Share

Rasa untuk Ayah

Naya meremas kuat dress yang ada di tangannya. Seraya melirik Rendi yang ada di sampingnya.

"Tidak apa-apa. Pakailah, saya akan menghadap ke dinding sana." Rendi segera berbalik ke arah dinding agar Naya bisa segera berganti pakaian.

Naya mengangguk. Meski gugup dan malu, tapi ia yakin Rendi akan menepati janjinya untuk tidak melihat. Cepat Ia membuka dasternya yang telah basah.

Dress merah maroon yang ada di tangannya, sepertinya cukup aman digunakan meskipun bra-nya sedikit basah.

Namun, saat daster Naya terlepas. Ia melihat ada cup di bagian depan dress tersebut. Itu artinya ia bisa melepaskan bra-nya yang basah.

Tidak perlu waktu lama bagi Naya untuk berganti pakaian. Dress maroon yang begitu sempit di tubuh mungilnya telah terpasang. Meski resleting bagian belakang belum mampu ditutup dengan baik.

Naya mencoba. Terus meraih resleting dan menariknya. Tapi sayangnya terus saja gagal karena ukuran dress yang kurang layak untuknya.

"Ba-bapak, bisa bantu aku?" Gugup dan berkeringat dingin. Naya mencoba meminta bantuan kepada Rendi yang masih membelakanginya.

"Ya?" Rendi berbalik. Tertegun melihat Naya menggunakan dress yang jauh di atas lututnya. Kedua pundak mulusnya juga terekspos dengan jelas.

"Saya rasa ini tidak cocok kamu gunakan untuk berfoto di depan," ucap Rendi. Sebelum mendekati Naya yang terus saja berusaha menaikkan resleting di belakang tubuhnya.

"Ta-tapi, kak Lily …."

"Sebaiknya jangan," sanggah Rendi..Di depan sana orang-orang mengenakan long dress dan kebaya. Bukan mini dress kurang bahan seperti yang dikenakan Naya saat ini.

"Saya tidak izinkan kamu keluar seperti ini."

"Ta-tapi, Pak …"

"Naya! Buruan! Kalau nggak keluar juga, aku seret kamu, ya!" pekik Lily dari luar. Berdiri di depan pintu menunggu Naya berganti pakaian, membuat kakinya terasa pegal.

"Buruan, Woi!" sergah Lily lagi. Memukul pintu, sebagai desakan agar Naya segera membuka pintu tersebut.

"Pak, bantu aku," pinta Naya, seraya mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Memohon agar Rendi mau membantu menaikkan resleting gaunnya.

Rendi menghela nafas berat Akhirnya mendekat juga dan membantu Naya menaikkan resleting tersebut. Cukup susah, tapi akhirnya resleting tersebut terpasang dengan baik.

"Terimakasih, Pak. Aku temui kak Lily dulu," pamit Naya. Sedikit menunduk untuk memberikan hormat kepada Rendi.

Rendi hanya mengangguk. Dengan berat hati membiarkan Naya pergi. Ingin rasanya ia melarang karena sangat jelas terlihat Naya merasa sesak mengenakan dress tersebut. Rendi yakin dress yang dikenakan Naya sengaja digunakan untuk mempermalukan menantunya itu.

Sepertinya setelah Lily dan Naya pergi, Rendi akan menyusul ke luar untuk melihat apa yang sedang anak dan istrinya lakukan kepada Naya.

Dirasa cukup aman, Rendi segera keluar dari ruang cuci piring. Berjalan menuju pelaminan, yang katanya kini menjadi tempat Naya berfoto dengan Aira dan Kendra.

"Apa yang kalian lakukan padanya?" sergah Rendi di depan semua tamu undangan. Saat melihat Naya berdiri di samping Kendra, tapi dengan tangan yang memeluk dadanya.

"Apa maksud Ayah?" Herni menyahut. Segera meraih tangan Rendi agar tidak menyusul Naya ke atas pelaminan. "Ayah mau kemana? Dari tadi Ibu cari tidak ketemu. Datang-datang langsung marah-marah seperti orang kesurupan. Kenapa, hah?"

