Telah beberapa hari Rawai Tingkis berjalan tanpa tahu arah yang pasti. Bocah yang tidak begitu paham dengan bentang alam dan peta, akan memiliki kemungkinan besar untuk tersesat di dalam hutan.Namun, dia masih bertahan, ada banya kelinci yang ditemukan, atau pula kijang yang bisa menganjal perutnya dikala kelaparan.Di tangannya, dia membawa pedang yang ditinggalkan sang guru, menjadi teman setia dalam perjalanan ini.Satu hal yang ada di dalam benaknya saat ini, dia harus berjalan terus ke arah pusat penelitian dunia, atau markas para ilmuan dunia.Sayangnya sejauh dia berjalan, Rawai Tingkis tidak menemukan satupun hambatan atau lawan yang berasal dari kelompok satria suci.Kecuali hanya beberapa bandit kecil yang mencoba merampok pedang di tangannya, dan semua itu bukanlah lawan yang sepadang bagi Rawai Tingkis.“Tujuh hari lamanya …tujuh hari lamanya …” Rawai Tingkis bersenandung seraya sesekali bersiul kecil, “Aku berada di dalam hutan, seperti monyet sialan.”“Ada suara seora
Rawai Tingkis tanpa menunggu lama sudah tiba di kedai makanan yang letaknya di pinggir pusat kota.“Paman Kedai, pesan nasi lima piring, daging ayam tiga!” ucap Rawai Tingkis.Pemilik kedai tersenyum, sebelum kemudian dia meletakan pesanan Rawai Tingkis di atas meja makan.Tidak selang beberapa lama, Kilindung dan dua temannya yang lain tiba di tempat tersebut, langsung terkejut melihat banyak bekas piring kotor di hadapan Rawai Tingkis.“Ini semua kau habiskan dalam sekejap?” Kilindung mengangkat satu piring, lalu membaliknya.“Ah, Paman pesan untuk mereka bertiga, dan tambah tiga piring nasi untuk diriku.”“Tiga piring nasi lagi?” Pemilik Kedai hanya menggelengkan kepala, merasa sangat heran dengan remaja yang ada dihadapannya.Sampai semuanya selesai makan, Rawai Tingkis telah menghabiskan 8 piring nasi seorang diri. Entah seperti apa perut remaja itu hingga dia bisa melahap habis makanan yang ada di atas meja tersebut.Tiba-tiba.Belasan orang tiba di kedai itu, mengenakan pakaian
“Senopati Muda, apa aku harus membunuhnya!” salah satu prajurit tidak bisa lagi menahan emosi, dia telah mencabut golok dari sarungnya, hanya menunggu perintah untuk mengeksekusi Rawai Tingkis.“Apa kau bodoh?” timpal Senopati Muda, “kau pikir dimana kita saat ini? Apa kau ingin nama kita tercoreng hanya karena membunuh satu ekor lalat kecil ini?”“Tapi bagaimana lagi, bocah ini tidak bisa-““Huammmm!!!” Rawai Tingkis mendadak terjaga dari tidurnya, menggeliat beberapa kali seraya menyapukan pandangan ke sekeliling.Dengan polosnya dia bertanya, “kemana perginya Kilindung dan yang lain?” Dia kemudian memperhatikan wajah-wajah para prajurit, lalu berdiri seraya mengibaskan pakainnya yang penuh dengan debu, “huhhh …apa mereka meninggalkanku? Ah, meja ini kenapa tiba-tiba rusak?”Setelah berkata seperti itu, Rawai Tingkis berjalan ke luar kedai makanan, tanpa mengatakan sepatah katapun kepada para prajruit yang menatapnya dengan penuh amarah.Menggaruk kepalanya beberapa kali, Rawai Ting
Secara alami, Kilindung masih memiliki insting yang sangat bagus, dia tahu jika rumah yang baru saja ditempati ini, tidak hanya butuh perbaikan tapi juga diincar oleh sekelempok orang.Dia menduga jika orang ini mengetahui harta yang mereka bawa, jadi ingin merampas harta tersebut. Namun pada kenyataan, mereka ini mengincar pedang yang ada di tangan Rawai Tingkis.Kondir langsung menarik golok dari sarungnya, mengejutkan Sindur yang belum tahu situasi di rumah ini dengan jelas.Sementara itu, Kilindung dengan kaki pincang langsung menyambar pedang yang tergeletak di dekat pembaringan, bersiap menyambut lawan yang akan datang sesaat lagi.Pria itu menatap ke arah Rawai Tingkis, ada ucapan dan harapan di balik bola matanya.“Aku tahu,” ucap Rawai Tingkis, “tenang saja.”“Kau tahu apa?” Sindur masih belum paham, “sebenarnya apa yang akan-“Bruk.Beberapa orang turun dari atas dengan membobol atap rumah, lalu beberapa orang yang lain muncul dari pintu dan jendela. Tidak kurang 7 orang pri
