Share

Bab 3 : Merasa Asing

Saat membuka mata, Larasati menemukan diri telah berada di sebuah kamar besar bercat gading. Melihat pakaiannya telah diganti, dia terkejut. Segera beralih dari posisi merebah ke posisi duduk. Lupa bahwa dia sedang terluka, sehingga merasakan sakit di bagian dada, lalu menyentuhnya dengan sebelah tangan. Pertarungan sengit di istana langit melawan Sujatmika, tersaji dalam ingatan Larasati. Namun, sebelum berakhir telah buyar karena kedatangan seseorang dari pintu yang terbuka. 

"Kau sudah sadar?" tanya Li Jing sembari menghentikan langkah tak jauh di depan. 

Tak ada jawaban, Larasati justru terdiam dan memperhatikan pria berwajah lancap tersebut dari ujung kaki sampai ujung kepala. 

Siapa dia? Apa yang menolongku semalam? Batinnya. 

"Di mana rumahmu? Biar aku antar kau pulang." Li Jing bersikap dingin. 

Larasati masih tak mengatakan sepatah kata, dia tidak ingin Li Jing tahu bahwa dirinya bukan manusia. Hingga pria tersebut mengembuskan napas lelah dan berbalik. 

"Aku tak punya rumah," ungkap Larasati. 

Mata sipit Li Jing meliriknya. "Kau tidak gegar otak, 'kan?"

Lagi-lagi Larasati terdiam dan seolah-olah tak ingin menjelaskan apapun. 

"Baiklah, karena kau terluka, boleh tinggal sementara di rumahku sampai sembuh." Li Jing mengalihkan padangan, lalu melanjutkan langkah yang sempat tertunda.

"Sungguh, tak pernah ada yang berani bersikap seperti ini padaku!" Larasati mengumpat kesal. 

Beberapa saat kemudian, bidadari bergaun tidur satin itu memilih turun dari ranjang dan melangkah keluar dari pintu yang terbuka. Dituruninya setiap anak tangga dengan hati-hati sembari mengelilingkan pandangan. Rumah mewah berperabotan mahal serta pernak-pernik seperti kristal, tersaji di hadapan. 

Merasa asing Larasati menghampiri vas berisi bunga palsu penuh rasa penasaran, tetapi saat akan menyentuhnya, tiba-tiba dia mendengar suara berisik. 

Seketika perhatian bidadari berambut terurai tersebut teralih hingga berbalik, lalu melangkah mendekat pada televisi. Namun, saat akan memeriksa, benda berbentuk persegi panjang itu berkedip dan memperlihatkan orang-orang yang sedang sengit bertarung. Larasati pun memundurkan diri untuk menjaga jarak aman. Dia mengira bahwa orang-orang di dalam layar sedang mengibaskan pedang pada dirinya, jadi segera menghindar seraya mengeluarkan inti sakti berupa cahaya putih dari sebelah tangan yang menangkis. 

Akibatnya televisi meledak, sesaat kemudian mengeluarkan asap dan api yang berkobar. Layar pun menjadi gelap. Larasati heran, ke mana perginya orang-orang tadi. 

"Kebakaran! Toloooong! Terjadi kebakaran!" teriak seorang pelayan tua yang panik ketika melihat si jago merah. 

Datang Li Jing, yang meski terkejut bergerak cepat mematikan meteran listrik di luar rumah. Setelah itu, dia melangkah menuju kamar mandi dan membawa keluar kain basah yang segera dilemparkan pada televisi. 

Api berlahan padam, pria berkaus putih tersebut menoleh Larasati dengan sikap dingin. "Kau ingin membakar rumahku?" 

"Ta--tadi ...." Larasati gelagapan. 

Li Jing tak peduli. Dia berbalik, lalu mengayunkan tungkai melewati pelayan tua di sisi kiri. "Bibi, tolong ajari dia sopan santun tinggal di rumah orang!" 

"Baik, Tuan." Pelayan mengangguk. Tak lama setelah Li Jing pergi, dia menghampiri Larasati. 

"Nona, ikut saya, ya," ajaknya seraya menuntun Larasati ke dapur. "Kenapa Nona merusak televisinya? Tuan Muda menjadi sangat marah." 

"Tapi orang tadi menyerangku," kata Larasati. 

Pelayan tersenyum. "Itu hanya gambar, Non. Tidak benar-benar bisa melukai." 

"Benarkah?" Larasati masih tak mengerti, tetapi dia berusaha percaya. 

"Dia Tuan Li Jing, memang sedikit kaku. Maklum bukan orang asli sini," ungkap pelayan. "Nona, harus banyak-banyak bersabar jika tinggal di rumah ini."

