Share

Hinaan di rumah Sendiri

"Atau apa, Bu?"

"Kupaksa Gio Menceraikan kamu dan kamu harus menikah dengan juragan teh!" Sang ibu mengancam Zea.

Zea meremas ujung baju. Dia merasa jengkel dan kesal. Apa yang ibunya katakan membuat dirinya geram.

"Bu, cukup! Apa salah aku? Kalian kenapa selalu memperlakukan aku tidak baik. Kalian pilih kasih, harusnya aku yang mendapatkan kasih sayang."

Sebuah tamparan mengenai pipi Zea, Bu Layla tidak suka jika anak sambungnya ibu membantahnya. Untuk apa membicarakan kasih sayang jika tidak ada keuntungan.

"Tampar saja lagi, aku sudah kebal. Bahkan, aku merelakan calon suami aku untuk Dara. Hanya karena Dara menyukai dia."

"Heh, jaga mulut kamu! Farhat itu cintanya sama Dara. Lagi pula keluarga Farhat itu enggak suka sama kamu yang enggak berpendidikan. Dara lulusan S1, berpendidikan. Jauh sama kamu yang lulusan SMA doang," ujar Bu Layla.

Zea tersenyum miris sembari memegangi pipinya yang merah. Lucu sekali ibu sambungannya itu, mentertawakan hal yang memang sudah dia rencanakan. Zea tidak berkuliah karena sang ayah menguliahkan Dara dari pada dirinya. Sekarang, Bu Layla seenaknya memakai dirinya hanya karena tak ber kuliah.

"Tapi mereka menikah karena Dara hamil. Dara itu yang ganjen merebut Farhat!"

"Zea!"

Zea kesal dan memilih masuk ke kamar dan membanting pintu kesal. Sementara, Pak Mansyur ayahnya meminta istrinya untuk tidak berteriak lagi.

"Pa, anak kamu itu. Semakin lama semakin kurang ajar. Usir saja dari sini," ujarnya.

"Ma, tahan. Kalau di usir, siapa yang mau bayar listrik. Gaji Papa kan sebagian di potong buat biaya pernikahan Dara kemarin. Biarin saja sih, kita minta aja terus uang ke dia."

"Hmm, boleh juga ide Papa. Lagian, papa masih cuti emangnya?"

"Masih, besok baru masuk. Soalnya Papa pindah cabang ke kantor pusat."

"Bagus deh, Zea itu memang keras kepala, kalau dia nikah sama juragan Waluyo, kan enak. Kita punya menantu orang kaya. Apalagi si tua itu naksir Zea."

"Iya sudah, nanti kita bikin Gio itu minta cerai dari Zea. Tentang saja, Papa yakin mama bisa kok. Bikin Farhat jatuh ke pelukan Dara saja bisa. Apalagi misahin si burik itu sama anak kita Zea."

Sembari menyesap kopi, Pa Mansyur pun membuka laptop untuk pekerjaannya yang beberapa hari ini dia tinggalin.

**

Seperti biasa Gio pulang pukul 17.00. Zea menyambut sang suami yang baru saja sampai. Niat hati membuat teh, tapi dia tak menemukan gula dan teh di dapur.

"Perasaan kemarin aku rapikan di sini. Pagi juga Papa masih ngopi, kemana gula sama tehnya?"

Zea mencoba mencari-cari, tapi tetap tidak ketemu. Sampai dia melihat laci di dapur tak bisa terbuka.

"Kamu ngapain Zea?" tanya Bu Layla.

"Bu, lihat teh sama gula?" tanya Zea.

"Oh, ibu simpan. Di laci dan ibu konci."

"Kok, ibu simpan. Kan aku juga mau pakai buat teh Mas Gio."

"Heh, gula sama teh mahal. Kasih saja air putih, lagian si Gio itu enggak usah di kasih teh segala. Kuli bangunan cocoknya air putih. Sudah sana, tuh ambil air keran saja. Jangan pakai air galon, nanti habis. Kaya mau beli saja."

"Bu, air galon juga Zea beli. Jangan begitu dong," ujar Zea kesal.

"Heh, kamu itu enggak kontribusi banyak di rumah ini enggak usah pakai atau menggunakan yang enggak kamu beli. Paham?"

Zea menghentakkan kaki, lalu ia kembali menemui Gio. Seperti yang di katakan sang ibu, jangan membuatkan teh manis karena Gio itu tidak pantas di beri teh hangat.

"Mas ini ada air mineral," ujar Zea.

"Enggak jadi bikin teh?" tanya Gio pelan.

Zea menarik napas panjang, lalu duduk di samping suaminya. Rasa lelah di hati membuat Zea merasa sulit bicara, apalagi dia tidak mau memberatkan Gio. Pria itu mungkin sudah apes menikah dengannya secara mendadak, dirinya tak mungkin membawa masalah lagi untuk Gio. Apalagi cacian yang ibunya sering lontarkan.

"Gula sama teh diumpetin sama Ibu. Aku punya uang 10.000, besok baru gajian. Mau beli gula sama teh juga sayang uangnya."

Gio tersenyum, lalu meneguk air putih itu. "Tidak apa-apa, yang ada aja Ze."

"Maaf ya, Mas."

"Zea!" Terdengar suara ibu Layla dari luar kamar.

Zea gegas berlari menghampiri sebelum ibu sambungnya itu kembali menyakiti sang suami.

"Ada apa Bu, enggak usah teriak-teriak gitu."

"Bantu bibi sana di dapur, malam ini orang tua Farhat mau datang. Kamu masak yang enak, sana." Bu Layla menyuruh dengan kasar.

Lagi-lagi mereka memperlakukan Zea bak pembantu padahal ada Bibi di rumahnya. Pembantu yang di bayar keluarga mereka, tapi malah menyuruh dirinya juga ikut memasak. Belum lagi cacian saat masakan tak sesuai dengan lidah mereka.

"Sana ke dapur. Malah bengong kaya sapi ompong!"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status