Share

Jadi Mata-Mata

       Terlalu cinta atau memang tidak mau kehilangan. Sampai-sampai setiap tindakan harus ada pengawasan. Jatuh cinta beda tipis dengan buta. Apa yang terlihat dan dirasa itu semuanya indah.

       Sedari pagi Rifda terus dihujani pesan dari Sonia. Karena sejak dia tidak mau ketinggalan info mengenai Reyhan. Rifda membalas pesan Sonia dengan malas.

“Iya.” Hanya itu balasannya.

 Tidak terima dengan balasan pesan Rifda, cewek  cantik itu mengirim pesan lagi.

 “Kalau nanti dia main mata, lo cubit saja ya Reyhan.” Isi pesan Sonia.

 Rifda hanya membalas dengan emoticon senyum.

 “Emangnya gue ngak ada kerjaan apa disuruh ngawasin tuh cowok,” gerutu Rifda.

 Pagi ini dia mau membuat sarapan yang simpel saja, telor ceplok dan kecap yang menghiasi nasi putihnya.

 “Alhamdulillah,” ucapnya setelah memasukkan satu suap nasi.

 Rifda melihat handphonenya yang berdering.

 “Ibu,” ucapnya. “Assalamualaikum,” sapanya.

 “Waalaikumsalam, apa kabar Nak?” tanya bu Hanum. Dialah budhe yang selama ini merawat Rifda.

 “Alhamdulillah Bu. Ini aku lagi sarapan, mau berangkat praktik.” Rifda menceritakan kegiatannya.

 “Ibu ngak nganggu ni?” tanya bu Hanum.

 “Ngak lah Bu. Ibu apa kabarnya, jangan kecapekan ya, terus makannya dijaga,” ucap Rifda sambil menuju dapur untuk mencuci piring. Sebelumnya dia membesarkan volume panggilan suaranya.

 “Iya, Ibu selalu ingat pesan kamu. Kamu juga harus jaga kesehatan. Ibu kangen banget sama kamu.” Nada bicara bu hanum sedikit melemah.

 Rifda menuju kamar dan meletakkan piring di meja kos yang berukuran kecil itu, “Aku juga kangen banget sama Ibu.”

 “Bulan ini aku ngak bisa pulang Bu, kayaknya,” ucap Rifda.

 “Iya ngak papa. Yaudah kamu siap-siap berangkat gih. Assalamualaikum.” Bu Hanum menutup panggilan telponnya. 

 “Waalaimusalam,” sahut Rifda.

 Dia bergegas mengambil keperluan praktik dan segera turun ke bawah.

                         ***

       Baru sampai di rumah sakit, Rifda disugukan pemandangan yang kacau. Karena dia harus melewati IGD, maka mau tak mau dia melihatnya. Terlihat ada seorang wanita paruh baya menangis begitu keras. Kemungknan dia sedang menangisi suaminya yang berlumur darah itu. Rifda jadi merinding melihatnya.

“Lihat apa?” sapa suara cowok dari belakang Rifda.

Sontak Rifda kaget dengan suara itu, “Ngagetin orang aja sih.”

“Lagian lo ngapain lihat-lihat sampek ngiler gitu. Menarik ya?” ucap Reyhan yang juga melihat kejadian di depan IGD tersebut.

“Bukan urusan lo.” Rifda berlalu pergi.

“Hey tunggu,” teriak Reyhan. Dia berusaha mengejar Rifda dan berhasil menarik pergelangan tangannya. 

Mereka salng beradu mulut disamping lobi.

“Apa-apan sih lo, bukan mahram tau,” ucap Rifda dengan kesal.

“Lo itu sebenernya pura-pura lupa atau beneran amnesia sih? Dari kemarenkok merasa ngak bersalah?” ucap Reyhan.

“Maksud lo apa?” tanay Rifda.

Reyhan tertawa sejenak, “Lo lupa yang udah buat mobil gue lecet?”

Rifdapun langsung ingat, “Hey, itu bukan salah gue ya.”

“Mentang-mentang lo yang jatuh jadi gue sang salah gitu. Hem.” Reyhan bertolak pinggang dengan tatapan yang menghakimi.

“Dan, mentang-mentang lo yang bawa mobil, lo seenaknya gitu sama gue.” Rifda juga bertolak pinggang dengan tatapan yang menghakimi untuk Reyhan.

“Lo itu cewek yang batu ya, gnak mau kena salah padahal salah,” ucap Reyhan dengan nada yang naik satu oktaf.

“Sorry ya, kalau gue salah pasti ngaku tapi untuk kejadian kemaren emang gue ngak salah.” Rifda tak kalah amarahnya.

Mereka saling memandang dengan kemarahan. Sedangkan disudut sana ada Kevin yang berjalan dan melihat teman kelompoknya itu saling beradu mulut. Dia segera menghampiri mereka.

“Kalian apa-apaan sih, pagi-pagi udah berantem?” ucap Kevin.

“Bukan urusan lo,” ucap Rifda dan Reyhan bebarengan.

Kevin heran melihat mereka berdua.

“Udahlah. Loh ngalah Rey, cowok harus ngalah aja sama cewek. Lagian yang bener kan cewek bagaimapun keadaannya,” ucap Kevin dengan sedikit menghakimi. Mungkin karena masalahnya dnegan Dinda sehingga dia berucap seperti itu.

