Bara tersenyum melihat tingkah istrinya. Aisya, istrinya yang polos dan manja, selalu membuat hatinya nyaman. "Aku tadi hanya kesal, karena dianggap pembantu," ujar Aisya lagi.Bara juga merasa bersalah, karena tidak membela istrinya tadi. Dikecupnya pipi Aisya, agar istrinya tahu kalau dirinya tidak marah. "Mas mau memaafkanku, 'kan?" tanya Aisya manja. Aisya tahu, kalau Bara suka dengan sikapnya yang manja.Bara menggeleng tidak setuju. "Jadi, Mas enggak mau maafin aku?""Ada syaratnya!" "Syarat?" "Iya. Enak saja tiba-tiba minta maaf setelah marah-marah. Pokoknya aku enggak mau maafin, kalau syaratnya belum terpenuhi," ujar Bara sambil tersenyum penuh makna.Bara menunjuk pipinya sebelah kanan. Aisya mengendikkan bahu tak paham. "Aku kasih contoh," ujar Bara. Aisya tersenyum malu, mengerti apa maksud Bara. Pipinya yang putih, bersemu merah layaknya kepiting rebus. "Buruan!" Bara tak sabar melihat reaksi istrinya. Aisya melakukan yang Bara perintah. Tak hanya pipi kanan, dia
Cintya terdiam, lantas duduk di samping Bara. Dia mencoba mencerna ucapan Bara. Menjaga madunya untuk seminggu ke depan adalah ide gila. Apa Bara tidak takut, kalau dirinya akan melukai Aisya? Bukankah selama ini Bara tahu, kalau Cintya tak pernah akur dengan Aisya? "Apa kamu yakin, menitipkannya padaku?" Sungguh, hati Cintya teriris perih. Dia begitu memikirkan keselamatan Aisya dibanding dirinya."Aku tahu kamu. Kamu enggak mungkin mencelakai Aisya. Tak mungkin aku membawanya. Pekerjaan di proyek tak kenal waktu. Aku takut dia kesepian," ujar Bara sambil menatap wajah Cintya. Cintya-nya masih begitu cantik, di usia yang hampir tiga puluh. Banyak yang mengira, dosen Bahasa Inggris itu berusia dua puluh limaan. "Kamu begitu mengkhawatirkannya, sampai lupa kalau aku yang menemanimu dari nol," ujar Cintya tersenyum getir. Dia masih ingat betul, ketika mereka berboncengan naik motor menembus lebatnya hujan. Cintya juga rela ikut banting tulang, agar mempunyai modal untuk berbisnis.
Tepat pukul delapan malam, Bara keluar kamar Aisya dengan jaket tebal berwarna biru dongker. Aisya membawa koper kecil Bara. Aisya belum rela, ditinggal Bara pergo jauh. Dari tadi dia hanya ingin di dekat Bara. "Kamu baik-baik ya di rumah!" pesan Bara sambil mencubit gemas pipi Aisya. "Kalau sudah selesai langsung pulang ya, aku kangen," rajuk Aisya manja. "Pasti Sayang."Cintya menghampiri kedua insan yang sedang dimabuk asmara. Di tangannya terdapat sekantong kresek kecil. "Jangan lupa bawa ini!" Cintya menyerahkan kantong kresek ke Bara. "Terima kasih Sayang," ujar Bara sambil menerima kantong kresek dari Cintya. "Jaga kesehatan. Semua obat-obatan yang kamu perlukan ada di dalam," ujar Cintya datar. Sekesal apapun dia kepada Bara, namun Bara tetaplah suaminya. Tak ada alasan untuk tidak berbakti padanya. "Jangan tidur larut malam, nanti masuk angin!" imbuh Cintya. Cintya ingat betul, kalau Bara gampang masuk angin ketika suka begadang. Bara mengangguk senang. Ternyata Cin
Senin pagi, Cintya bersiap ke kantor. Sekitar jam lima, mbah Yah sudah datang. Cintya memintanya memasak, karena dia harus berangkat pagi. "Mbah, nanti saya pulang agak sore, jadi mbah Yah di sini dulu saja!" pinta Cintya saat mbah Yah membersihkan kamarnya. "Iya Bu." Cintya kembali mematut dirinya di depan cermin. Disambarnya tas berwarna hitam berisi laptop dan beberapa alat tulis. Tak lupa, jam tangan dia kenakan, agar tak lupa waktu. Dengan sedikit tergesa, Cintya menuruni anak tangga. Dilihatnya kamar Aisya masih tertutup. Cintya lantas ke dapur dan mencomot roti tawar yang sudah disiapkan mbah Yah. "Mbah Yah lihat kunci mobil saya enggak?" teriak Cintya dari bawah. Matanya sambil memindai sekeliling. "Sebentar Bu, saya cari," jawab mbah Yah.Cintya memang sedikit ceroboh. Sudah sering dia lupa membawa kunci mobilnya, namun tetap saja meletakannya sembarang. "Ada Bu!" seru mbah Yah sambil tergesa turun."Ketemu di mana?" tanya Cintya."Di depan cermin Bu," ujar mbah Yah sa
