Penampilan Qasam yang sama seperti dulu saat dia pertama kali memasuki rumah Bily sebagai preman, membuat Agatha langsung mengenali pria itu, menantu yang dulu sempat dihina dan dimaki.Qasam mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari kursi, namun tak menemukannya. Kakinya pegal sejak tadi berdiri. Pada akhirnya ia menyandarkan punggung ke dinding tang terbuat dari papan reot itu. Tangannya menyilang di dada."Kenapa kalian kelihatan tegang begitu? Ada apa?" Qasam mengambil satu bungkus kuaci yang terselip di celah dinding. Mungkin diselipkan di situ sebagai stok untuk makanan penghuni rumah ini saat ingin ngemil. Qasam dengan santainya membuka kuaci dan menyantapnya, ia mengernyit menatap wajah Agatha dan Bily silih berganti, wajah- wajah itu masih mengawasinya dengan tegang. "Hei, ayolah, rileks saja, ibu mertua! Tidak perlu memperlihatkan ketegangan begitulah, ayo kita bersantai sejenak." Qasam tersenyum miring. Mulutnya sambil mengunyah kuaci. "Apa maksudmu kemari?" tanya Agath
Agatha panik. Beberapa kali ia mengusap wajah dengan telapak tangan. Keringat muncul ke permukaan wajahnya.Bily tertunduk pasrah. Dia sudah bosan dengan keadaan itu. Dia pun tak mau banyak bicara. Terserah Qasam saja mau berbuat apa. "Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan tentangku," ucap Bily. "Kalau kau mau menghukumku, maka hukum saja. Aku tidak masalah. Memang aku bersalah, sudah bersekongkol dengan istriku dalam kasus ini." "Bagus! Akhirnya kau mengaku juga! Kesalahanmu memang tidak bisa ditoleransi. Kau sudah berusaha turut serta membantu dalam kasus pembunuhan. Apa pun alasannya, itu salah besar dan aku tidak akan mungkin membiarkanmu terbebas dari hukumanku," tegas Qasam. Bily menghela napas panjang. Helaan napas itu terdengar berat sekali. Dia mengusap wajah dan menatap Qasam."Apa kau akan melaporkanku ke polisi?" tanya Bily pasrah. "Lakukanlah. Aku pantas mendapatkannya.""Bersabarlah! Jangan terburu- buru. Aku tidak suka menyerahkan hukuman ke pihak yang berwajib, aku l
Qizha berjalan memegangi payung, berlindung di bawah guyuran hujan deras. Ia baru saja turun dari taksi yang mengantarnya sampai di depan kantor. Tiba- tiba ia dikejutkan oleh air yang nyiprat hebat ke badannya sesaat setelah mobil melintasi air hujan yang menggenang di pinggir jalan. Separuh baju Qizha basah. Kotor oleh tanah. Mobil itu berhenti, kemudian mundur dan berhenti tepat di depannya. Kaca jendela mobil bergerak turun. Wajah Habiba menyembul. Wanita itu duduk di kursi belakang tanpa menoleh kepada Habiba. Ada Husein di sebelahnya. "Ambil itu!" titah Habiba sambil melempar dompet ke tanah. Tak dapat menghindar, Qizha pun memungut dompet itu. Namun, muka Qizha ditampar oleh air yang nyiprat setelah ban mobil yang dinaiki Habiba melintasinya. "Akh!" Qizha terkesiap, wajahnya sempurna tersiram air kotor. Mobil Habiba berhenti di depan. Sengaja menunggu.Qizha menatap mobil itu dengan tatapan tak menentu, sadar bahwa mertuanya sedang menunggu dompet yang dia pungut. langk
Qizha bangkit berdiri menatap sang mertua yang mendekat ke arahnya. Pria itu tampak sangat tenang sembari mengedarkan pandangan ke seisi ruangan. Kemudian tatapan matanya tertuju pada Qizha. Sorot mata itu sangat menusuk."Kau!" Pria gagah itu menunjuk wajah Qizha. Tak merasa gentar, Qizha tetap tenang. Dia sudah siap menerima konsekuensi apa pun. Dihukum dengan sangat menyedihkan oleh Qasam sudah pernah dia alami. Secara tidak langsung, Dia sudah diajarkan bagaimana hidup keras oleh Qasam, juga oleh kehidupannya di masa lalu."Tinggalkan tempat ini!" titah Husein. Qizha tertegun. "Kau dipecat! Kau dilarang menginjakkan kaki lagi di sini. Kau sudah diblacklist!" tegas Husein. Fahri dan Gafar menatap Qizha penuh tanya. Alis keduanya sampai bertaut, mereka penasaran apa yang terjadi pada Qizha hingga dipecat secara sepihak begitu. Kelihatannya jelas masalah pribadi, sebab Qizha tidak punya masalah dalam pekerjaannya. Semua pekerjaan Qizha selalu baik. Qizha bahkan memiliki kinerja,
