"Non, ngapain di sini?" tanya Bi Romlah.
"Biasa Bi, mereka kalau enggak nyuruh aku sehari aja kayanya enggak bisa. Apalagi Ibu, senang banget bikin aku repot." Zea menggerutu kesal. "Yang sabar, Non." Zea hanya tersenyum, dia senang berada di dekat Bi Romlah. Asisten pribadi di rumahnya yang sudah dianggap seperti ibu kandung. Bahkan, dulu saat dia sakit Bi Romlah yang merawatnya. "Aku juga enggak tahu kenapa nasib aku kaya gini." Sembari memotong sayur, Zea terus meluapkan isi hatinya. Terlebih saat semua orang mengejek suaminya yang katanya jelek dan hanya kuli bangunan. Zea paham, suaminya jauh dari kata tampan. Dia pun menyadari, tapi setidaknya jangan menghina. "Eh, Zea keluar dulu. Bantuin di depan, tuh ibu nya Farhat sebentar lagi datang." "Bu, di sini belum kelar," tolaknya. "Cepat sudah." Ditariknya Zea ke ruang tamu, dia melihat suaminya pun sudah ada di sana membantu ayahnya menyapu dan mengepel. "Aduh, Bang ngapain si," ujar Zea yang langsung mengambil alih sapu dari tangan Gio. Melihat Zea mengambil saput dari suaminya, Bu Layla kembali mengomel. "Eh Zea. Biarin aja suami kamu nyapu. Kamu bantu ngeberesin jemuran. Ibu lupa nyuruh kamu." "Nanti Zea angkatin, tapi ---" "Enggak ada tapi-tapi. Sudah biarin saja suami kamu, biar kelihatan ada gunanya di rumah ini." Zea menatap sang suami, dirinya hanya mengelus dada dan berharap Gio tidak sakit hati. Saat melihat ke arah suaminya, Zea pun merasa iba karena dia selalu di hina. *** Kedua orang tua Farhat datang karena ingin bersilahturahmi saja. Zea datang membawakan gelas berisi teh hangat. Ada rasa nyeri saat membayangkan wanita di hadapannya menghina dirinya. "Terimakasih ya Zea, duh kamu ini kok sama Bi Romlah kaya serasi. Mirip ibu dan anak," ujar Bu Anggun--ibunya Farhat. Wanita itu memang tidak jauh sama dengan Bu Layla yang suka menjelekkan Zea. Bu Anggun juga orang pertama yang menolak Zea menikah dengan putranya. "Oalah iya, ya jeng. untung enggak jadi istrinya Farhat. Farhat tuh beruntung menikah dengan Dara yang kuliah dan berpendidikan. Enggak seperti Zea yang malas kuliah." Bu Layla tertawa tanpa rasa bersalah. "Iya dong, Farhat pintar lah. Mana mungkin juga saya merestui hubungan Farhat sama Zea yang cuma SPG itu. Mau di taro di mana muka saya," ujar Bu Anggun. "Ma, jangan seperti itu." Suaminya Bu anggun menyenggol istrinya. Namun, tetap saja dia wanita menyebalkan itu terus saja menghina Zea sampai Gio, menghampiri dan mengajak istrinya masuk. "Gio, baguslah kamu bawa masuk istrimu. Ada kamu dan dia bikin mata sepet." Lagi, Bu Layla membuat Gio hanya menggeleng. Sebelum masuk, mereka berpas-pasan dengan Farhat dan Dara. Zea melihat suami kakaknya sekaligus mantan kekasihnya sangatlah muak. Farhat masih bisa tersenyum meremehkan. Sementara, Dara mendorong Zea agar menjauh darinya. Saat Dara sudah agak jauh, Farhat pun berbisik pelan. "Aku pikir kamu menikah dengan pria yang lebih segala-galanya dari aku. Ternyata, kamu itu mendapat pria yang memang enggak berguna. Selain jelek, kantong pun kosong." "Jaga bicara kamu, masih bagus suamiku ini. Dari pada kamu, pria plin-plan dan tukang selingkuh. Bagus Tuhan menunjukkan aku kalau kamu itu enggak berkelas." Zea berkata dengan lantang. Dia kesal dengan Dara, harusnya dia menjaga lisan saat sedang hamil. Bukan malah sering menghina orang lain. "Heh, jangan