"Maaf, Pak. Tadi Pak Agra meminta di ambilkan teh, belum sampai ruangannya, saya terpeleset. Saya ambil pelnya dan ada telepon jadi saya taruh. Sebentar saya ambil," ujar Zea. Baru satu langkah, Gio sudah menahan lengan Zea. "Ini bukan pekerjaan kamu, telepon saja OG dan kamu jangan sekali pun membuat minum untuk Agra. Yang kamu layani di sini hanya saya, dan tidak untuk karyawan lain termaksud Agra dan Aleta! Mengerti?" Suara Gio semakin meninggi. Bagaiman pun, Zea merasa jantungnya seperti akan copot. Baru satu hari bekerja sudah dibuat tak betah. "Me--mengerti, Pak."Gio masuk ke ruangannya dengan langkah cepat, lalu dia menghubungi Bu Sena untuk datang ke ruangannya. "Kenapa hari ini sial sekali! Belum lagi kenapa Bu Sena menempatkan Zea di depan ruanganku? Bagaimana aku bisa fokus?" Gio bergumam sendiri. Tidak lama Bu Sena datang dan menghadap Gio. Wanita yang sudah lama bekerja di HRD PT Angkasa. "Ada apa Pak Bos?" Bu Sena langsung bertanya. Dirinya berpikir tidak ada yang
Zea pulang ke rumah dengan membeli mie rebus dua bungkus. Dia berharap suaminya pulang, tapi sejak semalam ponselnya tak bisa dihubungi. Rasa lapar pun lenyap memikirkan ke mana dan bagaimana bisa tukang rokok di dekat pembangunan gedung mengatakan tidak ada pekerja di sana dan sudah beberapa Minggu tak ada pekerja. Langkah Zea terhenti saat melihat Farhat di depan gerbang. Sepertinya dia mau ke luar membeli sesuatu. Namun, terhenti saat miajt Zea memasuki gerbang. Zea berusaha melewatinya, tapi pria itu menahannya. "Lepas!" Zea berontak tak Sudi tangannya di sentuh pria berengsek seperti Farhat."Jangan judes gitu sih. Aku mau bicara," ujar Farhat. "Kamu lupa kalau kita dulu saling cinta?" Farhat tersenyum kali ini setelah beberapa lama tak pernah menampakkan senyum itu. Iya, setelah Zea menikah dengan Gio. Farhat ingin sekali merusak pernikahan itu karena dirinya tak terima Zea begitu cepat mendapatkan penggantinya. Tapi, dia tidak sadarkan diri jika dirinya yang membuat kesalah
"Kenapa?" tanya Gio. Zea mengernyitkan dahi, apa mungkin? Zea berpikir keras jika memang aroma tubuh Gio itu pernah diendusnya. Zea menggeleng, mana mungkin pikirnya. Aroma ini sama persis dengan aroma tubuh Bosnya di kantor. Pak Gior yang tadi begitu dekat dengannya, hingga dirinya bisa mencium aroma parfum milik pria itu. "Kenapa, Sayang?" "Mas mandi dulu deh, biar segar," ujar Zea. Gio tersenyum, sebenernya dirinya sudah mandi tadi sewaktu akan pulang ke rumah Zea. Namun, mungkin pikiran sang istri dirinya memang benar-benar baru pulang bekerja. Agar meyakinkan Zea, Gio pun beranjak ke kamar mandi. Beruntung kamar mandi mereka berada di dalam kamar. Zea duduk menunggu Gio selesai mandi, dia kembali mengingat perlakuan Bosnya itu. Lalu, sedikit berandai-andai jika .... Zea kembali menggeleng. Dia tidak mau mengecewakan Gio, suaminya. Walau berwajah tidak tampan, tapi Gio ternyata bertanggung jawab padanya. Bukti tanggung jawab Gio adalah membelanya dan memberi uan
"Pa, Ma, apa benar rumah ini bukan milik kalian?" tanya Dara. Kedua orang tua Dara saling menatap. Apa yang akan di katakan oleh mereka, selama ini mereka menutup semua tentang rumah juga harta milik Zea. "Jangan dengarkan Zea, kalian kembali makan saja. Jangan dengarkan apa katanya." Bu Layla meminta Dara membawa Farhat keluar. Dia takut sang menantu tahu lebih banyak. Dara pun mengajak sang suami keluar dari rumah. Sementara, Zea berboncengan motor dengan suaminya. Gio berhenti di sebuah tukang bubur. Mereka makan lebih dahulu sebelum Zea masuk kantor. "Ze, benar rumah itu milik mama kamu?" "Iya, harusnya mereka tahu diri.""Kenapa mereka malah jahat sama kamu?"Zea hanya mengangkat bahu. Sejak awal menikah dengan wanita baru, sang ayah pun berubah menjadi tak sehangat dulu. "Bukan hanya harta mama yang mereka ambil, tapi kehangatan Ayah. Bahkan, mereka memanggil ayahku dengan sebutan Papa. Katanya enggak mau sama kaya aku. Sampai Farhat pun Dara rebut." Zea mengaduk-aduk bu