"Qansha itu putriku. Putri yang ada dalam kandunganku selama sembilan bulan. Putri yang aku lahirkan dengan penuh perjuangan antara hidup dan mati. Putri yang aku besarkan dengan tanganku, tapi begitu tumbuh besar, kamu malah menyingkirkannya," sambung Habiba dengan air mata yang meleleh deras. Apa yang bisa Qizha katakan lagi? Tak ada bukti yang bisa meringankannya. Jika kembali dibuka, cctv juga menjelaskan bahwa Qizha dengan jelas memberikan racun di minuman Qansha. Alasan mentah seperti yang pernah dia jelaskan kepada Qasam tentulah tak akan mengubah apa pun. Bahkan Qasam yang telah menjelaskan pun tak dipercayai oleh kedua orang tuanya. Apa lagi Qizha yang bukan siapa- siapa.Wajar Habiba marah. Dia kehilangan putrinya. Dia terluka. Dan sepengetahuannya, Qizha adalah pelakunya. Bukti akurat sudah menunjukkan bahwa Qizha adalah pelaku. Tak ada yang bisa dielakkan. Jika hanya sebatas kata- kata untuk membela diri, siapa yang akan percaya? Bahkan mungkin Qizha pun akan melakukan
Qizha langsung menggeser tombol hijau pada panggilan teleponnya. Dia tempelkan benda pipih itu ke telinga dengan penuh semangat."Qizha, dimana kau? Aku tadi ke kontrakan dan kau tidak ada." Suara Qasam terdengar bersemangat sekali."Hp mu nggak bisa dihubungi terus. Coba kalau bisa dihubungi, pasti kamu akan dengan mudah menemukanku, kamu bisa telepon aku sejak tadi," sahut Qizha."Hp sialan ini lowbat, sialnya terlalu lama saat di charger di mobil, aku harus menunggu lama sampai terisi dan bisa dihidupkan. Ah, sudahlah tidak perlu bahas itu. Kau dimana? Kita harus bertemu.""Di kontrakan," jawabku lesu. "Kamu ke sini ya sekarang. Temani aku. Aku mau curhat banyak.""Bukan saatnya curhat. Kau harus ke rumahku sekarang!" titah Qasam. "Ke rumah mama Habiba?" tanya Qizha."Ya.""No. Aku tidak mau ke sana. Baru saja mama mengusirku dari kantor, aku dipecat. Dipermalukan. Bukan salah mama, dia adalah korban. Dia kehilangan putrinya. Wajar mama sangat marah kepadaku yang dia kira adalah p
“Maaf, Tuan Qasam. Saya hanya menjalankan perintah dari Ibu. Bu Habiba melarang saya memasukkan Non Qizha!” ucap Satpam dengan sopan.“Aku yang memerintahmu, aku juga yang bertanggung jawab!” ucap Qasam dengan tenang.“Maaf. saya melanggar aturan jika itu saya lakukan. Saya harus mematuhi perintah Bu habiba!” sahut satpam lagi.Qasam tak mau berdebat. Apa yang dikatakan satpam memang benar. Dia adalah pekerja yang wajib mematuhi perintah bosnya. Qasam tak bisa memaksanya untuk membangkang dari peraturan tersebut.Qasam melangkah mendekati pintu gerbang. “Aku tidak akan melibatkanmu dalam hal ini. aku tidak memintamu membukakan gerbang untuk Qizha.”Qasam membuka gerbang dan menganggukkan kepala kepada Qizha, isyarat menyuruhnya masuk.Satpam hanya terbengong. Memang bukan satpam yang membukakan pintu gerbang, tapi Qasam. Pintar juga majikannya itu.“Jika aku keluar pakai mobil, lalu aku masuk lagi membawa Qizha di dalam mobilku, kau tidak tahu apa- apa dalam hal ini,” ucap
"Qizha!" Sayup- sayup Qizha mendengar ada yang memanggil namanya. Tak lama kemudian pundaknya diguncang pelan. "Bangun!"Qizha membuka mata. Samar, ia melihat wajah Qasam di dekatnya. Ia mengucek mata. "Mama dan papa datang! Mereka di depan." Qasam baru saja mengintip ke jendela saat mendengar suara mobil memasuki halaman rumah sesaat setah membunyikan klakson saat berada di gerbang guna meminta satpam membukakan gerbang. Qizha membenarkan posisi duduk. Ia lalu menegakkan punggung. Meski tak tahu apa yang akan dilakukan oleh suaminya, namun ia tetap akan mengikuti semuanya sesuai yang diinginkan sang suami. Entah apa itu.Pintu terbuka sesaat setelah didorong dari luar, Habiba dan Husein melangkah masuk. Wajah Qizha sontak menegang melihat kedatangan mertuanya. Setelah tadi ia diusir oleh Habiba dan Husein dari kantor, sekarang ia malah kembali bertemu di sini. Mungkinkah Habiba akan bisa menerimanya di rumah ini meski hanya sekedar duduk mengobrol saja?"Pa, Ma, thanks sudah be