Share

Rumah Peninggalan

Sontak ucapan Zea membuat kedua orang tua itu bungkam. Seketika tubuh

Pak Mansyur mendadak lemas dan seolah tak bertulang. Dia tidak menyadari selama ini sang anak tahu kalau rumah ini adalah milik ibunya dan bukan milik ayahnya.

Zea tersenyum lalu mengambil tas, dia tak mau meladeni keduanya karena takut telat dan kehilangan pekerjaan. Sudah hampir 30 menit dia dibuat kesal oleh Dara.

Pintu tertutup dengan keras, Bu Layla menatap suaminya yang masih begitu pucat.

"Pa, bagaimana ini. Rumah ini belum atas nama Papa?" tanya Bu Layla cemas.

Pak Mansyur tidak berpikir sampai seperti itu karena dia berpikir jika Zea itu tidak akan mempermasalahkan masalah rumah yang mereka tinggali sekarang.

Namun sepertinya pria tua itu salah karena dia lupa jika Zea sudah dewasa dan dia tahu jika memang rumah ini memang rumah peninggalan dari ibunya.

Dia pun sudah lama mencari Di mana berkas-berkas rumah tapi tidak menemukannya.

"Pa, jawab." Bu Layla kembali bertanya karena melihat sang suami hanya diam dan tidak menjawab pertanyaannya.

"Ma, bukan Papa enggak merubah. Tapi ibunya Zea itu licik, dia menyembunyikan surat-surat rumah." Hanya kalimat itu yang bisa terlontar dari mulut sang suami.

Bu Laila kesal karena baru tahu kali ini jika rumah megah ini belum atas nama sang suami.

"Pa, pokonya mama enggak mau tahu. Papa urus dan cari atau terserah deh. Mama enggak mau kalau nanti tiba-tiba Zea mengusir kita."

"Mana mungkin, dia juga enggak tahu di mana surat rumah itu. Jangan berpikir jelek deh Ma."

Pikiran Pak Mansyur kini sedang tidak baik-baik saja memikirkan bagaimana untuk membalik nama rumah atas namanya sedangkan sejak dulu dia tidak menemukan berkas surat rumah yang disembunyikan oleh almarhumah ibunya Zea.

Tidak mau ngambil pusing pria itu pun lantas pamit untuk berangkat bekerja sementara bu Laila merasa kesal karena sang suami tidak mengurus atas nama dirinya.

"Ah, sialan."

"Ma, kenapa sih?" tanya Dara.

"Dih, panjang ceritanya. Rumah ini belum atas nama papa kamu. Mama takutnya, Zea malah mengusir kita." Bu Layla memiliki ketakutan sendiri.

Wanita itu tidak membayangkan jika banyak hutang dan dirinya harus memikirkan kontrakan rumah jika Zea mengusir mereka.

"Ma, buat saja surat palsu. Kita jual, terus kita beli rumah baru. Bagaimana?" Dara memberikan usul tanpa berpikir.

Bu Dara memukul pelan pundak sang anak. Ide gila dari Dara bisa saja membuat mereka masuk ke dalam penjara karena sebuah pemalsuan surat rumah.

"Kamu jangan ngawur. Kamu saja sana minta sama suami kamu. Kata mertua kamu, harta mereka enggak akan habis tujuh turunan," ujar Bu Layla.

"Dih, mama. Jangan sekarang ya. Akun Habis belanja perlengkapan bayi. Ini saja Farhat sudah meminta aku irit." Kini malah Dara yang mengeluh kesal.

Bu Layla menggerutu kesal, punya menantu pelit. Bagaimana bisa memberikan dia rumah. Beli perlengkapan bayi saja menggerutu.

"Mas Farhat bukan pelit, tapi aku yang menghabiskan 25 juta untuk perlengkapan bayi."

"Ya Allah, kamu ini benar-benar."

***

Zea datang terlambat kempat kerjanya. Akibatnya dia harus menghadapi kemarahan sang bos.

"Kamu tahu kan ini jam berapa Zea?" tanya sang bos.

"Macet, Bos. Maaf saya enggak akan mengulangi lagi," ujar Zea bersungguh-sungguh. Namun, ia tak tahu akan kembali terlambat atau tidak karena keluarganya yang super toxic.

"Halah, janji terus. Pokonya kamu saya potong gaji."

"Pak tapi," ujar Zea memelas.

Tidak ada yang bisa dilakukan olehnya karena bos sudah melakukan beberapa kali peringatan padanya. Hanya karena keluarganya yang sering membuat ulah saat dirinya akan berangkat kerja dia jadi sering terlambat datang.

Nur rekan kerjanya menghampiri Dea yang terduduk lemas di dekat meja kasir.

"Nyokap dan saudara tiri kamu buat ulah apa lagi?" tanya Nur.

"Banyaklah."

Zea kembali bercerita bagaimana menyebalkannya Sella saat mengambil telur untuk bekal sang suami. Zea pun mengatakan jika iba jika Gio hanya dibuatkan nasi kecap saja.

"Aduh, kasian si Gio. Terus dia mau?"

"Maulah. Dia itu enggak banyak macam maunya. Nasi kecap aja mau, sedih sih waktu Ibu bilang kalau Mas Gio dia suruh kasih nasi sama garam doang," papar Zea dengan wajah sedih mengingat sang suami.

"Tapi, ya enggak apa-apa. Lagian, mungkin Gio juga doyan nasi sama garam. Secara badannya kurus enggak bergizi."

"Kamu bicaranya kok jadi kaya Ibu dan adikku sih, Nur?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status