“Baik. Aku terima tantanganmu.” Niko menerimanya tanpa ada keraguan sedikitpun.Tindakan Niko ini membuat semua orang tercengang. Mereka tidak salah dengar, ‘kan? Siapa yang mengira lelaki itu akan menerima tantangan ini.Apa lelaki itu tersambar petir?“Mas?” mulut Echa ternganga. “Kamu ngomong apa? Jangan dibuat main-mainan.” Echa mengingatkan. Dia merasa ada sesuatu yang salah pada suaminya. Mungkin suaminya itu sedang keadaan emosi sehingga menutup akal pikirannya.Berry awalnya tak terlalu berekspektasi lebih karena tujuannya hanya ingin membungkam Niko yang bermulut besar, tetapi setelah mendengar lelaki itu menerima tantangan ini, tentu dia sangat kegirangan. Hesti pun demikian. Pasalnya Niko bukan hanya mendapatkan malu, tetapi juga akan bercerai dari Echa. Melihat tatapan kedua orang itu yang tak enak, Echa cepat-cepat menyadarkan suaminya kembali, “Mas, aku tahu selera humormu sangat tinggi. Tapi nggak semua hal bisa dibuat candaan. Mas tarik ya omongannya.”Sebelum Niko m
“Niko, ka-kamu siapa sebenarnya?” tanya Hesti.“Kenapa kamu bisa menyuruh bank Bunapin sesuai perintahmu?”Semua orang menatap Niko curiga. Meskipun mereka melihat dengan mata kepala sendiri Niko bisa membuktikan ucapannya, mereka masih bersikeras menganggap Niko adalah mantan seorang pembantu biasa.Lelaki itu tidak mungkin memiliki koneksi orang-orang hebat untuk melakukan sesuai dengan keinginannya.“Oh, temanku kebetulan kerja di sana. Jadi aku minta bantuannya untuk meringankan hutang-hutang keluarga ini,” jawab Niko santai.Hesti bernapas lega. Bukan hanya itu, tapi sangat benci.“Dugaanku benar. Seorang pembantu tetaplah seorang pembantu. Nggak malu, kamu? Teman kamu sudah punya pekerjaan mapan di bank Bunapin. Lah, kamu? Boro-boro punya pekerjaan, beli baju saja setahun sekali.”‘Teman?’ Sementara Berry tidak percaya begitu saja. Pasalnya kalau hanya didasari ikatan pertemanan tidak mungkin bisa mengubah peraturan bank. Apalagi dia sudah bermain mata dengan petinggi bank.Past
“Hallo, kami dari rumah sakit ingin memberitahu bahwa kondisi kesehatan Pak Fikram kembali menurun. Kami berharap pihak keluarga dapat datang ke rumah sakit segera,” jelas seseorang dari seberang telepon.“Apa?!” pekik Hesti–terkejut. “baik, aku akan segera ke sana.”“Papa?” raut wajah Echa begitu cemas. Dia menoleh pada suaminya. “Mas, anterin aku rumah sakit.”Echa menghampiri Hesti untuk meminta ponsel miliknya, “Ma, aku ke sana duluan sama Mas Niko.”“Nggak. Kamu bareng Mama saja,” larang Hesti.“Aku akan mengantarkan kalian.” Berry mencoba memanfaatkan situasi, tapi yang bersangkutan sama sekali tidak tertarik.“Maaf, Ma, aku bareng Mas Niko saja,” balas Echa sambil berbalik pergi.“Echa! Mama bilang bareng Mama!” Hesti berteriak memanggil anaknya.Echa menghiraukan teriakan Hesti. Tanpa menunggu dia keluar rumah dan berangkat duluan ke rumah sakit.Lima belas menit kemudian, Niko dan Echa sudah berada di depan ruangan Fikram di rawat.“Dok, Papa kenapa? Ginjal Papa kembali berma
“Aku boleh …” Echa tampak ragu-ragu mengatakannya. Sejenak dia melirik ke arah Hesti dan Berry yang tersenyum padanya. “aku mau bicara berdua denganmu, Mas.”“Apa yang perlu dibicarakan lagi dengan orang ini, Echa?” kesal Hesti. “Kamu sayang Papamu, ‘kan?”“Maaf, Ma. Sebentar.” Echa segera menarik tangan Niko menjauh dari mereka.Tangan Niko langsung meremas jemari Echa yang lentik, berusaha menenangkan istrinya yang tampak gelisah, “Sabar, ya.” Echa menghembus napas pelan, “Iya, Mas. Tapi aku sangat takut,” katanya sambil menatap suaminya penuh arti. “menurutmu apa aku harus menerima tawaran Berry?”“Jangan, Echa.” Niko dengan cepat menggelengkan kepala. “Berry bukanlah orang baik. Niatnya penuh dusta.”“Aku tahu, Mas. Tapi aku nggak punya pilihan lain. Lagian syaratnya cuma memintaku kerja di perusahaannya. Aku janji akan berhati-hati. Aku nggak akan menerima makanan atau sesuatu dari Berry. Aku juga nggak akan mau diajak pergi berdua dengannya, walaupun itu berhubungan dengan peke