sombong kamu!" Dara hampir saja menampar Zea jika Gio tak datang. "Stt ... jangan sentuh istri saya atau kamu akan menyesal," ujar Gio. Pria dengan noda hitam di pipi menggenggam tangan istrinya dengan tenang. Farhat tertawa meremehkan, melihat wajah Gio yang bertompel dan baju lusuhnya membuat dirinya merasa jauh segala-galanya. Bukan saingannya dan Farhat merasa Zea sudah tak laku hingga menikah dengan pria bertompel itu. "Siapa kamu bisa mengancam saya? Kamu itu hanya kuli yang kerja serabutan. Mau ngancam saya hah? Mana bisa, adaya kamu yang aku ancam, mau Kubuat istri kamu menjanda?" Farhat bicara dengan kasar dengan angkuh. Di membusungkan dada seolah-olah paling berkuasa di rumah itu. "Cukup, Mas. Jangan ladenin dia." Zea menahan Gio agar tak maju dan menghajar Farhat. Zea menahan saat Gio sepertinya mulai tersulit emosi. Bukan hanya keluarga istrinya yang seenaknya Pada istrinya tapi mantan kekasih yang meninggalkan dirinya demi sang kakak sambung pun mulai berulah. Harusnya dia sudah menghajar pria berengsek itu. Atau setidaknya mengirimnya ke rumah sakit. Zea menarik Gio menghindari Farhat. Menyebalkan sekali pria itu, hanya karena bekerja di perusahaan keluarga dan melakukan seenaknya yang dia mau. Zea duduk di pinggir ranjang, lalu Gio menepuk pundaknya. "Kita buat mereka memohon pada kamu suatu saat nanti." ***Pagi-pagi sekali Zea sudah membuat sarapan , Gio memintanya membuatkan bekal telur ceplok dan nasi karena katanya hari ini ada pekerjaan pagi-pagi sekali. Dia tidak mau membuat suaminya kelaparan pagi hari dan sepertinya pekerjaan Gio akan sangat melelahkan. Zea sejak malam sudah membawa telur satu butir ke kamar agar tidak di sembunyikan oleh Ibu sambungnya atau siapa pun yang ada di rumah itu. Pengalaman yang pernah ada, di rumah sendiri seolah-olah dia yang sendang menumpang di rumah itu. "Non, masih pagi tumben?" Bibi bertanya heran. "Mas Gio meminta aku membuatkan dia telur dadar, mau bawa ke tempat kerjanya. Mungkin ada ngerapiin rumah." Zea tersenyum sembari mengambil minyak untuk menggoreng. Melihat Zea yang seperti bukan di rumahnya sendiri, Bibi merasa iba. Harusnya Zea itu menjadi Nona yang hanya duduk dan dilayani. Namun, semua berakhir saat ibunya meninggal dan ayah kandungnya membawa ibu sambung yang menyeramkan seperti Bu Layla. "Heh, Zea. Kamu lagi ngapain
Zea bingung dengan suaminya, mungkin Gio tidak mau dirinya terlalu lelah dengan pekerjaan baru. Namun, Zea mencoba menangkan suaminya jika dirinya akan baik-baik saja dan tidak lelah. Demi mendapatkan tambahan uang, bahkan agar tidak di hina terus menerus. Jika dia bekerja di tempat bagus pun mungkin gaji akan lebih besar. "Mas, kenapa?" Zea bertanya karena melihat wajah Gio yang berbeda. "Eh, enggak. Kaget aja, bukannya itu kantor besar, kamu mau melamar mau menjadi apa?" tanya Gio. Sedikit masam, Zea pun malah terdiam. Mendengar ucapan suaminya membuat dia sadar jika memang gedung besar itu tempat orang pintar dan berpendidikan tinggi. Mungkin, dirinya hanya pantas menjadi SPG di mall saja. atau buruh cuci Seperi yang sering di katakan oleh keluarganya. Zea tidak jelek, hanya saja mereka selalu meremehkannya. "Kok masam, maksud Mas enggak merendahkan kamu. Tapi, hanya bertanya apa ada lowongan juga buat Mas. Kali aja Mas yang kerja kamu tetap jaga toko di mall," ujar Gio.