"Kenapa katamu? Kamu tidak lihat apa? Semua orang berbisik dan menertawakan menantumu? Dan kamu hanya diam saja? Begitu?"

"Diam? Tentu saja Ibu diam, Yah. Dia bukan siapa-siapa kita, dia cuma wanita murahan yang rela telanjang di depan Kendra agar bisa menjadi istri anak kita. Dan lihat sekarang, dia sengaja menggoda Kendra di pelaminan dengan menggunakan pakaian kurang bahan itu. Seharusnya Ayah marahin dia, bukannya kami!" balas Herni seraya menunjuk Naya yang kini membeku di pelaminan.

Ingin rasanya gadis itu lari, tapi tak berdaya. Sedikit saja ia bergerak dress yang dikenakannya bisa saja melorot karena Aira menarik turun resletingnya.

Naya memucat. Tubuhnya bergetar melihat semua tamu undangan menatap sinis padanya. Ia seakan ditelanjangi Aira di depan umum, tapi tidak ada yang mau membantu. Bahkan Kendra hanya diam, memperhatikan Naya yang sudah mati ketakutan.

"Kamu jangan membuat-buat cerita, Herni. Mana mungkin Naya bisa memiliki dress seperti itu. Kamu pikir aku tidak tahu apa isi dus yang dia bawa? Tidak lebih dari daster lusuh untuk pakaian sehari-hari." Rendi menatap tajam kepada Herni. Ini sungguh sudah keterlaluan karena harga diri Naya diinjak-injak oleh keluarga suaminya sendiri.

"Enak saja Ayah asal tuduh. Mana mungkin kami bisa berbuat sekeji itu? Ck, aku curiga, jangan-jangan Naya sudah menyerahkan tubuhnya kepada Ayah, iya?"

Plak!!

Herni meringis. Mengusap pipinya yang terasa panas karena tamparan yang diberikan Rendi. Laki-laki yang sangat memuja dan mencintainya itu kini sudah main tangan, setelah puluhan tahun mereka berdua menikah.

"Rendi, kamu berani tampar aku? Hanya demi wanita murahan itu?" Lirih Herni. Mulai terisak agar semua orang tahu dirinya diperlakukan tidak baik oleh Rendi demi membela Naya.

"Dia bukan wanita murahan. Dia menantu kita," sahut Rendi acuh. Naik ke atas pelaminan dan memeluk Naya. Menuntunnya turun dari pelaminan agar Naya bisa berganti pakaian.

Hati Rendi benar-benar sakit sekarang. Melihat Naya menjadi tontonan banyak orang dengan pakaian yang tidak layak. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana sakit hatinya Naya saat ini.

"Aku akan membuat perhitungan dengan kalian!" sergah Herni kuat. Agar suaranya tetap bisa terdengar meskipun disana ada musik yang sedang berbunyi.

"Lihat kelakuan kamu, Kendra! Mencari wanita murahan untuk dijadikan istri. Sudah kamu difitnah mau perkosa dia, sekarang dia malah mengadu domba Ibu dan ayahmu!" Menunjuk Naya dan Rendi yang mulai masuk ke dalam rumah.

Tidak senang atas perlakuan Rendi, Herni memaki dan mencaci Naya. Ia juga mengatakan kepada seluruh tamu yang datang jika Kendra menikahi Naya karena jebakan. Ia juga mengatakan Naya tidak lagi perawan saat melakukannya dengan Kendra. Padahal hingga detik ini Kendra belum menyentuh apalagi melakukan hubungan suami-istri, semenjak mereka berdua menikah.

Tamu yang hadir semakin berbisik. Ikut memaki Naya yang selama ini dianggap sebagai bunga desa yang begitu baik dan santun. Hanya saja hidupnya tidak beruntung karena sang ayah suka berjudi, menghabiskan setiap uang yang gadis itu dapatkan dengan susah payah.

Tidak puas dengan gosip tersebut, Herni juga mengatakan Naya sering dijual oleh ayahnya untuk membayar hutang judi. Semakin kencang saja orang-orang menuding Naya sebagai gadis yang tidak baik.

