya kesempatan. Emosi yang sekian lama diredam pria itu, pecah juga karena dorongan kekecewaan dan rasa marah yang sudah menggunung. Tak ayal Bastian pun menjadi korban empuk luapan amarahnya.Samudra bangkit, lalu menarik napas panjang berkali-kali. Mencoba menekan amarah yang sebenarnya masih meletup-letup. Tapi ia sadar bisa membunuh Bastian jika letupan itu terus dituruti. Pria itu mengusap wajah sebelum mengedarkan pandangan.Baru disadarinya Nov
157Samudra mendudukkan diri dengan lelah di samping asistennya, kemudian menutup pintu mobil. Diusap wajahnya dengan frustrasi sambil menengadah. Entah apa lagi ini, bahkan kepergian sang ibu baru saja tujuh hari, tapi masalah sudah bermunculan.“Sudah ada kabar mayat siapa yang ditemukan?” tanyanya setelah beberapa saat menenangkan diri. Sungguh ia takut jika itu adalah Mentari. Sebesar apa pun kekecewaan terhadap perempuan itu, rasanya tidak rela jika mantan istrinya itu meninggal dengan cara mengenaskan.“Bos harus lihat sendiri ke rumah sakit. Mayatnya sudah sedikit membusuk, agak sulit untuk dikenali.”Samudra memejam lagi. Sekali lagi ia berharap jika itu bukan Mentari.“Satu lagi, Bos.”Samudra membuka mata mendengar sang asisten berkata lagi. Keningnya berkerut.“Apa lagi?” tanyanya lemah. Lelah dengan semua ini.Sang asisten mengambil sesuatu dari jok belakang mobil. Samudra memang lebih suka duduk di depan di sampingnya, karenanya ia menaruh barang di jok belakang.Sebuah no
158Samudra mengerjap, lalu mengusap wajah dengan kasar. Berjam-jam memberikan keterangan di kantor polisi membuat lelah jiwa raga. Entah kenapa keluarganya jadi seberantakan ini. Dan entah kenapa semua permasalahan ini jadi menyeret dirinya yang notabene baru kembali ke keluarga setelah bertahun-tahun terbuang. Kini, tetap dirinya yang harus menyelesaikan semua ini, karena ia memang satu-satunya Hanggara yang tersisa.Ingin rasanya ikut menghilang seperti mereka, atau sekalian menyusul sang ibu karena rasanya hidup pun sudah tak punya tujuan jelas. Sepertinya ia hidup hanya untuk membereskan masalah yang ditinggalkan orang lain. Seolah hidupnya memang hanya untuk menyelesaikan ketidakberesan. Atau … ingin rasanya kembali seperti saat dirinya terbuang di mana tidak ada seorang pun yang tahu ia seorang Hanggara.Saat itu, hidupnya tenang tanpa rongrongan. Tidak harus terlibat dengan apa pun yang berkaitan dengan keluarga Hanggara. Tidak seperti saat ini harus menyelesaikan masalah yan
159“Aku tak sengaja mendengar Benny menyuruh Bastian merenggut kegadisan istrimu sebelum mereka menikah agar perempuan itu terikat padanya.”Kalimat Hamish terus terngiang di telinga Samudra. Sepanjang perjalanan menuju unitnya, pria yang berjalan lunglai itu berusaha mencerna semua yang terjadi antara dirinya, Mentari dan Bastian. Ia sangat yakin jika Mentari masih suci saat menikah dengannya. Terbukti saat pertama kami mereka melakukannya gadis itu masih perawan. Bahkan ia sendiri yang mencuci noda bekas darah keperawanan itu di seprey.Itu artinya Bastian tidak merenggut kesucian Mentari sebelum mereka menikah. Ia menjadi pria pertama yang nenyentuh perempuan itu.Samudra mengibaskan tangan setelah sebelumnya menggeleng berkali-kali. Apa artinya semua itu jika pada akhirnya mereka tetap melakukannya juga. Memang bukan sebelum perempuan itu menikah dengannya. Tapi justru lebih menyakitkan karena mereka melakukannya saat Mentari sudah berstatus sebagai istrinya.Samudra mengembuskan