Namun, belum sempat ia berkedip. Ulu hatinya mendadak terasa nyeri, saat ia menyadari, rupanya tangan kecil Marta masih menempel di sana. Pemiliknya tersenyum melihat tingkah Mahesa yang meringis kesakitan. "Masih ingin lagi?" Gadis itu bahkan bertanya dengan bibir miring tersenyum. Kini, terlihat seberapa kuat seorang Mahesa yang berbadan kokoh. Namun tak memiliki daya apapun, selain kehebatannya di atas ranjang seperti yang dielu-elukan banyak perempuan. "Kau, kau tidak sopan!" Rintih pria itu, kini berpaling dengan kedua tangan menekan perutnya. "Hm? Oh iya? Aku, atau Anda yang tidak sopan?" Tanya Marta. Dalam hatinya mengikik kegirangan melihat pangeran itu. Ia melihat dengan jelas, bagaimana Mahesa berusaha menegakkan badan. Mengayunkan tangan dengan gerakan yang sangat keliru dan terbaca. Maka dengan mudahnya Marta menangkis tangan kokoh itu. Satu pukulan ia hadiahkan ke depan hidung Mahesa. Hanya di depannya saja, dan ia ingin melihat bagaimana reaksi pria itu. Pangeran me
Lama menunggu, Marta hampir memekik karena tiba-tiba ada tangan membekap mulutnya.Ia pikir, itu adalah Panglima yang masih berkeliaran di sekitar sini. Maka dengan cepat Marta mencekal lengan sosok yang dibelakang, dibarengi dengan menginjak ujung kakinya. Dengan sekali hentakan, Marta kini berganti posisi.Ia kini berada di belakang si pria, mencengkeram erat salah satu tangannya di belakang badan. Erangan lirih pun terdengar, dan di saat itu pula Marta menyadari, orang itu adalah Bagas."Bagas, kau?" Marta bergumam, tetapi pria yang ia panggil tadi berbalik badan dengan mengayunkan tangannya. Entah hendak bermaksud apa, tetapi jika Marta tak segera membungkukkan badan, bisa dipastikan tangan kuat tadi menampar wajahnya."Bagas?" Gumaman Marta kali ini disertai wajah panik, kaget melihat sosok yang juga menatap heran padanya."Marta, kau hebat sekali?" Tak hanya gadis itu yang bergumam, Bagas pun sama. "Kau pernah berlatih beladiri?" Tanyanya. Lalu bukannya menjawab, Marta justru sa
Namun, Bagas yang telah lebih dulu berucap. "Sampai jumpa besok, ya." Sementara Marta yang awalnya agak kaget, karena mungkin dikira pria itu akan berbuat apa, kini tersenyum lebar."Iya, aku harus segera beristirahat.""Silahkan." Bagas mengulurkan tangan kanan ke depan, dengan badan membungkuk. Mempersilakan gadisnya segera masuk, cara yang digunakan seperti sedang meminta pada seorang putri.Tak bisa berkata apapun lagi, Marta hanya mengulum senyum dan segera membuka pintu kamar. Jika ia bicara lagi, bisa dipastikan sampai nanti akan tetap berada di sini.Hingga di depan ranjangnya, senyum itu tak kunjung hilang dari wajah Marta. Ia duduk di sana, dengan sorot mata mengarah ke pintu, yakin bahwa Bagas tadi belum beranjak pergi dari sana.Tak bisa lagi melukiskan, betapa senang rasa hatinya saat ini. Bisa dekat dengan seorang pangeran yang memiliki sikap selembut itu, adalah kebanggaan tersendiri. Apalagi jika nanti dirinya benar-benar dipersunting pria ningrat itu.Tapi, mana mungk
"Ya, aku yang akan melatih Pangeran, hingga benar-benar menjadi pria tangguh. Bukan begitu, pangeran?" Tanya Panglima itu."Benar. Agar aku bisa mempersunting gadis kuat sepertimu.""Apa?" Gumam Marta bingung. Mahesa terkekeh, sementara Panglima hanya menarik nafas berat. Seperti tak suka dengan cara Putra Mahkota itu berkelakar."Kenapa kau bingung?" Tanya Mahesa."Ah, tidak. Tapi, apa sepagi ini pangeran akan berlatih? Bahkan suasana masih sangat sepi, apalagi makan pagi juga belum siap.""Ini rumahku, kenapa kau melarangku begitu?" Mahesa malah bertanya, dan Marta tersenyum tipis. Merasa terpojok, ia memilih diam. Bahkan kedua pria di sana tak peduli meski Marta berbalik badan, lalu pergi dari sana."Pangeran," Panggilan Panglima menggerakkan wajah Mahesa yang masih menatap bekas kepergian Marta, pria itu menoleh. "Kenapa, pangeran tiba-tiba ingin berlatih beladiri?" Tanya Panglima keheranan.Yang ditanya pun memicing tak mengerti, "bukannya kau tadi telah mengatakan akan melatihk
