"Sebenarnya ada suatu hal yang ingin kami katakan, Bu, Pak," ucap Raja membuka prakata. Bapak dan ibu yang tengah duduk santai langsung terfokus pada pasutri yang baru bergabung itu. Siap menyimak hal apa yang ingin disampaikan anak dan menantunya. Sepertinya penting sekali kalau dilihat dari raut wajahnya. "Ini tentang hal kita berdua, dan juga Zava," sambung pria itu menyiapkan hati yang teguh. Sebenarnya ini aib, tapi untuk memperjelas keadaan, dan agar tidak menjadi kesalahpahaman lagi fi kemudian hari. Bapak dan ibuk menduga-duga karena Zava bukanlah anak dari Raja, jadi mungkinkah pria itu keberatan menerima putri Ruma. Tapi kenapa yang terlihat belakangan ini justru Raja sepertinya sangat menyayangi bayi itu. "Kenapa Ja? Bicara saja," sahut Ibuk tak sabar. Bikin penasaran orang tua saja. "Sebenarnya Zava bukan anak kandung Mas Rasya, Buk, Pak," ucap Ruma cukup jelas. Tentu saja pernyataan Ruma langsung membuat pikiran kedua orang tuanya jelek. "Maksud kamu?" Pe
"Hati-hati di jalan, jangan lupa ngabarin ya kalau udah sampai," ucap Ruma melepas suaminya pulang. "Siap umma sayang," jawab Raja masih cengengesan. Padahal dia juga berat ninggalin Ruma dan bayinya. Berharap beberapa minggu cepat berlalu. Pria itu mencium baby Zava dengan gemas. Tak lupa juga mendaratkan kecupan sayang pada istrinya. "Baik-baik di rumah, kalau kangen kan bisa telfon."Bogor Jakarta itu dekat, hanya saja kondisi Zava yang masih terlalu kecil menahan diri keduanya untuk tidak membawa perjalanan dulu. Rencananya setelah syukuran dan menggelar aqiqah untuk kelahiran Zava baru Ruma pindah ikut suaminya. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang saat mobil suaminya tak terlihat oleh matanya. Mendadak hatinya jadi sepi. Padahal baru beberapa menit pria itu berlalu, sudah membuat Ruma galau saja. "Ayo masuk, Dek, buya udah berangkat. Malam ini kita tidur berdua." Ruma masuk meninggalkan teras. "Raja sudah berangkat? Jangan lupa minta segera diurus secara legal biar pern
"Itu suara bayi siapa, Rum?" tanya Rasya lagi begitu penasaran. Dia sampai berdiri dari duduknya hendak mengekor Ruma ke dalam. "Bayi Ruma, Mas, sebentar ya, Ruma lihat dulu," ujar perempuan itu pamit melihatnya. Rasya sebenarnya sangat penasaran, tetapi tertahan dengan keadaan status mereka yang tidak bisa sebebas dulu. Dia hanya bisa memanggil-manggil dengan rasa ingin tahu. "Ruma!" seru pria itu gelisah sendiri.Sementara Ruma langsung masuk kamar mengunci pintunya. Baru mendekati Zava yang tengah menangis meminta perhatian. Dia takut tiba-tiba Rasya menyusulnya mengingat pria itu mengekor sampai ruang keluarga."Ada apa, Sya, biarkan Ruma mengurus bayinya dulu. Kamu tunggu di ruang tamu saja," tegur Ibuk langsung menyela. Melihat mantan menantunya sampai masuk. Perempuan itu sebenarnya masih agak kesal dan kecewa terhadap Rasya akibat telah menyia-nyiakan putrinya. Apalagi tahu sempat ada konflik yang menyebabkan perempuan lain.Dia menyesali sikapnya yang tidak mau terbuka du
"Coba sini sama ibuk, kamu gendongnya mungkin nggak nyaman. Kamu sih mandi juga malam banget, kan nggak baik juga buat bayi kamu."Walaupun hidup di era modern, Ibuk masih mempercayai hal-hal mitos jaman dulu. Jadi agak ribet memang kalau standar pengasuhannya harus nurut beliau, walau memang kadang ada benarnya juga. "Pakai ASIP dulu aja kalau Zava nggak mau minum langsung. Kamu panasi dulu sana, biar ibuk timang-timang."Perlahan bayi itu mulai anteng. Mungkin karena sudah capek nangis juga. Belum sempat minum susu, Zava sudah pules dalam gendongan ibuk. "Sudah bobok Buk? Masih panas nggak?" tanya Ruma memastikan sendiri dengan mengecek suhu badan Zava. "Masih agak anget, atau jangan-jangan dia capek, besok ibuk panggil tukang pijat bayi saja sekalian cukur rambut."Kalau tidak panas dan mau minum ASI lagi, Ruma tidak segalau tadi. Dia sudah parno dan takut sendiri kalau terjadi sesuatu sama putrinya. Mana ayahnya sedang tidak bisa pulang, kan makin sedih anak sakit ngurusi sendi
