“Mas, maaf aku telah salah paham padamu. Tapi untuk masalah yang satu ini, maaf aku juga tidak bisa menurutimu, mas, ” tegas Echa.“Apa Mas menyusulku untuk membawaku pulang?” tanya Echa. “iya, Mas. Aku akan pulang, tapi setelah urusan kami selesai.”“Aku menunggumu di sini,” jawab Niko.“Terima kasih, Mas.”Dengan menahan rasa kecewanya dalam hati, Echa kembali menghampiri Mamanya. Sementara, Niko mengawasinya dari kejauhan, memastikan istrinya tidak disentuh oleh Berry.***Setelah memastikan Fikram mendapatkan pertolongan pertama, Hesti tiba-tiba berjalan sendirian menghampiri Niko yang masih terduduk di kursi tunggu.“Niko, belikan aku nasi goreng sana,” ketus Hesti sambil melemparkan uang dua puluh ribuan. “cepat, aku lapar.”“Baik, Ma,” jawab Niko sambil memainkan ponsel.“Loh, cepetan! Malah main hp. Nggak ada otak kamu, ya?” sempat-sempatnya Hesti berkata kasar.Niko menunjukkan layar ponsel miliknya, “Aku sudah memesankan Mama nasi goreng terenak di Onfood.”“Lama! Beli di se
“Hueek!” Echa menunduk di atas closet yang terbuka. Niko mendekati dari belakang dan mengusap tengkuk beserta punggungnya.“Sayang, kamu kenapa?” tanya Niko lembut.“Paling aku masuk angin, Mas … Ah, lupa. Aku belum makan dari tadi siang. Mungkin ini penyebabnya,” jawab Echa, lalu membasuh mulutnya.“Duh, habis ini makan, ya.”“Iya, Mas.”“Sepertinya kamu nggak demam,” ucap Niko sambil memegang kening istrinya. “terus perutmu kembung, nggak?”Echa menggeleng pelan, “Nggak, Mas.”Niko berlanjut menekan area ulu hati sang istri, “Sakit?” dan istrinya menggeleng.“Kalau inimu?” Tangan Niko beralih memegang gunung kembar milik istrinya.“Aww …. Hish tanganmu nakal.” Echa tersenyum. Dia membalikkan badan dan menatap suaminya penuh cinta.“Nyeri nggak?”“Sedikit nyeri sih.” Dia melihat Niko mengatupkan mulutnya, melihat raut tampan yang terlihat bingung.Niko mengeryit. Yang terjadi pada Echa saat ini bukan gejala dari sakit maag dan masuk angin, tapi menunjukkan tanda-tanda kehamilan.“Ada
“Mas kok bisa ada di sini? Tadi ‘kan masih di bawah?” tanya Echa.“Oh aku tadi naik lift Eksekutif,” jawab Niko jujur.“Loh, ‘kan.” Echa heran.“Ehem …” Danang berdehem pelan untuk menarik perhatian suami-istri itu. “aku bertemu suamimu di bawah. Jadi sekalian kami naik satu lift.”Echa mengangguk-angguk, “Oh, gitu.”“Duduklah. Bukankah ada yang mau dibicarakan?” tanya Danang.“Oh, Iya, Pak.” Seketika Echa melangkahkan kakinya. Dia memilih duduk tepat di samping suaminya.Echa menoleh ke samping saat Niko tiba-tiba berdiri, “Mas mau ke mana?” “Urusanku sudah selesai. Sekarang giliranmu. Good luck,” jawab Niko dengan senyuman kecil, kemudian dia beralih menatap Danang. “terima kasih, Pak.”“Sama-sama.”Echa sedikit kesal melihat Niko keluar dari ruangan, padahal dia berharap sang suami menemani dirinya untuk menghadap Danang.“Jadi, gimana? Ada keperluan apa kamu menemuiku?” tanya Danang.DEG!Pertama, Echa menerbitkan senyuman dan mencoba bersikap senormal mungkin, “Pak, maaf sebelum
“Niko, mana minumannya?! Si lelet ini, bisa kerja gak, sih? ” Lengkingan suara sang Nyonya seketika memenuhi rumah, membuat pria 20 tahunan itu berjalan cepat menuju ruang tamu sambil membawa nampan dengan tiga gelas di atasnya.Selalu seperti ini, Hesti akan memarahinya tanpa ampun jika tidak sesuai keinginan wanita itu. Padahal, Niko awalnya melamar menjadi sopir di rumah ini untuk membiayai kuliahnya sendiri di kampus yang kebetulan sama dengan Echa–anak Nyonya Hesti. Tapi, perlahan jobdesknya justru terus bertambah akibat sang Nyonya. “Maaf, barusan aku masih meracik minuman, Nyonya,” ucap Niko sembari memindahkan gelas ke atas meja untuk nyonya rumah dan kedua temannya yang baru saja pulang dari acara arisan Ibu-ibu sosialita itu. “Ck! Mau kupecat kamu?”“Udahlah, Hes. Kamu hebat loh bisa menemukan pembantu multitalenta kayak dia!” Salah satu teman sosialita Hesti berbicara. “Penurut kayak seekor anjing,” sambung yang lain dengan nada sarkas. “padahal dia ganteng sih. Tubuh