Rifda terpancing oleh ucapan Kevin dan pandangannya mengarah ke cowok itu, “Enak aja lo kalau ngomong.”

“Emang bener kok kata Kevin. Urusan kita belum selesai ya,” ancam Reyhan kemudian pergi. Kevin juga ikut pergi bersama Reyhan.

“Dasar cowok,” ucap Rifda Kesal.

***

Di dalam ruangan itu terlihat semua orang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Rifda bersama Tania menerapi seorang kakek pasca stroke.

Kedua gadis itu membantu kakek tersebut berdiri dan mengarahkan untuk memegang walker.

“Pelan-pelan ya Kek?” ucap Tania.

Kakek itu fokus mengerakkan kakinya. Tania yang tadi semangat tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri. Rifda sedikit berteriak dengan kejadian itu.

“Sonia,” ucap Rifda.

“Cu, bantuin temenmu dulu,” ucap kakek.

“Kakek duduk di kursi roda dulu ya,” ucap Rifda sambil membantu kakek untuk duduk.

Rifda menghampiri Tania dengan wajah yang panik, “Tan, Tan, bangun.”

Ada kak Kamal dan Reyhan yang menghampiri Tania.

“Ada apa Dek,” tanya kak Kemal.

“Ngak tau Kak, tiba-tiba aja pingsan,” ucap Rifda.

“Bawa temenmu ke ruangan kalian ya. Biar pasiennya saya tangani,” ucap kak Kamal.

“Iya Kak,” sahut Reyhan.

Rifda mengangkat bagian kaki sedangkan Reyhan mengangkat bagian kepala dengan teknik yang sudah diajarkan di kampus mereka.

Rifda mengambil minyak kayu putih di tasnya dan mengoleskan ke kedua tangan Tania dan juga mengharum-harumkan ke hidungnya.

“Bangun dong Tan. Bangun,” ucap Rifda dengan wajah khawatir.

“Lo kasih lagi deh minyak kayu putihnya,” saran Reyhan.

Rifda menuruti saran Reyhan. Dua menit kemudian Tania membuka matanya.

“Alhamdulillah lo udah sadar Tan,” ucap Rifda.

“Rey kamu bawa air putih ngak? Boleh minta tolong kasih ke Tania, soalnya aku ngak bawa,” pinta Rifda.

Reyhan mengambil botol minumnya dan membantu Tania bangun untuk minum. Sedangkan Rifda berganti posisi berdiri. Kejadian itu tak luput dari Dinda. Dia berhasil mengabadikan momen dimana Reyhan membantu Tania minum dan mengirimkannya kepada Sonia. 

“Berhasil,” ucap Dinda dengan senang karena dia masih kesal dengan Tania.

Tak lama kemudian Dinda menyadari dari jauh ada pembimbingnya yang datang, dia segera pergi meninggalkan ruangan tersebut.

Pak Anto masuk ke ruangan tersebut, “Gimana keadaannya?”

Reyhan berdiri, “Udah siuaman Pak.”

“Sudah di cek tekanan darahnya?” tanya pak Anto.

“Belum Pak,” ucap Rifda.

“Yaudah di cek dulu,” pinta pak Anto.

Rifda segera mengambil tensi meter yang ada di meja samping bed. 

“90/70 Pak,” ucap Rifda setelah mengukur tekanan darah Tania.

“Kamu ada riwayat darah rendah?” tanya pak Anto pada Tania.

“Iya Pak. Maaf ya merepotkan, tapi saya sudah baik-baik saja,” ucap Tania. Meskipun dia berucap seperti itu tapi wajah pucatnya tidak bisa dibohongi.

“Lebih baik kamu hari izin dulu nanti biar nanti saya hubungi pembimbing kampus. Melihat keadaanmu yang seperti ini nanti malah jadi lebih parah,” ucap pak Anto.

“Tapi Pak saya udah ngak papa kok,” ucap Tania.

“Benar kata Pak Anto Tan, mendingan istirahat dulu aja,” ucap Rifda.

“Mungkin untuk ganti jadwal kamu hari ini ada tambahan tugas,” ucap pak Anto.

“Kamu tadi bawa kendaraan?” tanya pak Anto.

“Tadi saya naik bus Pak,” jawab Tania.

“Gini aja kalau gitu. Kamu anterin temanmu pulang ya,” pinta pak Anto dengan menunjuk Reyhan.

“Saya Pak?” tanya Reyhan.

“Kamu bawa mobil kan? Soalnya tadi saya lihat kamu turun dari mobil,” ucap pak Anto.

“Iya Pak,” ucap Reyhan.

“Kamu anterin temenmu ya. Tapi dengan catatan, kamu harus segera balik,” ucap pak Anto.

“Saya pulang sendiri saja Pak. Saya bisa naik taxi online,” ucap Tania.

“Biar temenmu saja.” Pak Anto bersikukuh dengan ucapannya.

Rifda membantu Tania berdiri. Tania dan Reyhan berlalu pergi menuju parkiran. Rifda mengecek handphonenya sudah ada lima pesan dari Sonia yang menanyakan kabar Reyhan. Dengan malas Rifda membaca pesan itu, dia sengaja hanya membaca tanpa membalas.

Istikharoh

Selamat membaca teman2, jangan lupa kasih note dan vote ya. I love you all😊

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status