“Rawai Tingkis apa yang kau katakana?” tanya Kilindung.“Kalian tidak terlibat dalam hal ini, mereka tidak mengincar harta kalian tapi mengincar pedang ini, jadi aku sendiri yang akan mendatangi pria bodoh itu.”“Apa yang kau katakana, kami mungkin bandit, tapi kami masih memiliki sisi baik di dalam hati, tidak akan aku membiarkan kau pergi menemui senopati muda itu sendirian.”“Lalu bagaimana dengan rencana kalian? Kalian bisa di usir dari Kota ini.”“Heh?” Sindur menimpali dengan senyum lebar, “apa kau pikir hanya ada satu kota di dunia ini, ha?”Setelah beberapa waktu kemudian, Kilindung memberi saran kepada dua temannya untuk menyembunyikan sisa harta yang mereka miliki ke dalam tanah. Ini untuk berjaga-jaga jika nanti mereka benar-benar akan diusir dari Kota ini.Yang jelas rumah ini sudah menjadi milik mereka, meskipun nanti dibakar oleh pemerintah yang berkuasa di sini, mereka masih bisa mengambil sisa harta benda yang disembunyikan.Rawai Tingkis tampaknya sangat berterima kas
Senopati Muda Janka merasa kesal, karena Adipati Sena belum juga tiba di kediamannya. Menurut laporan bawahan, pimpinan itu akan datang ke sini dalam beberapa menit lagi, tapi ini sudah lebih dari satu jam.Jadi dia mulai memanggil bawahannya, lalu menampar pria malang itu hingga dua giginya tanggal.“Ini adalah upah dari laporan palsu yang kau buat,” ucap Senopati Muda Janka, lalu dengan keras menampar wajah bawahannya beberapa kali lagi, hingga kehilangan kesadarannya.Setelah merasa puas, Senopati Muda Janka berpikir jika Adipati Sena tidak akan datang ke Kota ini, dan informasi yang dibawa oleh prajuritnya hanyalah kesalahan.Setelah menyingkirkan tubuh bawahannya, Senopati Muda Janka pergi meninggalkan aula utama Istananya. Dia bergegas ke belakang, menuju bangunan khusus yang dibuat untuk mengurung banyak gadis cantik.Dia datang ke bangunan itu, disambut baik oleh seorang pelayan wanita berbadan molek nan cantik. Gadis nakal langsung memeluk tubuh Senopati Muda Janka, mulai me
Adipati Sena memasang wajah sedih di hadapan Rawai Tingkis, tapi bocah itu masih belum menyerahkan makanannya.Di sisi lain, Senopati Utama merasa jika Rawai Tingkis tidak berbeda jauh dari beberapa pedagang yang mereka temui sebelumnya. Pelit.“Aku dan anakku belum makan dari pagi tadi,” ucap Adipati Sena, “kami tidak memiliki uang untuk membeli sepotong ubi atau makanan yang lain.”Rawai Tingkis tidak peduli, dia tidak ingin berbagi makanan dengan Adipati Sena, nyaris membuat Pimpinan itu menjadi kecewa.“Kau tidak akan mendapatkan makanan dari dirinya,” timpal Kilindung, berkata dengan nada yang datar, “jangankan memberimu ubi, dia bahkan merebut ubi yang kami miliki.”Rawai Tingkis menatap wajah Kilindung lalu tertawa kecil, “ini hanya ubi, kau masih mengungkitnya?”Setelah berkata seperti itu, Rawai Tingkis kembali menatap wajah Adipati Sena lalu menatap Senopati Utama. Dia menggaruk kepalanya beberapa kali, “Paman, Putramu memiliki tubuh yang sehat, kenapa tidak mencari pekerja
“Aku tidak ingin melakukannya,” ucap Rawai Tingkis. “Tidak ada cara lain apa?”“Ini satu satunya cara, kau bisa melumpuhkan mereka dengan mudah.”“Itu artinya sama saja aku bekerja sendiri, payah, sejak awal kalian memang tidak bisa diharapkan,” tutup Rawai Tingkis.“Kau-“ Kilindung mencengkram kepalan tinjunya dengan erat, tapi dia tidak bisa berbuat banyak saat ini, lebih lagi Rawai Tingkis jauh lebih kuat daripada dirinya.Ya, Kilindung meminta Rawai Tingkis menyamar untuk masuk ke dalam ruang lingkup istana. Karena tubuhnya kecil, mungkin dia bisa menjadi pelayan atau sejenisnya, tanpa harus dicurigai oleh para penjaga. Namun ini tidak mungkin, Rawai Tingkis yang bodoh tidak suka cara seperti itu.“Menyamar itu cara kotor …,” Rawai Tingkis berdalih, hanya bandit dan pencuri yang suka melakukan cara tersebut, tapi tidak untuk dirinya.“Bocah, sekarang kau pikirkan untuk masuk ke dalam istana?” Sindur merasa tersinggung dengan ucapan Rawai Tingkis, jadi dia tidak ingin memberi saran