“Sebenarnya kenapa Irma?” tanya Rangga penasaran.“Aku sudah berhenti bekerja.” Wanita itu memasang wajah manja seperti biasa. Penuh harap bahwa Rangga akan memakluminya. “Loh kenapa, apakah kamu mau jadi pengangguran seperti Desya?”Rangga menjadi kesal. Rupanya Irma memilih untuk berhenti bekerja karena ingin menjadi ibu rumah tangga, merawat anaknya sepenuh hati dan penuh waktu bersama Rangga dengan menikmati uang hasil rampasannya.“Apa aku berbuat kesalahan?” Rangga terdiam, ia melirik perut wanita itu yang sudah mulai berisi, wajahnya tembem dan terlihat bajunya sudah meletet karena perubahan berat badannya yang naik drastis selama kehamilan.“Kenapa kau diam Mas?”“Tidak, terserah kamu kalau mau berhenti. Oh ya aku berangkat kerja dulu ya,” Rangga lalu berdiri dan hendak meninggalkan Irma sendirian tanpa ritual cinta seperti saat masih bersama Desya.Irma menyodorkan tangan kanannya kepada Rangga untuk bersalaman. Terlihat Rangga yang begitu cuek dan banyak pikiran itu meneri
“Sebenarnya?” Agung mengernyitkan dahinya penasaran.Dilan tak mungkin mengatakan bahwa ia yah tega meninggalkan Desya bekerja. Ia ingin selalu berada di dekat Desya agar ia bisa menjaganya.“Sebenarnya saya lupa, saya ingin beli roti di kedai anda untuk ibu saya, ia sangat menyukai roti.”Dilan mencoba mencari alasan.“Oh, itu saya kira ada apa, ya sudah mari ikut saya ke kafe.”Agung mengajak Dilan berjalan ke kafe samping apotek. Dilan melihat seisi ruangan yang begitu aestetik. Membuat setiap mood yang datang menjadi bagus. Harum vanila dan kopi yang menjadi aroma terapi pagi itu cukup menggoda perut.Agung membawakan dua bungkus bag Kerta berisikan penuh roti dengan berbagai rasa. “Ini untuk Ibu Ratna, sampaikan salam saya untuk Pak Rehan dan ibumu ya.”“Berapa ini?”“Tak usah, ini saya berikan cuma-cuma untuk mereka.”“Tapi…”“Sudahlah, tak usah membayarnya ya.”Dilan merasa tak enak hati namun Dilan harus menerimanya dan mengucapkan terima kasih kepada Agung sebelum ia pergi.
“Permisi Pak Rangga, maaf sudah ditunggu di ruang meeting oleh beberapa investor.”Seorang wanita yang menjabat sebagai sekretaris Rangga masuk dengan terburu-buru.“Oh ya saya akan kesana.”“Aku ikut,” serbu Irma membuat Rangga merasa Irma hanya akan mengganggu saja.“Untuk apa? sudah kamu tunggu disini saja!” Dengan langkah yang terburu-buru Rangga menuju ke ruang meeting membawa beberapa berkas bersama sekretarisnya, Ana.“Wanita itu cukup cantik, lirikannya tak biasa terhadap calon suamiku, pasti dia ini pelakor,” gumam Irma dengan mendekapkan tangannya.“Tidak bisa dibiarkan. Aku harus masuk ke ruangan itu, aku tak bisa biarkan Mas Rangga bersama sekretaris centil itu.”Irma membenarkan bajunya dan bercermin pada layar ponselnya untuk memastikan ia cukup rapi untuk bertemu beberapa orang.“Oke, bisa kita mulai presentasinya ya,”Ucap Rangga di depan layar yang dipantulkan oleh proyektor dan terlihat memegang spidol hitam untuk menulis di papan tulis berwarna putih itu.Beberapa l
“Mas, buka.” Pintu mobil dikunci oleh Dilan, sehingga Desya tak bisa keluar.“Yang benar saja. Saya bisa di marahin habis-habisan oleh Bapak dan Ibu jika membuatkanmu keluar, ada-ada saja kau,”Dilan akhirnya membuka mulutnya. Membuat Desya tersenyum kemudian duduk kembali pada posisinya semula.“Nah begitu dong rese, kalau tidak seperti itu bukan Mas Dilan namanya.” seru Desya membuat Dilan menjadi tersenyum dan akhirnya rasa kesalnya menjadi cair dan tidak memasang wajah jutek lagi seperti tadi.*****“Hei, anak-anak Ibu sudah pulang. Bagaimana Desya pekerjaanmu di hari pertama ini?” Bu Ratna menyambut hangat Desya dan Dilan.“Menyenangkan sekali Bu, Desya mendapat pengalaman dan tantangan baru.” ungkap Desya semangat.Terlihat Rangga hanya diam dan duduk di ruang tamu dengan kunci mobil yang masih ia genggam.Melihat Ibu dan anak perempuannya melepas kerinduan setelah seharian tidak bertemu.“Wah, pasti kamu dapat teman-teman yang menyenangkan, saya dengar Agung juga membuka kedai