Pesan terkirim. Sialnya lagi, daya baterai ponsel miliknya habis hingga mati.Ting!Di dalam mobil, Echa membuka pesan dari suaminya.‘Mas?’ Echa menatap layar ponsel dengan mata membulat.[JANGAN!]Pesan terakhir disertai emoticon marah dari suaminya itu sangat mengejutkan. Lantas dia pun langsung menghubungi Niko, tetapi nomor suaminya itu nonaktif.Echa menggelengkan kepala tak percaya. Dia tak menyangka Niko seegois ini.“Ada apa?” tanya Hesti yang duduk di sebelah Echa.“Nggak ada apa-apa,” kilah Echa sambil memaksakan senyuman.Namun, dengan cepat tangan Hesti mengambil ponsel milik Echa.“Ma, kembaliin hp Echa.” Echa berusaha merebut ponsel miliknya.Hesti menghiraukan dan membuka benda pipih itu. Ternyata dugaannya benar, perubahan ekspresi anaknya disebabkan oleh pesan dari Niko.“Tuh, ‘kan! Laki-laki ini memang brengsek! Berani sekali dia ngancam anakku seperti ini!” kesal Hesti. Dan tak lama kemudian dia tiba-tiba mengernyit.“Echa, jadi selama ini kamu sering ngebantah Mam
“Mas, maaf aku telah salah paham padamu. Tapi untuk masalah yang satu ini, maaf aku juga tidak bisa menurutimu, mas, ” tegas Echa.“Apa Mas menyusulku untuk membawaku pulang?” tanya Echa. “iya, Mas. Aku akan pulang, tapi setelah urusan kami selesai.”“Aku menunggumu di sini,” jawab Niko.“Terima kasih, Mas.”Dengan menahan rasa kecewanya dalam hati, Echa kembali menghampiri Mamanya. Sementara, Niko mengawasinya dari kejauhan, memastikan istrinya tidak disentuh oleh Berry.***Setelah memastikan Fikram mendapatkan pertolongan pertama, Hesti tiba-tiba berjalan sendirian menghampiri Niko yang masih terduduk di kursi tunggu.“Niko, belikan aku nasi goreng sana,” ketus Hesti sambil melemparkan uang dua puluh ribuan. “cepat, aku lapar.”“Baik, Ma,” jawab Niko sambil memainkan ponsel.“Loh, cepetan! Malah main hp. Nggak ada otak kamu, ya?” sempat-sempatnya Hesti berkata kasar.Niko menunjukkan layar ponsel miliknya, “Aku sudah memesankan Mama nasi goreng terenak di Onfood.”“Lama! Beli di se
“Hueek!” Echa menunduk di atas closet yang terbuka. Niko mendekati dari belakang dan mengusap tengkuk beserta punggungnya.“Sayang, kamu kenapa?” tanya Niko lembut.“Paling aku masuk angin, Mas … Ah, lupa. Aku belum makan dari tadi siang. Mungkin ini penyebabnya,” jawab Echa, lalu membasuh mulutnya.“Duh, habis ini makan, ya.”“Iya, Mas.”“Sepertinya kamu nggak demam,” ucap Niko sambil memegang kening istrinya. “terus perutmu kembung, nggak?”Echa menggeleng pelan, “Nggak, Mas.”Niko berlanjut menekan area ulu hati sang istri, “Sakit?” dan istrinya menggeleng.“Kalau inimu?” Tangan Niko beralih memegang gunung kembar milik istrinya.“Aww …. Hish tanganmu nakal.” Echa tersenyum. Dia membalikkan badan dan menatap suaminya penuh cinta.“Nyeri nggak?”“Sedikit nyeri sih.” Dia melihat Niko mengatupkan mulutnya, melihat raut tampan yang terlihat bingung.Niko mengeryit. Yang terjadi pada Echa saat ini bukan gejala dari sakit maag dan masuk angin, tapi menunjukkan tanda-tanda kehamilan.“Ada
“Niko, mana minumannya?! Si lelet ini, bisa kerja gak, sih? ” Lengkingan suara sang Nyonya seketika memenuhi rumah, membuat pria 20 tahunan itu berjalan cepat menuju ruang tamu sambil membawa nampan dengan tiga gelas di atasnya.Selalu seperti ini, Hesti akan memarahinya tanpa ampun jika tidak sesuai keinginan wanita itu. Padahal, Niko awalnya melamar menjadi sopir di rumah ini untuk membiayai kuliahnya sendiri di kampus yang kebetulan sama dengan Echa–anak Nyonya Hesti. Tapi, perlahan jobdesknya justru terus bertambah akibat sang Nyonya. “Maaf, barusan aku masih meracik minuman, Nyonya,” ucap Niko sembari memindahkan gelas ke atas meja untuk nyonya rumah dan kedua temannya yang baru saja pulang dari acara arisan Ibu-ibu sosialita itu. “Ck! Mau kupecat kamu?”“Udahlah, Hes. Kamu hebat loh bisa menemukan pembantu multitalenta kayak dia!” Salah satu teman sosialita Hesti berbicara. “Penurut kayak seekor anjing,” sambung yang lain dengan nada sarkas. “padahal dia ganteng sih. Tubuh