"Makanya jadi perempuan jangan sombong, Zea. Pas dilamar juragan teh ditolak, malah milih sama pria miskin dan jelek. Susah sendiri kan sekarang?”
"Bayangkan coba kalau punya anak. Pasti di mukanya ada tompel juga, kayak bapaknya.” “Lah, iya. Aduh.” Tawa berkumandang. “Mendingan juragan teh waktu itu. Meski tua, tapi kan dia kaya.” “Bener. Yang ini juga, meski miskin, harusnya ganteng gitu. Paling nggak enak dilihat. Bukannya cupu dan lusuh begini.” “Kayaknya benar kata tetangga. Si Zea diguna-guna, makanya mau sama suaminya.” “Heh, guna-guna juga butuh duit. Suaminya kan miskin!” Zea hanya diam saja sembari menyiapkan nasi untuk Gio, suaminya. Ia mencoba tidak memedulikan ocehan ibu tiri dan kedua saudara sambungnya, sekalipun ia tahu dengan pasti bahwa mereka tengah mengejek sang suami yang baru saja menikahinya dua minggu yang lalu. Pernikahan Zea memang termasuk dadakan dan tiba-tiba. Ia pun sebenarnya belum terlalu lama mengenal Gio. Hanya saja, pria itu pernah menyelamatkannya saat Zea dikejar anak buah juragan teh dan dipaksa menikah, hingga akhirnya Zea memilih untuk menerima lamaran Gio dan menikahi pria tersebut. Toh, Zea berpikir bahwa lebih baik ia begini daripada menjadi istri keempat dari juragan teh tersebut. "Ze, Mas langsung berangkat saja ya. Sudah siang,” ucap Gio tiba-tiba, menyadarkan Zea bahwa ia sempat melamun. “Nanti Mas ditegur Bos.” “Oh, iya, Bang. Nggak makan di rumah ya?” Zea buru-buru menyelesaikan kotak bekal untuk suaminya. “Ini, Bang.” Gio mengangguk. Pria itu kemudian bangkit dan mengulurkan tangan pada ayah Zea, berniat mencium punggung tangan sang ayah mertua sembari pamit. Namun, pria paruh baya itu menolak. Tidak hanya itu, ibu tiri Zea pun melakukan hal yang sama. “Nggak usah cium-cium!” sentak sang ayah. "Iya, Gio. Jangan pamit cium tangan. Jalan aja sana," ujar Bu Layla, ibu tiri Zea. “Saya nggak mau kulit saya kena tompel kamu.” “Ayah, Ibu. Kalian kenapa sih?” kata Zea. Ia merasa bersalah. Menurut dia, penghinaan pada suaminya tersebut berlebihan. “Kalian sudah menjadi orang tua Gio juga. Suamiku hanya ingin cium tangan buat pamit.” "Kalau mau pamit, ya pamit aja. Pakai mulut aja kan bisa." Kini Pak Mansyur, ayah Zea ikut bicara. Sejak menikah dengan istri keduanya, ayah Zea selalu saja sepemikiran dengan ibu sambung Zea tersebut. Menurut, dan ikut apa yang dikatakan Bu Layla. Awalnya, Zea pernah berpikir bahwa pernikahan kedua sang ayah akan membawa kebahagian untuknya. Apalagi, ibu kandung Zea sudah lama meninggal. Namun, ternyata dugaan Zea salah. Tidak hanya Zea makin tersisih, sang ayah juga selalu lebih memprioritaskan kedua putri sambungnya daripada Zea selaku anak kandungnya sendiri. “Tapi, Yah–” "Ze, sudah. Biarkan saja." Gio menarik tangan istrinya keluar rumah. “Mas tidak apa-apa.” "Mas, maaf,” ucap Zea. Wanita itu menunduk. “Kalau bukan karena Zea yang membawa Mas masuk dalam keluarga Zea, mungkin Mas enggak akan sering dihina begini." Gio menepuk pundak sang istri, lalu tersenyum. "Tidak masalah. Mas benar-benar tidak apa-apa,” ucap pria itu dengan suara tenangnya. “Atau … apa Zea mau pindah saja? Kita pergi ke kontrakan? Kalau Zea mau, Mas carikan kontrakan kecil." Zea bungkam. Seketika dia berpikir, jika mereka pindah keluar rumah keluarganya, pasti kebutuhan akan tambah banyak. Apalagi saat ini Zea masih ada tanggungan dan harus bekerja untuk