Cintya amat lelah hari ini. Dia memarkirkan mobilnya asal. Pintu rumah terbuka, namun tampak sepi. Mungkin mbah Yah dan Aisya sedang istirahat, batinnya. Dia lantas berjalan ke dalam. Lagi-lagi kamar Aisya masih tertutup. Cintya penasaran, apa yang dilakukan madunya di dalam kamar. Cintya lantas duduk di sofa ruang tengah, sambil menonton televisi. Dia melepas jilbabnya, lalu tiduran di sofa. "Baru pulang Bu?" tanya mbah Yah saat dirinya hampir terlelap."Iya Mbah.""Diminum dulu, Bu."Mbah Yah memberikan segelas air putih. Sudah menjadi kebiasaannya, saat Bara maupun Cintya pulang kerja, dia akan menyiapkan air putih. Sebenarnya Cintya melarangnya, tapi mbah Yah tetap melakukannya."Mau makan sekarang Bu, biar saya hangatkan dulu?" "Enggak usah, saya sudah makan tadi."Mbah Yah lantas meninggalkan majikannya agar bisa istirahat. "Oh iya Mbah, Aisya sudah makan?" tanya Cintya sebelum mbah Yah pergi."Setahu saya belum Bu. Dari tadi pagi saya belum lihat dia keluar kamar."Mbah Ya
"Saya enggak enak makan, Mbak," lirih Aisya. Cintya menghela nafas. "Biar mbah Yah yang suapi," usul Cintya. "Maaf Bu, saya sudah mau pulang, jadi enggak bisa," sanggah mbah Yah di ambang pintu. Cintya melirik jam tangan yang baru menunjukkan pukul tiga lewat sedikit. Dia meminta mbah Yah pulang jam lima, tapi kenapa sekarang mbah Yah sudah ingin pulang. Mbah Yah menggelengkan kepala saat Cintya melihatnya. Terlihat jelas dari raut mukanya, kalau dia malas menyuapi Aisya. Cintya menyadari itu, lalu dia berjalan ke arah mbah Yah. "Demi saya Mbah," ujar Cintya penuh penekanan. Mbah Yah merengut, tapi tetap berjalan ke arah Aisya. Diraihnya piring, lalu membantu Aisya untuk bersandar. "Bu Cintya baik bukan? Beliau masih mau merawat madunya, meskipun hatinya selalu disakiti," ujar mbah Yah tak dapat menahan emosinya. Mbah Yah lantas menyendok nasi, lalu mengarahkan ke mulut Aisya. "Sudah Mbah," tolak Aisya disuapan ke lima. Dia meraih gelas berisi air putih, lalu menenggaknya s
"Halo Mel, secepatnya ke sini. Keadaan semakin darurat!" Tut Cintya mematikan panggilannya secara sepihak. Sudah dipastikan, dokter Mela-sahabatnya mencak-mencak. Namun Cintya tak peduli. Pikirannya terus dihantui oleh kehamilan Aisya. "Mungkin saja dia masuk angin Bu," hibur mbah Yah namun tak bisa membuat hati Cintya lega. Cintya meninggalkan mbah Yah yang masih terbengong seorang diri. Dia lantas mengambil air wudhu. Wajahnya tampak lebih berseri. Dia bergegas mengenakan mukena. Lama sekali Cintya menengadahkan tangan, memohon kepada Sang Pemilik segalaNya. Tin Suara klakson mobil membuat Cintya menghentikan do'anya. Dia bergegas menengok dari balkon kamarnya. Mobil dokter Mela. Cintya lalu turun setelah melepas mukena. "Kamu tidak terlihat sedang sakit?" Tanpa basa-basi sahabatnya langsung masuk. Dokter Mela sudah terbiasa ke rumah ini saat Cintya maupun Bara butuh pertolongannya. "Bukan aku yang sakit," jawab Cintya sambil mempersilakan tamunya masuk. "Bara?" Ci
Cintya bernafas lega karena dugaannya salah."Obatnya nanti diminum, ada yang sebelum makan dan sesudah makan!""Iya Dok." Cintya semakin bernafas lega. Ketakutannya tidak terbukti. "Mel, yuk ngobrol di luar!" ajak Cintya setelah Mela memberikan obat buat Aisya. "Terima kasih, Dok!" ucap Aisya setelah dokter Mela pamit. "Rajin makan, meskipun sedikit!" ujar dokter Mela sebelum meninggalkan Aisya. Aisya tersenyum bahagia. Ternyata Cintya masih mau merawatnya. Cintya mengajak dokter Mela duduk di taman samping, agar Aisya tak mendengar percakapannya. Dokter Mela semakin dibuat bingung oleh tingkah sahabatnya. "Beneran dia enggak hamil?" Cintya kembali memastikan, setelah keduanya duduk di ayunan. Dokter Mela membenarkan letak kacamata yang bertengger di atas hidungnya yang mancung. "Enggak, dia terkena infeksi usus. Tadi 'kan sudah kubilang.""Syukurlah," jawab Cintya lega. Lagi-lagi dokter Mela heran. Siapa sebenarnya gadis muda tadi, sampai-sampai Cintya begitu khawatir. "D