Raja menangis terharu melihat bayi mungil yang baru saja diadzani dalam dekapan ibunya. Walaupun pria itu datang sedikit terlambat, beruntung Ruma dan bayinya sehat. Hanya saja karena baby mereka lahir prematur masih kurang bulan, berat badannya juga kecil. Sehingga memerlukan perawatan intensif. "Aku mau mengabari ummi sama abi ya, biar mereka datang. Besok kita menikah," kata pria itu tak sabaran. Apalah Dokter satu ini, memangnya tidak bisa menunggu Ruma bernapas dulu. Dia bahkan baru saja melahirkan beberapa jam yang lalu. "Hah, besok? Yang bener dong Mas, aku masih di rumah sakit. Bagaimana ceritanya kita akan menikah." "Biar aku bisa jagain kamu. Kalau kaya gini kan aku bingung juga ditanyain dokter kaya tadi. Bapak suaminya? Aku harus jawab apa, Dek?" "Ya jawab aja bukan, memang bukan kan?" "Belum sih, makanya lebih cepat lebih baik. Kita menikah dulu di bawah agama, nanti kalau sudah pulih baru kota meresmikan hubungan ini. Bagaimana?" "Terserah kamu saja, Mas, Ru
"Kamu sudah lahiran? Bapak yang maksa ibuk ke sini." "Iya Buk, alhamdulillah sudah. Terima kasih ibuk sudah datang," jawab Ruma lembut. Walaupun ibunya selalu bersikap kurang suka, Ruma tetap patuh dan menerima. "Rum, sehat? Alhamdulillah sudah lega rasanya. Cucu bapak lucu sekali," ucap Pak Razik membuat wajah Ruma tersenyum. "Iya Pak, alhamdulillah berkat doa bapak semuanya dilancarkan." "Raja mana? Bukannya dia katanya ke sini?" tanya Pak Razik tidak menemukan calon menantunya. "Di luar Pak, tadi ada kok. Tadi di sini." "Katanya orang tua Raja mau datang? Bener atau gimana Rum?" tanya Bapak memastikan. "Iya Pak, ummi sama abi mau silaturahmi ke rumah." "Dadakan sekali, dia niatnya cuma mau silaturahmi atau mau ngelamar kamu. Bukankah kita perlu siap-siap." "Mm ... kalau itu Ruma kurang tahu. Nanti kalau Mas Raja ke sini biar tak tanya dulu." "Ya, sebaiknya harus jelas. Biar enak nanti nerima tamunya." "Ibuk nggak mau repot, semua catering saja. Sebaiknya ju
"Alhamdulillah ...," ucap Raja dalam hati usai mengucapkan akad dengan khusuk. Pria itu akhirnya bisa tersenyum lega, serasa satu bebannya terlepas. Pengantin perempuannya pun dipanggil untuk bertemu langsung dengan suaminya. Tatapan pertama setelah sah, kenapa jadi malu-malu begini rasanya. Ini pernikahan kedua Ruma, tetapi serasa perdana. Ia merasakan kebahagiaan yang tidak bisa ditutup-tutupi lagi. "Tangan kamu, Dek," kata pria itu menginterupsi. Ruma sampai keringat dingin karena mendadak grogi. Padahal udah sah ini, tapi masih pada malu-malu gimana gitu. Lucu sekali pasutri baru ini. Sampai-sampai mau masangin cincin ke suami saja deg degan begini. Usai bertukar cincin dengan perasaan dag dig dug, kini saatnya mereka mengambil sesi foto bersama, lengkap dengan mencium tangan penghormatan setelah sah menjadi suami istri. Keduanya saling melempar senyum malu-malu. Kenapa mendadak canggung dan kaku begini. "Udah Mas, aku ke dalam dulu. Kasihan adeknya," ucap wanita itu
"Mas," kata perempuan itu memberi jarak. Dia menggeleng pelan, takut kalau pria itu lupa akan keadaannya saat ini. Raja tersenyum manis, dia paham, tahu betul kalau istrinya khawatir terhadap dirinya yang tiba-tiba bringas. "Tahu kok sayang, aku cuma kangen aja. Jangan khawatir, anggap saja kita lagi pacaran dulu. Cukup sampai sebatas ini bolehnya." Dia memberi batasan sendiri yang membuat Ruma membalas dengan pipi merona. "Emang boleh sampai sini. Kamu membuatku takut," ucap Ruma jujur. "Ya boleh lah, kan udah halal, sampai bawahnya juga boleh, asal nggak bablas aja. Hahaha." "Ish ... kamu meresahkan. Ternyata Dokter Raja yang cool dan alim itu mesum!" "Nggak apa-apa dong Dek, kan mesumnya cuma sama kamu," jawabnya enteng. Raja mau menunda-nunda pacaran. Ini kesempatan dia bermanja-manja gemesin ummanya Zava setelah sekian purnama menahan diri. Sudah halal mana tahan istrinya dianggurin. "Dek, jangan jauh-jauh. Masya Allah ... sini dong cantik." Raja kembali m
