"Pa, Ma, apa benar rumah ini bukan milik kalian?" tanya Dara. Kedua orang tua Dara saling menatap. Apa yang akan di katakan oleh mereka, selama ini mereka menutup semua tentang rumah juga harta milik Zea. "Jangan dengarkan Zea, kalian kembali makan saja. Jangan dengarkan apa katanya." Bu Layla meminta Dara membawa Farhat keluar. Dia takut sang menantu tahu lebih banyak. Dara pun mengajak sang suami keluar dari rumah. Sementara, Zea berboncengan motor dengan suaminya. Gio berhenti di sebuah tukang bubur. Mereka makan lebih dahulu sebelum Zea masuk kantor. "Ze, benar rumah itu milik mama kamu?" "Iya, harusnya mereka tahu diri.""Kenapa mereka malah jahat sama kamu?"Zea hanya mengangkat bahu. Sejak awal menikah dengan wanita baru, sang ayah pun berubah menjadi tak sehangat dulu. "Bukan hanya harta mama yang mereka ambil, tapi kehangatan Ayah. Bahkan, mereka memanggil ayahku dengan sebutan Papa. Katanya enggak mau sama kaya aku. Sampai Farhat pun Dara rebut." Zea mengaduk-aduk bu
Gio menatap pria tuanya yang sering menghinanya. Bahkan, kini mereka malah berharap jika saham akan diberikan pada mereka. Jangan harap dirinya akan memberikan begitu saja investasi yang banyak. Lalu, bergantian dia menatap rekan bisnis lamanya. Pak Abdul, dia kira pria itu adalah pria baik hati yang ramah pada semua orang. Nyatanya, malah sejenis dengan Pak Mansyur. Atau memang dia tidak tahu siapa besannya itu. "Pak Gior, apa kabar?" tanya Pak Abdul menjabat tangannya. "Tentunya baik." Seulas senyum terpancar di bibir Gio. Gio pun menoleh ke arah Pak Mansyur.Pak Abdul memperkenalkan Pak Mansyur lalu mengatakan jika mereka adalah besan. Pak Mansyur hendak menyalami tangan Gio, tapi dia ingat saat pria tua itu menghinanya. "Tak usah bersalaman. Saya tidak terbiasa dengan orang baru yang tidak saya kenal lama," ujar Gio.Pak Mansyur menarik tangannya lagi pria itu merasa di permalukan. Pak Abdul merasa tidak enak dengan apa yang di lakukan Gio. Namun, mereka tak bisa berkata apa p
Gio menarik napas panjang, pertanyaan Arga membuat pria itu bimbang. Apa harus semakin banyak orang tahu jika Zea adalah istrinya. Wanita yang tidak sengaja dia nikahi saat genting kala itu."Katakan, Gior. CEO PT Angkasa. Ada apa Big Bos ini sampai semarah ini? Zea, siapa dia?" "Dia istriku."Arga sontak terkesiap mendengar penjelasan dari sang bos besar. Mana mungkin, hal sepenting itu dirinya tidak tahu. Lalu, bagaimana bisa pria dingin yang terkenal dengan gosip tak suka dengan wanita ternyata sudah menikah dengan wanita yang sama sekali jauh dari pikirannya."Kamu gila!" teriak Arga."Iya mungkin aku gila. Aku pikir, semua akan berakhir setelah itu. Namun, saat aku masuk ke kehidupan Zea, aku tidak bisa keluar begitu saja.""Astaga." Arga menepuk jidatnya mendengar apa yang di katakan Gio. Gio pun membanting tubuh di sofa dengan tangan memijit keningnya yang mulai terasa pening. "Ceritakan bagaimana bisa?" Arga duduk di samping Gio, pria itu benar-benar menunggu jawaban darin
"Salah kamu jadi resepsionis pak Gior. Kamu tahu di sini hanya aku yang boleh dekat dengan dia!" Zea tertawa, lucu baginya melihat Aleta yang berbicara seperti itu. Dirinya bekerja hanya untuk mencari uang bukan untuk menggoda sang bos. Lagi pula dirinya juga sudah memiliki suami bukan, walaupun memang suaminya tidak tampan, tetapi ia tidak akan pernah menghianati suaminya. Cukup dirinya saja yang merasakan perselingkuhan itu, ia tidak mau orang lain merasakan bagaimana sakitnya diselingkuhi. Gio walaupun lelaki itu tidak tampan dan juga tidak bergelimang harta, tetapi ia berjanji untuk setia. Dirinya tidak akan pernah menghianati janji suci yang sudah diikrarkan oleh keduanya. Mungkin sekarang hanya suaminya lah yang menjadi sandaran ternyaman untuk dirinya, ayahnya tak peduli padanya, kasih sayangnya sudah hilang mungkin di mata ayahnya sekarang ia memang tidak berguna sama sekali. "Aku sudah memiliki suami. Jadi jangan takut," ungkap Zea. Zea menatap sinis ke arah Aletta. Dia m