Pikiran Niko seketika kosong. Dengan gagap dia menjawab, “Ka-kakek-ku? A-abraham?”“Benar.” Danish mengangguk. “Kakek Pak Niko adalah pengusaha dan tokoh bisnis yang sangat disegani di seluruh dunia. Beliau adalah pendiri Bakhi Group, yang memiliki nilai pasar terbesar di dunia. Semua aset yang dimiliki Pak Abraham, termasuk yang ada di Indonesia sekarang adalah milik Pak Niko. Anda bisa mengambil alih posisi Kakek anda kapan pun anda mau.”Niko tersentak. Dia membayangkan warisan yang akan dia terima. Namun, dia tersadar dan menggelengkan kepala.“Tidak, aku tidak mau!” Niko menjawab tanpa keraguan.“Kenapa?” tanya Danish.“Waktu orang tuaku meninggal, dia tidak merawatku. Dia malah membuangku. Dan sekarang kamu memberitahuku kalau dia kakekku? Lucu! Lucu sekali!” Danish sudah menyangka Niko akan menolak tawaran itu.“Pak Abraham tidak membuang anda. Beliau dulu sengaja mengirim anda ke salah satu asrama putra di kota ini agar anda selamat dari marabahaya,” jelas Danish.Kening Nik
“Mulai detik ini kamu aku pecat!” teriak Echa begitu lantang. Karena masalah yang menimpa keluarganya, untuk pertama kalinya Echa tidak bisa berpikir jernih. Niko jelas merasa heran melihat Echa tidak seperti biasanya, “Maaf, Nona. Apakah Nona tersinggung dengan perkataanku barusan? Sungguh, aku tulus ingin membantu Nona.” “Diam kamu, Niko! Kamu mau menertawakan keterpurukan keluargaku, ‘kan?!” Echa benar-benar tidak terkendali. “Di mana hatimu? Tiga tahun kamu hidup dari belas kasih keluargaku. Dan ini balasanmu? Oh aku tahu … kamu sengaja cari gara-gara biar aku memecatmu? Kamu pikir aku sudah nggak mampu lagi membayar gajimu? Gitu, ‘kan?!” Niko menggelengkan kepala. Rupanya wanita itu telah salah paham. “Tidak, Nona. Aku–” sayangnya saat Niko ingin menjelaskan, wanita itu kembali berteriak penuh amarah. “Turun, kamu! Aku nggak sudi melihatmu lagi!” “Nona–” Niko benar-benar tidak diberi kesempatan untuk bersuara. Terlebih lagi Echa semakin tak terkendali dalam berucap, “Kamu
“Aku akan menikah dengan pembantuku, Niko Pram.”Usai menyetujui penawaran itu, Echa langsung melangkah pergi tanpa pamitan. Hatinya benar-benar hancur, merasa hidupnya sudah berakhir. Dia terpaksa mengorbankan masa depannya demi menyelamatkan nyawa Papanya.Sarah dan Tessa tersenyum penuh kemenangan. “Dengan begini, keluarga mereka tidak akan pernah bangkit meski Om Fikram pulih.”Tampak sekali, keduanya tidak sabar ingin menyaksikan penderitaan Echa dan keluarganya di hari-hari berikutnya.Sementara itu, di tempat lain, Niko sedang berdiri di dekat tembok dan menatap nyalang pada teman-temannya yang menertawakan dirinya. Fenomena ini sudah tak asing baginya. Selama 4 tahun kuliah, cibiran dan hinaan sudah biasa dia dapatkan.“Dasar anak yatim! Aku masih heran, kenapa kamu bisa sampai lulus dari kampus elit ini, padahal kamu cuma pembantu rumah tangga.” Aldi menatap Niko dengan pandangan mengejek.“Mungkin dia ada pekerjaan sampingan jadi gigolo,” sahut Dito yang disambut tawa keras
“Dasar bego! Kamu tuh harusnya bersyukur. Tinggal cium sepatunya Aldi, masa depanmu bakalan lebih baik.” Seorang wanita tiba-tiba menimpali, “4 juta loh, jauh lebih besar dibandingkan ngebabu di keluarganya kak Echa.” Niko menatap nyalang pada teman-temannya, “Masa depan tidak ada yang tahu. Jangan suka menghina orang lain, mungkin saja orang yang kalian hina masa depannya jauh lebih baik dari kalian!” Ucapan Niko malah disambut tawa keras dengan tatapan menghina dari teman-temannya. “Memotivasi diri sendiri itu penting, tapi sadar diri itu jauh lebih penting,” ucap Aldi penuh ejekan. “Atau kemiskinan telah membuatmu jadi punya gejala gangguan jiwa?” Mereka kembali tertawa. Sayangnya, mereka salah besar mengira Niko kali ini diam saja. Mood-nya sudah buruk akibat pertengkarannya dengan Echa tadi. Belum lagi, wanita tadi membawa-bawa keluarga wanita itu. “Apa kalian tidak bosan melakukan hal ini kepadaku?” “Bosan? Tidak ada kata bosan untuk membully makhluk sampah sepertimu.”