Share

Giorgio Abraham Atmayaja

Nur, dia pun terkadang suka bicara asal. Tanpa sadar terkadang menyakiti hati Zea. Apalagi saat Zea memperkenalkan Gio padanya. Namun, temannya itu sangat baik karena dari dirinya Zea suka meminjam uang.

"Maaf, ya. Eh, kamu sudah melamar ke gedung besar itu belum?" tanya Nur mengalihkan pembicaraan.

"Baru mau, nanti mau ke sana pas jam makan siang." Zea mengerutkan kening.

Dia sudah malas membahas masalah suaminya. Ini dia sibuk dengan beberapa pekerjaan yang harus dia selesaikan sebelum jam makan siang karena dia akan pergi ke gedung depan untuk menaruh lamaran.

Zea sudah bertekad untuk mencari pekerjaan tambahan untuk keluar dari rumah. Terkadang ia merasa sulit karena rumah itu adalah rumah kenangan bersama ibunya.

"Nanti aku antar pakai motor kalau mau ke gedung depan."

Zea pun gegas merapikan beberapa barang untuk display. Beberapa harga dia susun rapi juga beberapa vitamin obat mahal dia geser. Bekerja di sebuah apotek yang berada di mall sungguh menguras tenaga. Selain mengatur barang dia pun harus menjaga agar barang itu tidak hilang.

Perusahaan sangat pelit dan seringkali memotong gaji jika banyak barang yang hilang.

"Simpan yang benar Zea kalau kamu tidak mau di potong gajinya." Pria yang menggunakan jas putih itu terus melihat ke arah Zea yang sedang membersihkan beberapa barang.

Zea hanya mengangguk, dia tak mau banyak bicara dan malas bertegur sapa karena pria itu sangat menyebalkan.

"Heh Zea, kamu punya mulut enggak sih. Kalau saya tanya jawab!" Sentak pria itu tak terima saat Zea hanya mengangguk tanpa menjawab.

"Loh, Mas Irgi emang bertanya apa? Kan cuma bilang suruh rapikan yang benar. Ya sudah saya mengangguk."

"Ya kamu jawab kek, kamu bisu apa?"

Hinaan lagi, tidak di rumah tidak di tempat kerja Zea selalu menjadi bahan hinaan.

"Wah, cocok kaya judul kalau di buat sinteron. Punya suami cacat mukanya, istrinya gagu. Si codet dan si gagu," ujar Siti terbahak.

Siti, rekan kerja yang sering sekali mengadu pada Irgi jika Zea melakukan kesalahan. Siti kerap memberikan Informa palsu tentang apa yang dilakukan Zea hingga Zea sering mendapatkan panggilan.

"Astaga Siti, aku salah apa sih sama kamu? Suami aku enggak cacat, dia sehat kok," ujar Zea membalas.

"Itu ada tompel gede apa namanya kalau bukan cacat. Sama saja kan malu-maluin. Kasihan deh, pantas di buang sama mantan kamu. Iyalah Farhat lebih memilih Dara yang mulus." Senyum mengejek kembali terukir di bibir Siti.

Siti senang membuat Zea menderita, dia teman satu sekolah Dara dulu, mereka tidak lain bukan memang sering bertemu dan sengaja membicarakan Zea. Bahkan, tahu Farhat pun dari Siti.

"Sudah, Zea. Jangan dengerin si Siti. Nanti, liat aja dia dapat suami kaya apa. Bisa jadi lebih jelek dari Mas Gio."

Zea pun langsung melirik ke arah Nur. Secara tidak langsung temannya itu setuju kalau memang suaminya jelek.

"Bukan begitu, Masmu enggak jelek. Cuma enggak ganteng aja." Nur meralat ucapannya sembari tersenyum.

***

Di sebuah ruangan besar dengan nuansa warna yang teduh. Pria dengan kemeja biru laut duduk sembari menatap sebuah kotak nasi berisi nasi kecap.

Netranya tak berkedip lalu sesekali tangannya ingin menyendok nasi ke mulutnya. Tapi, dia kembali menyimpan sendok itu.

"Apa orang miskin itu makannya seperti ini?" Gio, tepatnya Georgio Abraham Atmajaya bergumam sendiri sembari menatap lurus pada kotak nasi itu.

Gio teringat saat Zea masuk ke kamar malam tadi dengan membawa telur di tangannya.

"Kamu bawa telur buat apa? Kenapa di bawa ke kamar?" tanya Gio.

"Kalau di luar malah enggak bisa aku masak buat kamu. Teh sama gula aja diumpetin. Apalagi telur, kalau kata Ibu mahal. Sekilo bisa 32.000," ujar Zea.

32.000, yah bagi Zea istrinya nominal itu sangat mahal. Namun, bagi Gio adalah hal lucu. Gio bahkan akan mengeluarkan uang berpuluh juta setiap hari. Bahkan, makan pun bisa menghabiskan satu juta hanya untuk beberapa orang.

Gio tersenyum saat melihat Zea yang begitu polos.

Gio tersadar dari lamunannya saat sebuah pesan masuk berbunyi dari ponselnya.

"Pak, bagian resepsionis memang sedang membuka lowongan. Hari ini pun sudah ada beberapa yang datang melamar. Tapi, sepertinya kualifikasi lulusan D3."

Gio mengernyitkan kening, teringat antusias Zea mengatakan ingin bekerja. Namun, jika kualifikasi seperti ini mana mungkin dia masuk.

Gio mengetik sebuah pesan.

"Ganti kualifikasi, lulusan SMA dan sudah berpengalaman bekerja."

Gio menyenderkan tubuh di sofa dan membayangkan istrinya kini sedang berandai-andai bekerja di gedung ini.

"Pak Gior, permisi. Ada meeting di gedung A," ucap Aleta, sekertaris Gio.

"Oke."

Di kantor, pria itu di panggil dengan sebutan Gior bukan Gio si miskin dan bertompel yang sering di hina keluarga Zea.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status