Mendengar pertanyaanku Bude Lasmi langsung menatapku nanar. Mungkin ia tak menyangka kedatanganku kemari karena ingin menanyakan hal itu."Ka-kata siapa?" Bude Lasmi balik bertanya dengan gugup, terlihat ia susah payah menelan ludah. Ekspresinya persis seperti orang yang tengah ketakutan."Bude gak usah takut begitu. Aku kemari karena aku percaya pada Bude. Lagi pula aku gak akan bilang ke siapa-siapa kok kalau aku tahu kebenarannya dari Bude."Bude Lasmi tetap bungkam walau sudah kubujuk begitu. Raut wajahnya juga berubah menjadi sedikit masam.Ah, sepertinya mau tak mau aku harus mengeluarkan pancingan dulu.Kutarik sebuah amplop putih dari dalam saku, dan meletakkannya di atas meja yang berada di hadapan kami.Benar saja kan dugaanku, Bude Lasmi tipe orang yang materialistis. Buktinya begitu aku meletakkan amplop tersebut, raut wajahnya yang tadi masam tiba-tiba berubah sedikit cerah. Seperti bisa menebak isi dalam amplop tersebut."Apa ini, Damar?" Tanya Bude Lasmi menatapku penuh
"Ah, masa bodoh dengan Rasti lah, Bu. Mau tak mau ya ia harus mau. Kalau dia tak mau pun aku tak peduli. Untuk apa mempertahankan perempuan mandul begitu," tandasku membalas perkataan Ibu.Ibu lagi-lagi terdengar menghela napas berat. Kenapa? Apa Ibu tak setuju dengan keputusanku?"Kenapa ya, Mar, Ibu selalu dapat mantu yang gak bener. Cuma Diana lah mantu Ibu yang baik."Aku langsung cemberut saat Ibu memuji Mbak Diana. Dia baik kan hanya di depan Ibu. Mana tahu Ibu bagaimana kelakuan wanita itu di belakangnya. Walau aku tak suka Ibu memuji-muji Mbak Diana, aku tetap tak ingin membuka rahasia siapa Mbak Diana sebenarnya. Bukan apa-apa, aku hanya tak mau Ibu semakin down jika tahu mantu yang dibanggakannya Sebenarnya bukanlah wanita baik-baik.Tapi tetap saja, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Begitu pula dengan Mbak Diana. Dan keyakinanku itu terbukti saat melihat seorang laki-laki berlari tergesa-gesa masuk ke pekarangan rumah Ibu."Bu Ratna, Bu ... Ayo ke r
"Apa-apaan kamu? Berani-beraninya minta ikut suami orang! Gak malu kamu bersikap murahan begitu?" Tiba-tiba Rasti bersuara menyentak Dista.Dista hanya menatap wanita itu dengan enggan. "Aku memang bukan siapa-siapa Mas Damar lagi. Tapi ia masih Ayah dari anakku! Dan Ibu Mas Damar itu masih nenek Rafis! Apa kau sudah amnesia?" Balas Dista tak kalah ketus."Haiih! Sudah, sudah! Aku sedang tak bisa meladeni perdebatan kalian sekarang. Dista, kalau kamu mau ikut boleh kok.""Maaas! Kamu apa-apaan sih? Yang istri kamu itu aku, bukan dia. Kenapa malah dia yang kamu ajak?""Sudahlah, Rasti, jangan membantah. Kamu di rumah saja!" Tukasku lalu cepat-cepat masuk ke mobil diikuti Dista juga Rafis.Segera kulajukan mobil menuju rumah Mas Danis yang masih terlihat ramai.Raut wajah Dista juga terlihat bertanya-tanya saat melihat orang yang berkerumun itu. Namun, sebelum sempat ia bertanya apa-apa, aku sudah buru-buru turun lalu masuk ke rumah untuk membawa Ibu.Dibantu dengan Mas Danis dan para
"Kamu apa-apaan sih, Ras? Aku kan sudah bilang, kalau aku ngantar Ibu ke rumah sakit. Jangan seenaknya saja kamu memerintah aku pulang! Keadaan di sini juga tak baik-baik saja." Aku menyahut Rasti dengan kesal. Seenaknya saja ia memerintah aku ini itu. "Masalahnya, teman kamu yang waktu itu datang kemari ada di sini. Masa seenaknya saja dia ngaku-ngaku kalau hamil anak kamu."Deg!Ya Tuhan ... Apalagi ini? Bella datang ke rumah? Bukannya tadi ia sendiri yang menolakku. Tapi kenapa tiba-tiba ia datang dan mengakui kehamilannya di depan Rasti?Ah, terserahlah! Aku juga tak peduli dengan perasaan Rasti."Mana dia? Aku mau bicara."Beberapa detik kemudian, terdengar suara Bella di ujung sana."Mas, sejak bertemu kamu tadi, aku terus berpikir tentang semuanya. Dan sepertinya kali ini aku akan memberi kamu kesempatan bertanggung jawab, tapi hanya sekali ini saja," ujar Bella dengan nada dingin."Baik, Bell. Aku akan tanggung jawab dengan anak itu, dan akan menikahi kamu. Tapi apa tak masala