"Maafkan istri saya.. Saya yakin dia pasti tidak akan seperti ini jika tahu bagaimana kamu yang sesungguhnya," ucap Rendi tanpa melepaskan pelukannya dari Naya. Meskipun kini mereka sudah sampai di dalam gudang tempat Naya tinggal.

Naya tidak menjawab. Ia hanya menangis di dalam dekapan Rendi. Menumpahkan segala rasa sakit dan malu yang telah bercampur menjadi satu.

"Kamu sabar, ya. Saya tidak akan pernah membiarkan mereka menyakitimu lagi. Saya juga akan mencari cara agar kamu dan Kendra bisa bercerai. Setelah itu kamu bisa pergi dari sini," sambung Rendi. Semakin mengeratkan pelukannya pada Naya.

Tidak tahu kenapa Rendi sangat menyayangi Naya. Betah berlama-lama di dekatnya, meskipun mereka baru beberapa hari ini saling dekat dan bertegur sapa. Selama ini Rendi hanya sekedar tahu sosok Naya yang dicintai oleh Kendra, anaknya. Diperjuangkan Kendra demi sebuah pembuktian.

Namun, semuanya sirna. Meskipun sepenuhnya bukan karena kesalahan Naya, tapi Kendra tetap menganggap demikian. Menghukum Naya dengan cara mengikuti segala keinginan sang ibu. Membiarkan gadis yang dicintainya itu terpuruk dan tertawakan. Dijadikan pembantu di rumah suaminya sendiri, tanpa ada belas kasih sama sekali.

"Segera ganti baju. Saya tidak ingin kamu mendapatkan masalah baru," ucap Rendi setelah tangisan Naya merdeka. Akan tetapi, tidak ada respon apapun dari Naya. Yang ada hanyalah deru nafas teratur.

Rendi menarik kedua sudut bibirnya. Melihat wajah cantik Naya yang kini tertidur di dalam pelukannya. Wajah yang tetap cantik meskipun tidak ada riasan di wajahnya.

Perlahan, Rendi menggendong Naya dan membaringkannya di kasur. Menyelimutinya dengan selimut tipis, agar bagian atas Naya tertutup dengan baik.

Rendi tercekat. Saat ia menyelimuti Naya. Tatapannya tidak sengaja berhenti di depan dada Naya. Dua gundukan itu mengintip di balik cup dress. Begitu bulat dengan ujung merah muda yang masih kecil. Sungguh gemas dan ingin rasanya Rendi meremas, sedikit.

Rendi menggeleng. Mengusir pikiran yang tak layak diberikan untuk menantunya sendiri. Cepat selimut itu ditutupi ke tubuh Naya hingga bahunya. Tidak lupa, sebuah kecupan di dahi Naya sebagai wujud kasih sayang Rendi kepadanya.

Cukup lama kecupan itu bertahan di dahi Naya. Sebelum turun ke bibirnya yang merah muda. Seakan kehilangan akal, Rendi melumat sedikit bibir merah muda tersebut. Saat rasa sayang berganti dengan rasa aneh yang menuntun benda diantara kedua pahanya mulai menggeliat.

"Ini tidak benar." Rendi menarik diri. Segera bangkit dan beranjak pergi. Menutup pintu gudang dan menguncinya agar tidak ada yang bisa masuk ke sana. Agar Naya bisa keluar, Rendi melemparkan kembali anak kunci dari ventilasi gudang.

"Rasa apa ini?" gumam Naya dalam hati. Meremas kuat selimut yang menutupi tubuhnya. Tangannya yang bebas mengusap jejak basah di kedua belah bibirnya. Bekas lumatan singkat dari Rendi. Jantungnya berdetak kencang, saat remasan halus Rendi masih terasa di salah satu dadanya. Entah rasa apa itu? Kenapa tidak rasanya begitu nikmat, dan tak ada rasa takut jika saja Rendi lepas kendali dan merenggut kegadisannya. Tapi Naya pasrah, kalau memang harus menyerahkan kepada Rendi.

"Tidak, aku sudah gila," maki Naya dalam hati. Begitu sadar rasa yang ada sangat salah dan tidak semestinya ada. Rendi adalah ayah dari Kendra, suaminya. Tidak selayaknya memiliki hubungan lebih dari sekedar menantu dan mertua diantara mereka dua.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status