Sontak ucapan Zea membuat kedua orang tua itu bungkam. Seketika tubuh Pak Mansyur mendadak lemas dan seolah tak bertulang. Dia tidak menyadari selama ini sang anak tahu kalau rumah ini adalah milik ibunya dan bukan milik ayahnya. Zea tersenyum lalu mengambil tas, dia tak mau meladeni keduanya karena takut telat dan kehilangan pekerjaan. Sudah hampir 30 menit dia dibuat kesal oleh Dara. Pintu tertutup dengan keras, Bu Layla menatap suaminya yang masih begitu pucat. "Pa, bagaimana ini. Rumah ini belum atas nama Papa?" tanya Bu Layla cemas. Pak Mansyur tidak berpikir sampai seperti itu karena dia berpikir jika Zea itu tidak akan mempermasalahkan masalah rumah yang mereka tinggali sekarang. Namun sepertinya pria tua itu salah karena dia lupa jika Zea sudah dewasa dan dia tahu jika memang rumah ini memang rumah peninggalan dari ibunya. Dia pun sudah lama mencari Di mana berkas-berkas rumah tapi tidak menemukannya. "Pa, jawab." Bu Layla kembali bertanya karena melihat sang s
Nur, dia pun terkadang suka bicara asal. Tanpa sadar terkadang menyakiti hati Zea. Apalagi saat Zea memperkenalkan Gio padanya. Namun, temannya itu sangat baik karena dari dirinya Zea suka meminjam uang. "Maaf, ya. Eh, kamu sudah melamar ke gedung besar itu belum?" tanya Nur mengalihkan pembicaraan. "Baru mau, nanti mau ke sana pas jam makan siang." Zea mengerutkan kening. Dia sudah malas membahas masalah suaminya. Ini dia sibuk dengan beberapa pekerjaan yang harus dia selesaikan sebelum jam makan siang karena dia akan pergi ke gedung depan untuk menaruh lamaran. Zea sudah bertekad untuk mencari pekerjaan tambahan untuk keluar dari rumah. Terkadang ia merasa sulit karena rumah itu adalah rumah kenangan bersama ibunya. "Nanti aku antar pakai motor kalau mau ke gedung depan." Zea pun gegas merapikan beberapa barang untuk display. Beberapa harga dia susun rapi juga beberapa vitamin obat mahal dia geser. Bekerja di sebuah apotek yang berada di mall sungguh menguras tenaga. Sel
"Ada apa Aleta?" tanya Gio. "Di meja Pak Gior. tempat makan siapa? Pak Gior bawa bekal?" Aleta bertanya penasaran karena saat masuk dia melihat sang bos sedang memandangi tempat makan berwarna merah itu. "Bukan urusan kamu, keluar saja dulu nanti saya keluar setelah merapikan beberapa pekerjaan." Terpaksa Aleta keluar dari ruangan Gior dengan rasa penasaran dan pertanyaan yang ada di kepalanya. "Sejak kapan Pak bos bawa bekal makanan?" Sementara, Gio pun gegas mencoba nasi kecap itu. Lidahnya sedikit tidak menerima, rasanya ya hanya rasa manis. Namun, dia teringat perjuangan Zea. Dengan mimik wajah yang tidak biasa, dia memakan dan bahkan menghabiskan bekal yang dibuat oleh sang istri. Tidak terasa air mata pun hampir menetes. "Apa orang miskin itu ada yang setulus Zea? Mau menerima suaminya yang miskin dan jelek?" Gio terus bermonolog sendiri. Gio meneguk air putih sampai habis. Lalu tak terasa dia mengeluarkan dahak. Sengaja dia makan setelah perut terasa lapa
