Tubuh Erlan bergetar hebat ketika untuk pertama kalinya harus menurunkan ego. Menemui wanita yang sembilan tahun pernah begitu berarti dalam hidupnya. Sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan pedih di hati. Yang mungkin tidak akan terlihat olehnya, Erlan berdiri menatap pantulan bulan separuh yang menggantung di atas sana. Ia menatap ke atas dengan rokok ditangan lalu kemudian menghisap rokok pelan-pelan lalu mengeluarkan asap ke atas. Menatap bintang yang sangat jauh hanya sedikit terlihat di atas sana. Menatap sekilas tetapi tetap merasa ada yang terasa tak nyaman dalam hatinya. Lebih menyakitkan dari pada melihat Kamila marah, ia bahkan tidak pernah melihat Kamila begitu berani dan sangat marah seperti itu. Keheningan malam akan membuat suara hati lebih terdengar. Saat itulah yang membuat Erlan semakin merana saat menginggat kejadian tadi pagi. Berdiri menatap sosok wanita yang sangat ia rindukan itu tengah duduk di teras rumah. Tadi senyumnya masih sama seperti dulu, wajah Kami
Saru hari Sebelum bertemu dengan Reyga. "Maaf aku terlambat, Mila. Tadi di perempatan jalan macet panjang karena ada jalan yang dibangun." Jelas Arum yang baru saja datang. "Nggak apa-apa, Tha. Ayo masuk," Ajak Mila. "Iya.""Ardha ga ikut?"Arum tersenyum. "Tidak, tadi ikut sekolah dan katanya mau dijemput sama, Mas Elang."Kamila berusaha tersenyum tipis, demi menutupi rasa gugup, ia tau Arum tak suka jika Kamila meninggakan suaminya dan membiarkan bersama pelakor itu. "Rum, mau minum apa nih bumil?" "Seperti biasa aja, Mila," jawabnya, sorot teduh netra Arum terus menatap tajam pada ke arah Kamila. Kamila mengangguk. Dan memberi tahu Mbok Parti, ia hapal minuman kesukaan sahabatnya dari dulu itu. "Aku merindukanmu, Mila, kau baik-baik saja kan?" ucapnya setelah Mbok Parti memberikan segelas teh hangat kesukaannya. "Aku baik, Rum."Arum menarik nafas kasar. "Lo yakin Erlan sudah menikahi gadis itu?""Iya, Dia yang bilang sendiri.""Terus keputusanmu?"Kamila tersentak. menata
"Tau ga tadi aku ketemu dengan siapa, Mas." Ambarwati duduk di samping suaminya. "Siapa?" tanya Erlan mengerjitkan dahinya. Ambar terlihat tersenyum jahat. "Kamila, sedang berjalan bersama seorang pria. Tapi sepertinya wajah pria itu ga asing ya Ma, dimana gitu kayak pernah lihat deh.""Iya, wajahnya sangat familiar," seru sang mama mertua. Tanpa sadar, Erlan yang menahan cemburu, mendengar ucapan Ambar dan mertuanya, wajahnya memerah ia sungguh tak sanggup menahan beban dihatinya. Dengan cepat ia mengambil air putih lalu diteguknya beberapa kali, inikah karma untuknya menahan cemburu yang kian membuncah. Saat mengatakan jika Kamila berjalan dengan lelaki lain. "Terus...!" Bohong Erlan jauh dilupuk hatinya ia begitu cemburu. Dan saat ini dirinya sedang tak baik-baik saja. "Ya, cuma mau kasih tau saja sih. Ternyata istrimu itu ga jauh beda, ya.""Ga jauh beda, gimana maksud kamu?" tanya Erlan yang begitu kesal. "Ah sudahlah, malas aku berdebat denganmu. Ayo, Ma kita masuk."Senja
"Bagaimana, Lia?" tanya Reyga pada Kamila. "Masih harus sidang mediasi Rey," jawab Kamila cemas. "Bismillah, ya Lia."Kamila tersenyum. "Iya.""Ayo aku antar.""Ya, terima kasih. Kau selalu ada buatku Rey."Reyga mengangguk mengiyakan. Kamila diantar pengacaranya juga Reyga melangkah hampir mendekati ruangan kecil. Jauh disana Erlan begitu panas dadanya sepanas bara. Mendapati istrinya Kamila selalu di dekat lelaki itu, dada Erlan begitu sesak melihat pemandangan yang membuatnya begitu muak. Apalagi di depan Hakim tadi Kamila begitu kekeh ingin meminta berpisah dengannya. Saat-saat bersama Kamila, Erlan menjadi suami yang tersanjung. Suami dari seorang wanita baik hati dan penurut. Namun Erlan merasa saat ini Kamila menjauh, ia lebih penting bercanda dengan lelaki itu. Sementara Erlan sibuk sendiri dengan pikirannya. Memang semua salahnya namun tak adakah kesempatan kedua untuknya. Erlan kasihan pada dirinya sendiri, tapi apa mau dikata, kemauan orang tuanya untuk menikahi Ambar