melunasi utang sang ayah karena dirinya tak jadi menikah dengan juragan teh yang dikoar-koarkan oleh ibu tirinya. "Zea enggak masalah di sini. Uang Mas simpan saja.” Akhirnya Zea menolak. “Oh ya, Mas. Bukannya Mas harus segera berangkat? Nanti dimarahi bos Abang.” Gio tiba-tiba mengulurkan tangannya, membuat Zea bingung kenapa pria itu masih berdiri dan justru memberikan tangannya. "Walau pernikahan kita di atas dadakan, apa Zea nggak mau mencium tangan Mas?" Seketika, Zea tersipu malu. "Eh, iya,” gumam wanita itu. Dengan segera, Zea langsung mencium takzim tangan Gio. Sang suami pergi dengan mengendari motor butut, meninggalkan Zea yang masih berdiri di halaman sampai Gio menghilang dari pandangan. Baru setelah itu, Zea kembali ke dalam rumah. Rupanya, di dalam, para anggota keluarganya sudah selesai makan. "Rapikan dulu meja makan!" titah ibu tirinya saat melihat Zea. "Bu, kan ada Sella. Aku mau berangkat kerja, sudah siang ini," tolak Zea halus, mengusulkan agar saudara sambungnya saja yang beres-beres untuk kali ini. Toh, setiap harinya, Zea lah yang melakukan hal tersebut. "Ih, aku juga mau berangkat kerja.” Sella langsung menukas. “Aku tuh kerja di kantoran. Gaji besar, penampilan harus selalu rapi dan wangi. Kalau kamu kan nggak masalah.” “Benar, Ze. Sella kan sayang kalau dipecat,” imbuh sang ibu tiri. “Kalau kamu, cuma pegawai toko aja. Bisalah cari kerja lagi kalau kena tegur atau pecat.” Mendapat dukungan, adik sambungnya langsung menyambar tas lalu pamit pada ayah dan ibunya. lalu berbalik badan dan mengejek Zea. Sama halnya dengan sang kakak, dia pun gegas pergi dengan suaminya. Ditinggalkan begitu, Zea hanya menarik napas lalu membersihkan meja makan dan mencuci piring. Dukanya sebagai anak kandung sang ayah malah seperti anak pungut atau justru pembantu. "Zea, listrik bulan ini kamu yang bayar, ya kan kamu sudah menikah.” Tiba-tiba Bu Layla berucap. “Jadi, kalau mau tinggal di sini enggak gratis.” "Loh, kan Zea sudah bayar utang ayah. Masa harus bayar listrik juga, Bu?” balas Zea, terkejut. “Kak Dara juga harus bayar.” Sesungguhnya, Zea kesal karena semua menjadi dia yang menanggung. Harusnya Kakak dan adiknya juga ikut andil. Saat sang ayah masih kaya raya saja yang menikmatinya mereka bertiga. Setelah jatuh miskin, dirinya yang harus banting tulang bayar utang. Namun, Zea masih berusaha menahan kekesalan agar tetap di hatinya saja. "Dara kan sedang hamil, dia butuh uang banyak untuk persiapan lahiran." "Farhat banyak uang Bu, dia anak orang kaya. Kerja di perusahaan bagus, masa enggak mampu bayar listrik yang hanya lima ratus ribu." Zea berusaha untuk membela diri. "Sudah jangan banyak protes. Pokoknya bulan ini kamu yang bayar, atau–" "Atau apa Bu?" "Kupaksa Gio Menceraikan kamu dan kamu harus menikah dengan juragan teh!""Atau apa, Bu?" "Kupaksa Gio Menceraikan kamu dan kamu harus menikah dengan juragan teh!" Sang ibu mengancam Zea. Zea meremas ujung baju. Dia merasa jengkel dan kesal. Apa yang ibunya katakan membuat dirinya geram. "Bu, cukup! Apa salah aku? Kalian kenapa selalu memperlakukan aku tidak baik. Kalian pilih kasih, harusnya aku yang mendapatkan kasih sayang." Sebuah tamparan mengenai pipi Zea, Bu Layla tidak suka jika anak sambungnya ibu membantahnya. Untuk apa membicarakan kasih sayang jika tidak ada keuntungan. "Tampar saja lagi, aku sudah kebal. Bahkan, aku merelakan calon suami aku untuk Dara. Hanya karena Dara menyukai dia." "Heh, jaga mulut kamu! Farhat itu cintanya sama Dara. Lagi pula keluarga Farhat itu enggak suka sama kamu yang enggak berpendidikan. Dara lulusan S1, berpendidikan. Jauh sama kamu yang lulusan SMA doang," ujar Bu Layla. Zea tersenyum miris sembari memegangi pipinya yang merah. Lucu sekali ibu sambungannya itu, mentertawakan hal yang memang sudah d