Gio menatap pria tuanya yang sering menghinanya. Bahkan, kini mereka malah berharap jika saham akan diberikan pada mereka. Jangan harap dirinya akan memberikan begitu saja investasi yang banyak. Lalu, bergantian dia menatap rekan bisnis lamanya. Pak Abdul, dia kira pria itu adalah pria baik hati yang ramah pada semua orang. Nyatanya, malah sejenis dengan Pak Mansyur. Atau memang dia tidak tahu siapa besannya itu. "Pak Gior, apa kabar?" tanya Pak Abdul menjabat tangannya. "Tentunya baik." Seulas senyum terpancar di bibir Gio. Gio pun menoleh ke arah Pak Mansyur.Pak Abdul memperkenalkan Pak Mansyur lalu mengatakan jika mereka adalah besan. Pak Mansyur hendak menyalami tangan Gio, tapi dia ingat saat pria tua itu menghinanya. "Tak usah bersalaman. Saya tidak terbiasa dengan orang baru yang tidak saya kenal lama," ujar Gio.Pak Mansyur menarik tangannya lagi pria itu merasa di permalukan. Pak Abdul merasa tidak enak dengan apa yang di lakukan Gio. Namun, mereka tak bisa berkata apa p
Gio menarik napas panjang, pertanyaan Arga membuat pria itu bimbang. Apa harus semakin banyak orang tahu jika Zea adalah istrinya. Wanita yang tidak sengaja dia nikahi saat genting kala itu."Katakan, Gior. CEO PT Angkasa. Ada apa Big Bos ini sampai semarah ini? Zea, siapa dia?" "Dia istriku."Arga sontak terkesiap mendengar penjelasan dari sang bos besar. Mana mungkin, hal sepenting itu dirinya tidak tahu. Lalu, bagaimana bisa pria dingin yang terkenal dengan gosip tak suka dengan wanita ternyata sudah menikah dengan wanita yang sama sekali jauh dari pikirannya."Kamu gila!" teriak Arga."Iya mungkin aku gila. Aku pikir, semua akan berakhir setelah itu. Namun, saat aku masuk ke kehidupan Zea, aku tidak bisa keluar begitu saja.""Astaga." Arga menepuk jidatnya mendengar apa yang di katakan Gio. Gio pun membanting tubuh di sofa dengan tangan memijit keningnya yang mulai terasa pening. "Ceritakan bagaimana bisa?" Arga duduk di samping Gio, pria itu benar-benar menunggu jawaban darin
"Salah kamu jadi resepsionis pak Gior. Kamu tahu di sini hanya aku yang boleh dekat dengan dia!" Zea tertawa, lucu baginya melihat Aleta yang berbicara seperti itu. Dirinya bekerja hanya untuk mencari uang bukan untuk menggoda sang bos. Lagi pula dirinya juga sudah memiliki suami bukan, walaupun memang suaminya tidak tampan, tetapi ia tidak akan pernah menghianati suaminya. Cukup dirinya saja yang merasakan perselingkuhan itu, ia tidak mau orang lain merasakan bagaimana sakitnya diselingkuhi. Gio walaupun lelaki itu tidak tampan dan juga tidak bergelimang harta, tetapi ia berjanji untuk setia. Dirinya tidak akan pernah menghianati janji suci yang sudah diikrarkan oleh keduanya. Mungkin sekarang hanya suaminya lah yang menjadi sandaran ternyaman untuk dirinya, ayahnya tak peduli padanya, kasih sayangnya sudah hilang mungkin di mata ayahnya sekarang ia memang tidak berguna sama sekali. "Aku sudah memiliki suami. Jadi jangan takut," ungkap Zea. Zea menatap sinis ke arah Aletta. Dia m
"Makanya jadi perempuan jangan sombong, Zea. Pas dilamar juragan teh ditolak, malah milih sama pria miskin dan jelek. Susah sendiri kan sekarang?” "Bayangkan coba kalau punya anak. Pasti di mukanya ada tompel juga, kayak bapaknya.” “Lah, iya. Aduh.” Tawa berkumandang. “Mendingan juragan teh waktu itu. Meski tua, tapi kan dia kaya.” “Bener. Yang ini juga, meski miskin, harusnya ganteng gitu. Paling nggak enak dilihat. Bukannya cupu dan lusuh begini.” “Kayaknya benar kata tetangga. Si Zea diguna-guna, makanya mau sama suaminya.” “Heh, guna-guna juga butuh duit. Suaminya kan miskin!” Zea hanya diam saja sembari menyiapkan nasi untuk Gio, suaminya. Ia mencoba tidak memedulikan ocehan ibu tiri dan kedua saudara sambungnya, sekalipun ia tahu dengan pasti bahwa mereka tengah mengejek sang suami yang baru saja menikahinya dua minggu yang lalu. Pernikahan Zea memang termasuk dadakan dan tiba-tiba. Ia pun sebenarnya belum terlalu lama mengenal Gio. Hanya saja, pria itu pernah menyelamatka