“Irma?” Rangga mengernyitkan dahi memikirkan wanita yang baru saja pergi dengan lelaki bertato itu. “Apa mungkin wanita itu Irma? Ku sama sekali tak melihat wajahnya. Tapi, ia sedang hamil dan rambutnya persis seperti Irma,”“Sudah Pak,” ucap seorang Ibu penjual bensin.“Terima kasih,” Rangga memberikan uang satu lembar ratusan ribu kemudian pergi, tanpa ia menghiraukan penjual yang berteriak kembalian kepadanya.Dengan langkah yang mulai lemas, dan hati yang mulai cemas, Rangga akhirnya sampai di lokasi mobilnya berada. Ia segera memasukan bahan bakar itu ke dalamnya tak peduli banyak yang berceceran keluar karena tak ada corong. Bergegas Rangga menyalakan mobilnya dan menuju rumah Irma.“See you, mmmuach!” seorang lelaki dengan tato di tangan kanannya mengucapkan selamat tinggal dengan kecupan mesra di bibir Irma. Benar, wanita yang Rangga lihat keluar Bar bersama seorang lelaki bertato itu adalah Irma.“Cepatlah pergi sebelum calon suamiku datang!” ucap Irma dengan nada yang lema
“Aduh, huhuhu sakit sekali.” ucap Nisa, ia memegang wajahnya seolah kesakitan. Desya menatapnya bingung.“Kamu kenapa Nisa ?” tanya Agung yang kemudian mendekat.“Desya memukul wajahku, ia iri dengan kecantikanku, ia tak mau kalau Pak Agung tertarik denganku makanya dia ingin aku jelek.”Desya menggelengkan kepalanya cepat. “Benar seperti itu Desya?”Desya melihat ke pojok atas ruangannya lalu menunjuknya. “Silahkan periksa cctv jika memang saya terbukti bersalah, saya akan terima apapun hukumannya. Tapi jika tidak terbukti, Pak Agung harus tindak tegas juga pemfitnah ini, Silahkan.Dengan nada santai, Desya begitu yakin bahwa ia tak akan bersalah karena ia tak merasa melakukan apapun.Mendengar itu, Nisa ketar ketir ia justru menangis dan kemudian mencari perhatian Agung.(“Sial! Kenapa aku bertindak seceroboh ini? Aku lupa bahwa ada cctv! Bagaimana jika Desya tidak terbukti bersalah? Malu dan pasti Pak Agung akan marah denganku atau justru aku akan dipecat?”) batin Nisa yang terli
Desya menoleh ke arah suara itu, hampir saja ia merespons dengan mengucapkan nama Dilan dan senyumnya yang tiba-tiba saja berubah saat melihat seseorang di belakangnya. “Saya antar pulang ya,” ucap lelaki itu.“Tidak perlu Pak, saya sudah pesan ojek.”“Oh ya? Bisa di cancel saja,”Desya menggelengkan kepalanya.“Kasihan Pak, saya tahu bagaimana senangnya Driver ini saat mendapat orderan, dan saya tidak mau menghancurkannya dengan membatalkan pesanan saya,”“Bijak sekali, oh ya kenapa Kakakmu tidak datang kesini?”“Mas Dilan? Saya juga tidak tahu, oh ya itu ojek saya sudah datang, saya pulang dulu Pak permisi.“Desya melambaikan tangan dan tersenyum sebelum kemudian ia pergi.Di tengah perjalanan dengan guyuran hujan yang deras, Desya melamun menatap ke arah luar jendela mobil yang ditumpanginya itu. Ia begitu penasaran dengan apa yang terjadi pada Dilan. Mengapa ia menghilang tak ada kabar?(“Mas Dilan kenapa ya? Apakah dia marah denganku? Tapi aku tidak merasa berbuat kesalahan pada
“Mas Dilan dimana Bu?” Desya mengulangi pertanyaannya. Dadanya mulai sesak melihat ekspresi wajah wanita itu. Bu Ratna begitu berat membuka mulutnya lagi. Ia hanya memandang Desya dalam kepanikan dan membuatnya bingung.“Desya, mari duduk.” Pak Rehan memanggil Desya yang masih berdiri menunggu jawaban Bu Ratna. Desya duduk diikuti Bu Ratna yang masih dengan wajah yang bimbang.“Sya, maaf kalau kita baru kasih tahu kamu sekarang. Alasan kami pergi hari ini karena hal yang tak di duga.”“Maksudnya apa Pak? Katakanlah,” Desya mulai susah mengatur nafasnya. Ia merasa kecemasan mulai menyerbunya. Membuat seluruh badannya dingin dan jari-jarinya kaku. Ia sangat takut terjadi sesuatu yang buruk dengan Dilan.“Tenanglah Desya,” Bu Ratna mengelus pundak Desya menenangkan Desya yang tampak lemas dan pucat.“Mas Dilan baik-baik saja kan? Ayolah cepat katakan.”“Iya Sya, Dilan baik-baik saja. Kami baru saja mengantarnya ke Bandara.”Desya mematung. Nafasnya seolah berhenti. Ia tak bisa mencern