"Sial kau. Kembali fokus dan biarkan aku membaca dan mempelajari berkas ini. Aku tak banyak waktu karena banyak hal yang akan aku kerjakan," ujar Gio. Arga tak mengganggunya lagi, pria itu sibuk dengan memperhatikan presentasi karyawan mereka. Tidak lama beberapa menit, semua terkesiap saat Gio memukul meja dengan kencang lalu melempar lembaran kertas pada Pak Wawan, manager keuangan bagaian dalam. "Saya tidak terima berkas kacau seperti ini! Semua sudah saya atur dengan baik bagaimana bisa kita mengalami kerugian, hah?" Netra tajam penuh emosi Gio membuat para karyawan terdiam. Tidak ada yang berani jika sang bos sudah marah. Akan ada hal buruk yang terjadi termasuk lembut yang tiada henti. "I--ini memang sudah di perhitungkan dan kita memang rugi 20%," ujar Pak Wawan. Pria tua itu merapikan lembaran kertas yang berserak di lantai. "Kamu sudah bosan bekerja di perusahaan saya, atau kamu sengaja mau membuat perusahaan saya bangkrut?" Suara kencang Gio membuat mereka s
"Semoga saja aku diterima ya. Lumayan kan buat tambahan aku, Mas. Aku enggak mau buat kamu susah, Mas. Sudah masuk dalam permasalahan aku," ujar Zea. Gio terdiam, lalu menarik napas dalam. Rasa ibanya pada Zea membawanya untuk menolong wanita itu. Hanya karena harga minuman murah dirinya malah merasa berhutang nyawa. Gio tertawa kecil, lalu tak sadar dia menggenggam tangan Zea. "Kamu enggak buat beban aku kok, kan aku yang mau menolong kamu dari juragan teh." "Tapi aku enggak enak, aku janji kalau aku aku berhasil keluar dari rumah itu atau menemukan surat-surat rumah mama, mungkin aku bisa mengusir mereka." "Surat rumah?" "Rumah itu milik mamaku, tapi ayahku malah mengakuinya. Menikah dengan nenek sihir dan aku dijadikan seolah-olah anak tiri." Zea menarik napas panjang, lalu kembali menyantap makanannya. Lagi, Guo Merasa heran dengan wanita di hadapannya. Selama ini perlakuan keluarganya sangat parah dan menyakitkan. Tapi, dia bisa tahan dan kuat menghadapi semuanya.
"A--aku enggak mau bahas. Kita pulang takut nanti orang rumah nyariin." Zea pun melangkah cepat, entah kenapa Gio bertanya hal itu. Sudah jelas saat pertama mereka sepakat menikah hanya untuk sementara. Gio menatap tubuh mungil istrinya, lalu tertawa sendiri. "Ternyata pria jelek dan miskin memang tidak laku apalagi dengan wanita miskin." Sepertinya Gio ragu jika Zea memang wanita yang sederhana dan wanita yang bisa membuat dirinya jatuh cinta. "Tidak ada ketulusan yang benar-benar tulus." Gio melangkah mengikuti Zea yang sudah agak jauh. Namun, langkah pria itu begitu lebar hingga bisa menghampirinya. Keduanya sampai di rumah, baru saja sampai di depan rumah sudah mendapat teriakan. "Duluan, saya mau ke warung dulu," ujar Gio. "Zea! kamu ini kerja apa sih, kok sampai malam kaya gini!" teriak Bu Layla. "Bu, aku lembur," jawab Zea berbohong. "Oh, kalau gitu Ibu minta uang gaji kamu lebihan sama lembur kamu. Sini." Bu Layla mengenadah tangan. Zea menggeleng,