"Oh, Ibu mau buang air? Gak apa-apa, Bu, buang air aja di situ. Ibu kan sudah pakai diapers," sahutku. Memang tadi perawat sudah memintaku untuk membeli diapers Ibu. Dan mungkin saat aku ke ruangan dokter tadi perawat tersebut memakaikannya, karena sekarang aku sudah melihat Ibu memakai diapers.Ibu sedikit terlihat ragu mendengar saranku. Aku paham, pasti Ibu merasa jijik karena tak terbiasa.Tapi setelah kubujuk kembali, akhirnya Ibu menuruti saranku. Selesai buang air, Ibu kembali memberi isyarat padaku bahwa ia sudah selesai."Sudah selesai, Bu?" Ibu hanya menjawab dengan anggukan samar."Rasti, tolong bersihkan bekas kotoran Ibu," ucapku dengan enteng memerintah Rasti."Aku, Mas? Gila kamu ya? Yang anaknya itu kamu, bukan aku! Jadi harusnya kamu yang membersihkannya!" Rasti langsung menolak dengan keras."Oh, jadi kamu gak mau ngurus Ibu aku? Ya udah, kalau gitu kamu aja gimana, Sayang? Kan kamu yang bilang tadi, mau ngurus Ibu aku?" Kini aku beralih ke Bella, untuk menguji ke
Ibu langsung tergugu mendengar penuturan Mas Danis. Aku tahu betapa patahnya hati Ibu saat ini. Dua orang anaknya selalu saja gagal dalam berumah tangga. Tapi kalau boleh jujur, kehancuran rumah tangga kami juga termasuk ada andil Ibu di dalamnya. Kalau saja Ibu tak mengatur berapa uang yang harus kami berikan pada istri-istri kami, pasti tak akan jadi begini. Ya walaupun kami juga salah karena terlalu menuruti Ibu, dengan dalih patuh.Setelah keduanya sudah agak tenang, aku mulai angkat suara lagi."Mas, sekarang kan Mas sudah sendiri. Lebih baik Mas kembali tinggal saja lagi di rumah ini. Jadi kita bisa sama-sama mengurus Ibu, Mas." Aku memberi usul. Jelas aku tak mau repot sendiri. Anak Ibu bukan hanya aku, lagi pula akibat Mas Danis lah, Ibu jadi seperti ini."Tapi rumah Mas gimana, Mar?" "Kontrakin ajalah, Mas. Lumayan, uangnya bisa buat tambahan Ibu terapi."Mas Danis terlihat berpikir sejenak, sebelum akhirnya mengangguk setuju."Ya udah, kalau gitu aku titip Ibu dulu ya, Ma
Hari ini pagi-pagi sekali aku sudah sampai di kontrakan Bella. Sedih rasanya melihat kontrakan baru Bella begitu sempit dan kumuh. Bahkan lebih sempit dari kontrakannya yang lama."Ini baju Rasti yang masih lumayan bagus, Sayang." Aku mengulurkan paper bag yang berisi beberapa baju Rasti yang sudah kusortir kemarin.Bella menerimanya dengan sedikit enggan, namun senyum tetap mengembang di wajahnya."Terima kasih ya, Mas. Tapi aku sudah dapat baju, tadi malam dapat sumbangan dari teman aku.""Tapi ini tetap aku simpan gak apa-apa ya, Mas? Untuk ganti-ganti," lanjutnya lagi."Boleh, Sayang. Maaf ya kalau belum bisa belikan kamu baju. Nanti kalau aku gajian, bakal aku belikan deh." Aku merasa sedikit bersalah. Karena Bella sepertinya selalu menderita saat bersamaku."Tak apa, Mas. Dekat dengan kamu saja aku sudah merasa cukup," sahut Bella membuat aku tersanjung.Aku pun segera meminta Bella untuk bersiap untuk pergi ke pesta pernikahan Dista. Beberapa saat kemudian aku dibuat takjub de
"Apaa?" Mas Danis terlihat terkejut mendengar perkataanku."Kamu mau nikah lagi, Mar?" Mas Danis menatapku tak percaya."Iya, Mas. Emangnya salah? Enggak kan? Toh, kita laki-laki kan bebas mau poligami," sahutku dengan santai."Iya sih, Mar. Tapi Rasti gimana? Emang dia mau dimadu?" "Rasti lagi, Rasti lagi. Aku tak peduli lah, Mas, sama dia. Mau dia setuju atau enggak aku tetap akan nikahin Bella. Lagi pula harusnya dia itu juga sadar diri, gara-gara terpaksa nikahi dia aku jadi gagal bersatu dengan Bella," sungutku.Aku benar-benar jengkel dengan tanggapan Mas Danis. Sempat-sempatnya ia lebih memikirkan perasaan Rasti ketimbang kebahagiaanku.Mas Danis hanya bisa terdiam mendengar jawabanku.Aku yang kesal, langsung bangkit hendak membersihkan diri. Namun, aku kembali menghentikan langkahku dan beralih menatap Ibu."Bu, aku mau nikahin Bella dua Minggu lagi. Ibu setuju kan?" Kutatap wajah Ibu yang semakin hari semakin redup itu. Ibu hanya bisa mengangguk pasrah sembari bergumam sama