"Non, ngapain di sini?" tanya Bi Romlah. "Biasa Bi, mereka kalau enggak nyuruh aku sehari aja kayanya enggak bisa. Apalagi Ibu, senang banget bikin aku repot." Zea menggerutu kesal. "Yang sabar, Non." Zea hanya tersenyum, dia senang berada di dekat Bi Romlah. Asisten pribadi di rumahnya yang sudah dianggap seperti ibu kandung. Bahkan, dulu saat dia sakit Bi Romlah yang merawatnya. "Aku juga enggak tahu kenapa nasib aku kaya gini." Sembari memotong sayur, Zea terus meluapkan isi hatinya. Terlebih saat semua orang mengejek suaminya yang katanya jelek dan hanya kuli bangunan. Zea paham, suaminya jauh dari kata tampan. Dia pun menyadari, tapi setidaknya jangan menghina. "Eh, Zea keluar dulu. Bantuin di depan, tuh ibu nya Farhat sebentar lagi datang." "Bu, di sini belum kelar," tolaknya. "Cepat sudah." Ditariknya Zea ke ruang tamu, dia melihat suaminya pun sudah ada di sana membantu ayahnya menyapu dan mengepel. "Aduh, Bang ngapain si," ujar Zea yang langsung m
Pagi-pagi sekali Zea sudah membuat sarapan , Gio memintanya membuatkan bekal telur ceplok dan nasi karena katanya hari ini ada pekerjaan pagi-pagi sekali. Dia tidak mau membuat suaminya kelaparan pagi hari dan sepertinya pekerjaan Gio akan sangat melelahkan. Zea sejak malam sudah membawa telur satu butir ke kamar agar tidak di sembunyikan oleh Ibu sambungnya atau siapa pun yang ada di rumah itu. Pengalaman yang pernah ada, di rumah sendiri seolah-olah dia yang sendang menumpang di rumah itu. "Non, masih pagi tumben?" Bibi bertanya heran. "Mas Gio meminta aku membuatkan dia telur dadar, mau bawa ke tempat kerjanya. Mungkin ada ngerapiin rumah." Zea tersenyum sembari mengambil minyak untuk menggoreng. Melihat Zea yang seperti bukan di rumahnya sendiri, Bibi merasa iba. Harusnya Zea itu menjadi Nona yang hanya duduk dan dilayani. Namun, semua berakhir saat ibunya meninggal dan ayah kandungnya membawa ibu sambung yang menyeramkan seperti Bu Layla. "Heh, Zea. Kamu lagi ngapain
Zea bingung dengan suaminya, mungkin Gio tidak mau dirinya terlalu lelah dengan pekerjaan baru. Namun, Zea mencoba menangkan suaminya jika dirinya akan baik-baik saja dan tidak lelah. Demi mendapatkan tambahan uang, bahkan agar tidak di hina terus menerus. Jika dia bekerja di tempat bagus pun mungkin gaji akan lebih besar. "Mas, kenapa?" Zea bertanya karena melihat wajah Gio yang berbeda. "Eh, enggak. Kaget aja, bukannya itu kantor besar, kamu mau melamar mau menjadi apa?" tanya Gio. Sedikit masam, Zea pun malah terdiam. Mendengar ucapan suaminya membuat dia sadar jika memang gedung besar itu tempat orang pintar dan berpendidikan tinggi. Mungkin, dirinya hanya pantas menjadi SPG di mall saja. atau buruh cuci Seperi yang sering di katakan oleh keluarganya. Zea tidak jelek, hanya saja mereka selalu meremehkannya. "Kok masam, maksud Mas enggak merendahkan kamu. Tapi, hanya bertanya apa ada lowongan juga buat Mas. Kali aja Mas yang kerja kamu tetap jaga toko di mall," ujar Gio.