"Sebenarnya ada suatu hal yang ingin kami katakan, Bu, Pak," ucap Raja membuka prakata. Bapak dan ibu yang tengah duduk santai langsung terfokus pada pasutri yang baru bergabung itu. Siap menyimak hal apa yang ingin disampaikan anak dan menantunya. Sepertinya penting sekali kalau dilihat dari raut wajahnya. "Ini tentang hal kita berdua, dan juga Zava," sambung pria itu menyiapkan hati yang teguh. Sebenarnya ini aib, tapi untuk memperjelas keadaan, dan agar tidak menjadi kesalahpahaman lagi fi kemudian hari. Bapak dan ibuk menduga-duga karena Zava bukanlah anak dari Raja, jadi mungkinkah pria itu keberatan menerima putri Ruma. Tapi kenapa yang terlihat belakangan ini justru Raja sepertinya sangat menyayangi bayi itu. "Kenapa Ja? Bicara saja," sahut Ibuk tak sabar. Bikin penasaran orang tua saja. "Sebenarnya Zava bukan anak kandung Mas Rasya, Buk, Pak," ucap Ruma cukup jelas. Tentu saja pernyataan Ruma langsung membuat pikiran kedua orang tuanya jelek. "Maksud kamu?" Pe
"Hati-hati di jalan, jangan lupa ngabarin ya kalau udah sampai," ucap Ruma melepas suaminya pulang. "Siap umma sayang," jawab Raja masih cengengesan. Padahal dia juga berat ninggalin Ruma dan bayinya. Berharap beberapa minggu cepat berlalu. Pria itu mencium baby Zava dengan gemas. Tak lupa juga mendaratkan kecupan sayang pada istrinya. "Baik-baik di rumah, kalau kangen kan bisa telfon."Bogor Jakarta itu dekat, hanya saja kondisi Zava yang masih terlalu kecil menahan diri keduanya untuk tidak membawa perjalanan dulu. Rencananya setelah syukuran dan menggelar aqiqah untuk kelahiran Zava baru Ruma pindah ikut suaminya. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang saat mobil suaminya tak terlihat oleh matanya. Mendadak hatinya jadi sepi. Padahal baru beberapa menit pria itu berlalu, sudah membuat Ruma galau saja. "Ayo masuk, Dek, buya udah berangkat. Malam ini kita tidur berdua." Ruma masuk meninggalkan teras. "Raja sudah berangkat? Jangan lupa minta segera diurus secara legal biar pern
"Itu suara bayi siapa, Rum?" tanya Rasya lagi begitu penasaran. Dia sampai berdiri dari duduknya hendak mengekor Ruma ke dalam. "Bayi Ruma, Mas, sebentar ya, Ruma lihat dulu," ujar perempuan itu pamit melihatnya. Rasya sebenarnya sangat penasaran, tetapi tertahan dengan keadaan status mereka yang tidak bisa sebebas dulu. Dia hanya bisa memanggil-manggil dengan rasa ingin tahu. "Ruma!" seru pria itu gelisah sendiri.Sementara Ruma langsung masuk kamar mengunci pintunya. Baru mendekati Zava yang tengah menangis meminta perhatian. Dia takut tiba-tiba Rasya menyusulnya mengingat pria itu mengekor sampai ruang keluarga."Ada apa, Sya, biarkan Ruma mengurus bayinya dulu. Kamu tunggu di ruang tamu saja," tegur Ibuk langsung menyela. Melihat mantan menantunya sampai masuk. Perempuan itu sebenarnya masih agak kesal dan kecewa terhadap Rasya akibat telah menyia-nyiakan putrinya. Apalagi tahu sempat ada konflik yang menyebabkan perempuan lain.Dia menyesali sikapnya yang tidak mau terbuka du
"Coba sini sama ibuk, kamu gendongnya mungkin nggak nyaman. Kamu sih mandi juga malam banget, kan nggak baik juga buat bayi kamu."Walaupun hidup di era modern, Ibuk masih mempercayai hal-hal mitos jaman dulu. Jadi agak ribet memang kalau standar pengasuhannya harus nurut beliau, walau memang kadang ada benarnya juga. "Pakai ASIP dulu aja kalau Zava nggak mau minum langsung. Kamu panasi dulu sana, biar ibuk timang-timang."Perlahan bayi itu mulai anteng. Mungkin karena sudah capek nangis juga. Belum sempat minum susu, Zava sudah pules dalam gendongan ibuk. "Sudah bobok Buk? Masih panas nggak?" tanya Ruma memastikan sendiri dengan mengecek suhu badan Zava. "Masih agak anget, atau jangan-jangan dia capek, besok ibuk panggil tukang pijat bayi saja sekalian cukur rambut."Kalau tidak panas dan mau minum ASI lagi, Ruma tidak segalau tadi. Dia sudah parno dan takut sendiri kalau terjadi sesuatu sama putrinya. Mana ayahnya sedang tidak bisa pulang, kan makin sedih anak sakit ngurusi sendi