"Makanya jadi perempuan jangan sombong, Zea. Pas dilamar juragan teh ditolak, malah milih sama pria miskin dan jelek. Susah sendiri kan sekarang?” "Bayangkan coba kalau punya anak. Pasti di mukanya ada tompel juga, kayak bapaknya.” “Lah, iya. Aduh.” Tawa berkumandang. “Mendingan juragan teh waktu itu. Meski tua, tapi kan dia kaya.” “Bener. Yang ini juga, meski miskin, harusnya ganteng gitu. Paling nggak enak dilihat. Bukannya cupu dan lusuh begini.” “Kayaknya benar kata tetangga. Si Zea diguna-guna, makanya mau sama suaminya.” “Heh, guna-guna juga butuh duit. Suaminya kan miskin!” Zea hanya diam saja sembari menyiapkan nasi untuk Gio, suaminya. Ia mencoba tidak memedulikan ocehan ibu tiri dan kedua saudara sambungnya, sekalipun ia tahu dengan pasti bahwa mereka tengah mengejek sang suami yang baru saja menikahinya dua minggu yang lalu. Pernikahan Zea memang termasuk dadakan dan tiba-tiba. Ia pun sebenarnya belum terlalu lama mengenal Gio. Hanya saja, pria itu pernah menyelamatka
"Atau apa, Bu?" "Kupaksa Gio Menceraikan kamu dan kamu harus menikah dengan juragan teh!" Sang ibu mengancam Zea. Zea meremas ujung baju. Dia merasa jengkel dan kesal. Apa yang ibunya katakan membuat dirinya geram. "Bu, cukup! Apa salah aku? Kalian kenapa selalu memperlakukan aku tidak baik. Kalian pilih kasih, harusnya aku yang mendapatkan kasih sayang." Sebuah tamparan mengenai pipi Zea, Bu Layla tidak suka jika anak sambungnya ibu membantahnya. Untuk apa membicarakan kasih sayang jika tidak ada keuntungan. "Tampar saja lagi, aku sudah kebal. Bahkan, aku merelakan calon suami aku untuk Dara. Hanya karena Dara menyukai dia." "Heh, jaga mulut kamu! Farhat itu cintanya sama Dara. Lagi pula keluarga Farhat itu enggak suka sama kamu yang enggak berpendidikan. Dara lulusan S1, berpendidikan. Jauh sama kamu yang lulusan SMA doang," ujar Bu Layla. Zea tersenyum miris sembari memegangi pipinya yang merah. Lucu sekali ibu sambungannya itu, mentertawakan hal yang memang sudah d
"Non, ngapain di sini?" tanya Bi Romlah. "Biasa Bi, mereka kalau enggak nyuruh aku sehari aja kayanya enggak bisa. Apalagi Ibu, senang banget bikin aku repot." Zea menggerutu kesal. "Yang sabar, Non." Zea hanya tersenyum, dia senang berada di dekat Bi Romlah. Asisten pribadi di rumahnya yang sudah dianggap seperti ibu kandung. Bahkan, dulu saat dia sakit Bi Romlah yang merawatnya. "Aku juga enggak tahu kenapa nasib aku kaya gini." Sembari memotong sayur, Zea terus meluapkan isi hatinya. Terlebih saat semua orang mengejek suaminya yang katanya jelek dan hanya kuli bangunan. Zea paham, suaminya jauh dari kata tampan. Dia pun menyadari, tapi setidaknya jangan menghina. "Eh, Zea keluar dulu. Bantuin di depan, tuh ibu nya Farhat sebentar lagi datang." "Bu, di sini belum kelar," tolaknya. "Cepat sudah." Ditariknya Zea ke ruang tamu, dia melihat suaminya pun sudah ada di sana membantu ayahnya menyapu dan mengepel. "Aduh, Bang ngapain si," ujar Zea yang langsung m
Pagi-pagi sekali Zea sudah membuat sarapan , Gio memintanya membuatkan bekal telur ceplok dan nasi karena katanya hari ini ada pekerjaan pagi-pagi sekali. Dia tidak mau membuat suaminya kelaparan pagi hari dan sepertinya pekerjaan Gio akan sangat melelahkan. Zea sejak malam sudah membawa telur satu butir ke kamar agar tidak di sembunyikan oleh Ibu sambungnya atau siapa pun yang ada di rumah itu. Pengalaman yang pernah ada, di rumah sendiri seolah-olah dia yang sendang menumpang di rumah itu. "Non, masih pagi tumben?" Bibi bertanya heran. "Mas Gio meminta aku membuatkan dia telur dadar, mau bawa ke tempat kerjanya. Mungkin ada ngerapiin rumah." Zea tersenyum sembari mengambil minyak untuk menggoreng. Melihat Zea yang seperti bukan di rumahnya sendiri, Bibi merasa iba. Harusnya Zea itu menjadi Nona yang hanya duduk dan dilayani. Namun, semua berakhir saat ibunya meninggal dan ayah kandungnya membawa ibu sambung yang menyeramkan seperti Bu Layla. "Heh, Zea. Kamu lagi ngapain