Sontak ucapan Zea membuat kedua orang tua itu bungkam. Seketika tubuh Pak Mansyur mendadak lemas dan seolah tak bertulang. Dia tidak menyadari selama ini sang anak tahu kalau rumah ini adalah milik ibunya dan bukan milik ayahnya. Zea tersenyum lalu mengambil tas, dia tak mau meladeni keduanya karena takut telat dan kehilangan pekerjaan. Sudah hampir 30 menit dia dibuat kesal oleh Dara. Pintu tertutup dengan keras, Bu Layla menatap suaminya yang masih begitu pucat. "Pa, bagaimana ini. Rumah ini belum atas nama Papa?" tanya Bu Layla cemas. Pak Mansyur tidak berpikir sampai seperti itu karena dia berpikir jika Zea itu tidak akan mempermasalahkan masalah rumah yang mereka tinggali sekarang. Namun sepertinya pria tua itu salah karena dia lupa jika Zea sudah dewasa dan dia tahu jika memang rumah ini memang rumah peninggalan dari ibunya. Dia pun sudah lama mencari Di mana berkas-berkas rumah tapi tidak menemukannya. "Pa, jawab." Bu Layla kembali bertanya karena melihat sang s
Nur, dia pun terkadang suka bicara asal. Tanpa sadar terkadang menyakiti hati Zea. Apalagi saat Zea memperkenalkan Gio padanya. Namun, temannya itu sangat baik karena dari dirinya Zea suka meminjam uang. "Maaf, ya. Eh, kamu sudah melamar ke gedung besar itu belum?" tanya Nur mengalihkan pembicaraan. "Baru mau, nanti mau ke sana pas jam makan siang." Zea mengerutkan kening. Dia sudah malas membahas masalah suaminya. Ini dia sibuk dengan beberapa pekerjaan yang harus dia selesaikan sebelum jam makan siang karena dia akan pergi ke gedung depan untuk menaruh lamaran. Zea sudah bertekad untuk mencari pekerjaan tambahan untuk keluar dari rumah. Terkadang ia merasa sulit karena rumah itu adalah rumah kenangan bersama ibunya. "Nanti aku antar pakai motor kalau mau ke gedung depan." Zea pun gegas merapikan beberapa barang untuk display. Beberapa harga dia susun rapi juga beberapa vitamin obat mahal dia geser. Bekerja di sebuah apotek yang berada di mall sungguh menguras tenaga. Sel
"Ada apa Aleta?" tanya Gio. "Di meja Pak Gior. tempat makan siapa? Pak Gior bawa bekal?" Aleta bertanya penasaran karena saat masuk dia melihat sang bos sedang memandangi tempat makan berwarna merah itu. "Bukan urusan kamu, keluar saja dulu nanti saya keluar setelah merapikan beberapa pekerjaan." Terpaksa Aleta keluar dari ruangan Gior dengan rasa penasaran dan pertanyaan yang ada di kepalanya. "Sejak kapan Pak bos bawa bekal makanan?" Sementara, Gio pun gegas mencoba nasi kecap itu. Lidahnya sedikit tidak menerima, rasanya ya hanya rasa manis. Namun, dia teringat perjuangan Zea. Dengan mimik wajah yang tidak biasa, dia memakan dan bahkan menghabiskan bekal yang dibuat oleh sang istri. Tidak terasa air mata pun hampir menetes. "Apa orang miskin itu ada yang setulus Zea? Mau menerima suaminya yang miskin dan jelek?" Gio terus bermonolog sendiri. Gio meneguk air putih sampai habis. Lalu tak terasa dia mengeluarkan dahak. Sengaja dia makan setelah perut terasa lapa
"Sial kau. Kembali fokus dan biarkan aku membaca dan mempelajari berkas ini. Aku tak banyak waktu karena banyak hal yang akan aku kerjakan," ujar Gio. Arga tak mengganggunya lagi, pria itu sibuk dengan memperhatikan presentasi karyawan mereka. Tidak lama beberapa menit, semua terkesiap saat Gio memukul meja dengan kencang lalu melempar lembaran kertas pada Pak Wawan, manager keuangan bagaian dalam. "Saya tidak terima berkas kacau seperti ini! Semua sudah saya atur dengan baik bagaimana bisa kita mengalami kerugian, hah?" Netra tajam penuh emosi Gio membuat para karyawan terdiam. Tidak ada yang berani jika sang bos sudah marah. Akan ada hal buruk yang terjadi termasuk lembut yang tiada henti. "I--ini memang sudah di perhitungkan dan kita memang rugi 20%," ujar Pak Wawan. Pria tua itu merapikan lembaran kertas yang berserak di lantai. "Kamu sudah bosan bekerja di perusahaan saya, atau kamu sengaja mau membuat perusahaan saya bangkrut?" Suara kencang Gio membuat mereka s