Kamila menatap pepohonan yang tertiup angin, suara angin berembus menyibak jilbab yang ia pakai. Kamila memandang anak-anak kecil yang berlarian ke tepi jalan. Berlarian bebas lepas kemana pun mereka akan pergi karena sejatinya anak kecil selalu bahagia, Kamila tersenyum karena itu awal dari kisah kecilnya yang manis. Karena mereka pun akan mempunyai kisahnya esok, kisah yang mungkin saja akan selalu penuh dengan cinta. Atau mungkin juga tentang luka. Mata Kamila dan Reyga nanar menatap anak kecil itu kemudian kembali melanjutkan makan siangnya. "Perasaanmu lebih baik sekarang, Lia?"Kamila mengganguk. "Alhamdulillah, iya.""Tenanglah Lia semuanya akan baik-baik saja."Kamila sekilas menatap wajah sahabatnya Reyga lalu tersenyum. "Iya tenang saja. Aku sudah iklas ko, Rey."Lembayung senja menampakkan ronanyaindah dan syahdu berirama dalam nyanyian jiwa, Kamila tersenyum seraya menikmati siang itu. Membuat Kamila sedikit gelisah dalam diam. "Belajar untuk bangkit dan menyadari bahw
Kamila menoleh saat mendengar suara pintu kamar terbuka. Karin, sang adik, melangkah masuk dengan wajah sedih. Kamila menyerjit setelah menyadari bahwa sang adik telah duduk di sampingnya membuat Kamila sedikit bangkit dan duduk bersender ke arah ranjang. Sepertinya akan ada sesuatu yang akan di sampaikan padanya, entah itu apa. Kamila tersenyum dan menatap adiknya lekat. "Karin, ada apa?""Ibu, tadi sudah memanggil namaku, Mbak Mila."Kamila menatap Karin sekilas, kemudian mengalihkan pandangan. "Iya, ini semakin bagus kan, Karin. Sejak kita lakukan terapi keadaan ibu semakin membaik, fisiknya sehat hanya mentalnya saja yang terganggu.""Semoga Ibu sembuh, Mbak. Karin begitu rindu pelukan Ibu."Terkadang ada satu waktu saat tiba-tiba saja seseorang merasa hampa. Mungkin akan ada sesuatu yang entah tak mereka sadari itu. Bagi orang itu adalah sebuah firasat, namun bagi Kamila begitu yakin bahwa sang Ibu akan sembuh seperti dulu lagi. Penyakit yang diderita hanyalah sebuah sakit hat
Reyga tersenyum tipis, binar bola mata Kamila terlihat agak sendu. Dengan perasaan tak menentu, di pandangi wanita yang usianya satu tahun lebih muda darinya, duduk tepat di sampingnya di dalam mobil yang ia kendarai. "Kamu, lega bisa lepas dari suamimu itu."Kamila tertawa lepas hampir air matanya jatuh berderai. "Alhamdulillah, Rey!""Mau makan siang dulu," sahut Reyga dengan nada tercekat. Kamila menghela nafas dalam diam. "Kita makan di rumahku saja, Rey.""Oh begitu, Elang dan Arum ikut?""Sepertinya ikut."Perasaan keduanya memenuhi ruang dinding kalbu. Sesaat angan keduanya larut dalam keheningan di terik matahari yang makin memanas, seakan turut larut dalam jiwa panas yang menyelimuti hati Reyga. Ia terlalu naif untuk memahami cinta kala itu. Nyatanya perasaan itu nyata hingga detik ini. Kenangan hanyalah tinggal masa lalu, terlalu indah untuk dilupakan, biarlah yang pernah ada, Reyga simpan dalam-dalam. "Rey...." panggil Kamila pelan."Hmm.""Aku tak tahu harus bicara apa
"Mau pesan apa, Reyga?""Kopi hitam saja, Elang," jawab Reyga sambil meletakkan tas nya di datas meja. Elang memesan dua cangkir kopi hitam, dan kembali duduk di depan sahabatnya. Reyga tersenyum menatap Elang meski mereka bekerja satu rumah sakit namun ia jarang sekali bertemu. Sesaat pramusaji datang membawakan dua cangkir kopi. "Bagaimana, Lia?" tanya Elang sambil mengambil kopi panas meniup pelan lalu menyesapnya. "Alhamdulillah, kalau dilihat dati luar sih dia baik-baik saja, namun entah jika hatinya.""Syukurlah.""Sebenarnya kenapa Lia sampai bisa menikah dengan Erlan, Elang."Elang tersenyum kecut. "Entahlah aku juga kurang paham, saat itu setelah ia putus dari Dimas tak lama aku dengar ia menikah dengan Erlan."Terlihat kekecewaan dari wajah tampan Reyga. "Ya, aku yang salah pergi tanpa pamit.""Kau kecewa saat Kamila bersama Dimas? Kau menyukai Kamila?"Diam. Reyga meraih gelas dan menyesap kopinya. Terkadang, Reyga menertawakan dirinya sendiri atas semua kesalahannya.