Larasati membalas senyum, bagaimanapun dia memang harus mematuhi aturan tinggal di rumah orang. 

***

Seminggu sudah Larasati tinggal di rumah Li Jing. Sekarang dia tahu bahwa nama lengkap pria tersebut adalah Wang Li Jing, seorang aktor terkenal asal China. Bibi telah bercerita banyak mengenai Li Jing dan bagaimana pria tersebut membawanya pulang dalam keadaan terluka. 

Sejak kejadian televisi terbakar, Larasati jarang sekali melihat Li Jing. Sang aktor sibuk syuting drama hingga tak memedulikan keberadaan Larasati. 

Untuk menghilangkan kejenuhan Larasati membantu pelayan membereskan rumah. Semua dia lakukan sebagai bentuk rasa terima kasih karena Jing telah menyelamatkannya sekali dan mengijinkannya tinggal sementara.

Malam mulai larut, tetapi Larasati masih terjaga. Merasa bosan, dia melangkah menuju ke ruang tamu, lalu duduk bersantai membuka beberapa majalah yang menurutnya tidak menarik, tentu saja karena Larasati belum bisa membaca aksara modern dengan gaya penulisan terbaru saat ini. 

Tak lama kemudian, terdengar suara mobil yang dikemudikan dengan cepat dan berhenti di halaman rumah.

Larasati berdiri dari tempat duduk lantas melangkah membuka pintu. Dalam keadaan lampu ruangan mati, dia memperhatikan Li Jing yang mabuk keluar dari mobil. Pria berblazer marun tersebut berjalan sempoyongan memasuki rumah, bahkan tak menyapa Larasati ketika keduanya berpapasan. 

Li Jing membanting tubuh di sofa hitam ruang tamu, lalu mengangkat sebelah tangan ke kening karena pusing akibat pengaruh alkohol. Sementara itu, Larasati yang telah menutup pintu kembali melangkah menghampiri dan duduk di hadapan pria tersebut. 

"Kau kenapa?" Larasati meninggikan sebelah alis dengan sikap angkuh. 

Li Jing membuka sebelah mata. "Bukan urusanmu." 

Larasati tersenyum jengah. Sudah seperti ini, Li Jing masih juga tak ramah. Batinnya.

Li Jing memejamkan mata, kemudian segera terlelap, sedangkan Larasati yang masih duduk di tempat semula, berdiri dan menata tubuh Li Jing. Dia melepas blazer serta sepatu yang dikenakan sang aktor. Tak lupa juga melangkah menuju ke kamar untuk mengambil bad cover. Saat kembali, bidadari itu menyelimuti tubuh Li Jing, lalu tersenyum sinis menyikapi. 

* * *

Pagi menjelang, matahari segera menyinari gelap dunia. Kicauan burung-burung bernyanyi di atas pepohonan meramaikan suasana. 

Li Jing terbangun dari tidur dan mengerjap-ngerjapkan mata. Saat merasa silau dengan cahaya yang masuk melalui jendela, dia menghela napas, lalu perlahan beralih ke posisi duduk sembari mengucek sebelah mata. 

Melihat bad cover menyelimuti dirinya, Li Jing segera menyentuh kain berwarna biru itu dan memikirkan siapa yang melakukan semua. Tentu saja pria tersebut juga sadar bahwa blazer serta sepatunya telah dilepas. 

Wanita itu. Batin Li Jing. Meski tampak membenci, dia tak ingin mempermasalahkan, mengingat memang semalam telah mabuk berat. 

Li Jing minum terlalu banyak sewaktu di bar. Dia sangat kacau ketika produser mengatakan bahwa Ying Fei dan Han akan menjadi lawan main dalam drama yang akan dia bintangi. Menurut rumor yang beredar keduanya memiliki hubungan asmara. Sebagai teman dekat Han yang juga menyukai Ying Fei, Li Jing merasa tersisih. 

Li Jing sangat membenci keadaan tersebut, akhir-akhir ini dia harus menghindar dari dua orang yang dekat dengannya itu karena tak bisa mengendalikan kecemburuan. 

Kepala pria tersebut makin terasa pusing saat memikirkannya. Dia memang memiliki toleransi yang tinggi terhadap alkohol, tetapi bukan cinta. 

Larasati datang, membawakan segelas susu yang segera dia taruh di meja.

"Minumlah," pinta Larasati. "Semalam kau mabuk, jadi aku membantumu melepas pakaian."

Blazer maksudnya? Entah dari mana asalnya, kenapa dia tidak bisa membedakan mana pakaian mana blazer! Batin Li Jing. 

Lagi pula dia hanya tinggal sementara, tak perlu bersikap berlebihan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status