"Kenapa kalian tiba-tiba kompak sekali?" Tanya Baginda, dan kedua Pangeran itu kemudian saling menatap aneh. Beberapa saat kedua saudara itu bersitatap, Bagas mendengkus lirih sambil memalingkan wajah. Begitu juga dengan Mahesa, pria itu Berdehem beberapa kali untuk menetralkan rasa hati yang kian tak menentu. "Kami kan bersaudara, Ayah. Sudah seharusnya kompak. Bukan begitu, Kakak?" Bagas yang merasa baik-baik saja itu masih bisa bertanya pada sang Kakak. Sementara yang ditanya mendadak bingung harus menjawab apa. Sebab dirinya terlanjur gugup."I, iya," Jawabnya dengan wajah tertunduk, yang mungkin saja rupa itu bisa dilihat perubahannya oleh semua yang ada di meja ini. Ah, sial! Rutuknya dalam hati. Sedongkol apapun hatinya saat ini, yang bisa ia lakukan hanyalah mengepalkan tangan di bawah meja. "Begini, yang aku herankan adalah, kenapa kalian penasaran sekali dengan pelayan muda itu?" Merasa tak mendapatkan jawaban sesuai harapan, Baginda kembali bertanya. Dua putranya kembal
Panglima jatuh, bersamaan dengan daun pintu kamar Marta terbuka. Pemiliknya menatap tak percaya. Tak hanya gadis itu saja yang kaget, Bagas, Mahesa dan Panglima pun sama. Panglima yang jatuh meringis itu spontan mengabaikan rasa sakit, lalu berdiri tegak. Mungkin malu memperlihatkan kekalahannya di depan seorang perempuan. Apalagi perempuan itu pernah menawan hatinya, meski pada akhirnya harus mengalah. "Ada apa ini?" Tanya Marta kebingungan. Bagas pun ikut bingung hendak menjawab apa. Ia mendekat, melihat wajah sang gadis yang agak pucat, seperti sedang sakit. "Marta," Panggil Mahendra yang berada di sana, di belakang Bagas. Gadis yang awalnya menatap Bagas itu terpaksa harus mengalihkan pandangan ke arah pangeran lain. "Kami tadi hendak menjengukmu, tapi, Tiba-tiba Bagas datang dan menendang Panglima. Kau tau sendiri kan, bagaimana kejadiannya tadi?" Mahesa yang menjawab, justru menimbulkan gurat kebingungan di wajah Marta. Karena baru tadi malam pria itu hampir berbuat jahat p
"Siapa itu?" "Seseorang yang ada di depanku. Ayolah, buka mulutmu." Marta tercengang, karena tiba-tiba di depan mulutnya telah siap sebuah sendok dari tangan Bagas. Ah, pria ini benar-benar romantis. Betapa bahagianya ia mendapatkan sosok seperti ini. Ia tak langsung menerima suapan dari sang pria, melainkan malah menerawang jauh. Diperlakukan seperti ini, siapalah yang tak senang. Namun, baginya hal itu cukup menyiksa. Karena tentu saja, sikap lembut Bagas akan menjadi penghambat bagi niat Marta. Dan ia benar-benar bingung, bagaimana harus bersikap. "Ayolah, kenapa malah melamun?""Eh, maaf. Aku, bisa sendiri," Ucap Marta kikuk, sambil merebut sendok dari tangan Bagas yang kemudian terkekeh. Marta menyuap cepat, kemudian merebut piring dari Bagas dan memakannya dengan tergesa-gesa. Sampai ia tersedak dan terbatuk-batuk. "Marta, Marta. Kau ini aneh sekali?" Bagas bergumam lirih. Tak habis pikir. Ia juga mendekatkan gelas ke depan wajah sang gadis. "Pelan-pelan saja makannya."Se
Menjelang makan malam. Sejak sore tadi hujan turun tak kunjung pergi. Malah sesekali disertai angin dan kilat. Entah kenapa, suasana seperti ini membuat Marta meyakinkan dirinya untuk menuntut balas orang tuanya. Malam hujan begini, jika sudah berada di kamar Baginda, mungkin saja saat yang tepat. Sebab jika malam datang, tak ada yang berani lewat di depan kamar petinggi negeri itu, selain pelayan pribadi dan dua orang penjaga malam. Marta telah memutuskan untuk melakukannya malam nanti. Yah, ia harus segera melakukannya, dan pergi dari tempat ini. Tak peduli dengan beberapa orang yang merebutkan namanya. Tak peduli dengan nama bagas maupun Mahesa, sebab tujuan utamanya di tempat ini adalah, membunuh Baginda Raja. Senyuman penuh rencana terukir pada wajah manis yang menjadi penarik setiap mata lelaki. Hingga ia tersadar, ada bibi Ratih yang memang biasa mengetuk pintu para pelayan yang belum bergerak. "Waktunya bekerja, Marta." Suara wanita itu terdengar nyaring di depan pintu. M