"Barang yang mau dibawa udah semua kan?Nggak ada yang tertinggal?" tanya Raja memastikan. Hari ini Ruma mau ikut suaminya ke Jakarta."Udah semua Mas, insya Allah nggak ada yang ketinggalan.""Makan dulu, Rum, jangan lupa barang penting Zava.""Iya Buk, Ruma tadi udah sarapan burjo, kalau Mas Raja belum.""Ya sudah temani suamimu dulu sana biar Zava sama ibuk.""Aku masih lumayan kenyang juga Dek, tadi kan ikut nyicip.""Cuma dikit, ya udah ayo barengan aja biar ibuk lega. Kasihan udah masak juga pagi-pagi."Pasangan pasutri itu lebih dulu memanjakan perutnya baru bersiap berangkat. Mereka pamitan dengan orang-orang di seluruh rumah."Pamit dulu, Pak, Buk," ucap Raja menyalin takzim kedua mertuanya."Iya hati-hati di jalan. Titip Ruma dan Zava, Nak, sehat-sehat sampai tujuan. Semoga kalian bahagia selalu," ucap Bapak sendu. Dejavu pernah gini juga, melepas Ruma ikut suami setelah menikah, semoga kali ini benar-benar menjadi pelabuhan terakhir Ruma dan menjadikan keluarga yang sakinah,
"Eh, Mbak Zira." Ruma tersenyum mendapati adiknya memergokinya. Jadi malu sendiri gegara Raja ngode-ngode. "Apa Ra? Anda kepo ya," kata Raja menanggapi dengan guyonan. "Habisnya kalian berdua mencurigakan," sahut Zira berlalu menghampiri Zava yang tengah dikerubungi kakek neneknya. Sementara Ruma santai sejenak. Mumpung Zava ada yang momong. Kebetulan juga sudah masuk waktu sholat. Raja dan Ruma menepi sejenak. "Sholat di kamar saja yuk Dek, nanti aku ambilin mukena yang bersih," ajak Raja menginterupsi istrinya agar mengekornya. "Ya udah, kamarnya yang mana?" Raja mengantar istrinya ke kamar pribadinya yang sudah cukup lama ditinggalkan pemiliknya. Semenjak tinggal di rumahnya sendiri, Raja memang jarang pulang ke rumah ibunya. "Ayo masuk!" Pria itu mempersilahkan istrinya. Ia langsung menutup pintunya begitu Ruma masuk. "Kok dikunci? Kan cuma sholat doang." "Hahaha ... iya, kamu kan mau lepas kerudung. Nanti kalau ada yang tiba-tiba masuk gimana?" "Nggak Mas, sana
Ruma terjaga pertengahan malam ketika Zava merengek meminta susu. Wanita itu kaget sendiri dan sekaligus merasa bersalah melihat suaminya yang sudah lelap tanpa sapaan manis darinya semalam.Ruma langsung mengASIhi bayinya, dua tidak berani mengusik suaminya yang nampak lelap. Usai putri kecilnya tidur lagi, Ruma kembali merapat di dekat suaminya.Pagi-pagi sekali, giliran Raja yang terjaga lebih dulu. Karena waktunya sholat subuh, pria itu mau tidak mau membangunkan istrinya lebih dulu."Sayang, udah subuh," bisik pria itu sembari mengelus pipinya."Mas, kamu udah bangun?" tanya Ruma membuka matanya."Iya, ini kan sudah subuh. Maaf ya, semalam nggak ikut bangun ngurusin Zava," ucap Raja merasa begitu lelah."Kayaknya aku deh yang harusnya minta maaf, semalam aku ketiduran. Kenapa nggak bangunin?"Padahal sudah menyusun agenda malam yang indah. Eh, malah bablas ketiduran. Mau bagaimana lagi, rasa ngantuk mengalahkan semuanya."Nggak apa, aku nggak tega, kamu kelihatannya lelap banget.
Ruma langsung berhenti lalu menoleh ke arah sumber suara begitu ada yang memanggil namanya. "Tante Maria," sahut Ruma agak kaget mendapati mantan mertuanya ada di tempat yang sama. Sepertinya perempuan itu juga kaget melihat dirinya untuk yang pertama kali setelah perpisahan dengan anaknya. "Ini anak kamu? Apakah ini cucu mami juga?" tanya wanita itu mendekat. Ada penyesalan dari sorot matanya. Berharap kalau bayi dalam gendongan Ruma anak Rasya. "Tante di sini sama siapa?" tanya Ruma mengalihkan topik. Menatap sekitaran yang sepertinya tidak ada orang yang membersamai beliau. "Rasya Rum, mami baru saja chek kesehatan," jawab perempuan itu terus menatap bayi dalam gendongan Ruma. "Owh ... dianterin Mas Rasya." Ruma manggut-manggut. Mau cepat-cepat beranjak tetapi tidak enak kalau berlalu begitu saja. "Kamu lagi apa di sini? Maafkan mami, Rum," ucap Nyonya Maria tiba-tiba. "Kebetulan Ruma mau imunisasi bayi Ruma, Tante," jawab Ruma tak serta merta langsung menjawabnya pertanyaan