Tepat pukul delapan malam, Bara keluar kamar Aisya dengan jaket tebal berwarna biru dongker. Aisya membawa koper kecil Bara. Aisya belum rela, ditinggal Bara pergo jauh. Dari tadi dia hanya ingin di dekat Bara. "Kamu baik-baik ya di rumah!" pesan Bara sambil mencubit gemas pipi Aisya. "Kalau sudah selesai langsung pulang ya, aku kangen," rajuk Aisya manja. "Pasti Sayang."Cintya menghampiri kedua insan yang sedang dimabuk asmara. Di tangannya terdapat sekantong kresek kecil. "Jangan lupa bawa ini!" Cintya menyerahkan kantong kresek ke Bara. "Terima kasih Sayang," ujar Bara sambil menerima kantong kresek dari Cintya. "Jaga kesehatan. Semua obat-obatan yang kamu perlukan ada di dalam," ujar Cintya datar. Sekesal apapun dia kepada Bara, namun Bara tetaplah suaminya. Tak ada alasan untuk tidak berbakti padanya. "Jangan tidur larut malam, nanti masuk angin!" imbuh Cintya. Cintya ingat betul, kalau Bara gampang masuk angin ketika suka begadang. Bara mengangguk senang. Ternyata Cin
Senin pagi, Cintya bersiap ke kantor. Sekitar jam lima, mbah Yah sudah datang. Cintya memintanya memasak, karena dia harus berangkat pagi. "Mbah, nanti saya pulang agak sore, jadi mbah Yah di sini dulu saja!" pinta Cintya saat mbah Yah membersihkan kamarnya. "Iya Bu." Cintya kembali mematut dirinya di depan cermin. Disambarnya tas berwarna hitam berisi laptop dan beberapa alat tulis. Tak lupa, jam tangan dia kenakan, agar tak lupa waktu. Dengan sedikit tergesa, Cintya menuruni anak tangga. Dilihatnya kamar Aisya masih tertutup. Cintya lantas ke dapur dan mencomot roti tawar yang sudah disiapkan mbah Yah. "Mbah Yah lihat kunci mobil saya enggak?" teriak Cintya dari bawah. Matanya sambil memindai sekeliling. "Sebentar Bu, saya cari," jawab mbah Yah.Cintya memang sedikit ceroboh. Sudah sering dia lupa membawa kunci mobilnya, namun tetap saja meletakannya sembarang. "Ada Bu!" seru mbah Yah sambil tergesa turun."Ketemu di mana?" tanya Cintya."Di depan cermin Bu," ujar mbah Yah sa
Cintya amat lelah hari ini. Dia memarkirkan mobilnya asal. Pintu rumah terbuka, namun tampak sepi. Mungkin mbah Yah dan Aisya sedang istirahat, batinnya. Dia lantas berjalan ke dalam. Lagi-lagi kamar Aisya masih tertutup. Cintya penasaran, apa yang dilakukan madunya di dalam kamar. Cintya lantas duduk di sofa ruang tengah, sambil menonton televisi. Dia melepas jilbabnya, lalu tiduran di sofa. "Baru pulang Bu?" tanya mbah Yah saat dirinya hampir terlelap."Iya Mbah.""Diminum dulu, Bu."Mbah Yah memberikan segelas air putih. Sudah menjadi kebiasaannya, saat Bara maupun Cintya pulang kerja, dia akan menyiapkan air putih. Sebenarnya Cintya melarangnya, tapi mbah Yah tetap melakukannya."Mau makan sekarang Bu, biar saya hangatkan dulu?" "Enggak usah, saya sudah makan tadi."Mbah Yah lantas meninggalkan majikannya agar bisa istirahat. "Oh iya Mbah, Aisya sudah makan?" tanya Cintya sebelum mbah Yah pergi."Setahu saya belum Bu. Dari tadi pagi saya belum lihat dia keluar kamar."Mbah Ya
"Saya enggak enak makan, Mbak," lirih Aisya. Cintya menghela nafas. "Biar mbah Yah yang suapi," usul Cintya. "Maaf Bu, saya sudah mau pulang, jadi enggak bisa," sanggah mbah Yah di ambang pintu. Cintya melirik jam tangan yang baru menunjukkan pukul tiga lewat sedikit. Dia meminta mbah Yah pulang jam lima, tapi kenapa sekarang mbah Yah sudah ingin pulang. Mbah Yah menggelengkan kepala saat Cintya melihatnya. Terlihat jelas dari raut mukanya, kalau dia malas menyuapi Aisya. Cintya menyadari itu, lalu dia berjalan ke arah mbah Yah. "Demi saya Mbah," ujar Cintya penuh penekanan. Mbah Yah merengut, tapi tetap berjalan ke arah Aisya. Diraihnya piring, lalu membantu Aisya untuk bersandar. "Bu Cintya baik bukan? Beliau masih mau merawat madunya, meskipun hatinya selalu disakiti," ujar mbah Yah tak dapat menahan emosinya. Mbah Yah lantas menyendok nasi, lalu mengarahkan ke mulut Aisya. "Sudah Mbah," tolak Aisya disuapan ke lima. Dia meraih gelas berisi air putih, lalu menenggaknya s
"Halo Mel, secepatnya ke sini. Keadaan semakin darurat!" Tut Cintya mematikan panggilannya secara sepihak. Sudah dipastikan, dokter Mela-sahabatnya mencak-mencak. Namun Cintya tak peduli. Pikirannya terus dihantui oleh kehamilan Aisya. "Mungkin saja dia masuk angin Bu," hibur mbah Yah namun tak bisa membuat hati Cintya lega. Cintya meninggalkan mbah Yah yang masih terbengong seorang diri. Dia lantas mengambil air wudhu. Wajahnya tampak lebih berseri. Dia bergegas mengenakan mukena. Lama sekali Cintya menengadahkan tangan, memohon kepada Sang Pemilik segalaNya. Tin Suara klakson mobil membuat Cintya menghentikan do'anya. Dia bergegas menengok dari balkon kamarnya. Mobil dokter Mela. Cintya lalu turun setelah melepas mukena. "Kamu tidak terlihat sedang sakit?" Tanpa basa-basi sahabatnya langsung masuk. Dokter Mela sudah terbiasa ke rumah ini saat Cintya maupun Bara butuh pertolongannya. "Bukan aku yang sakit," jawab Cintya sambil mempersilakan tamunya masuk. "Bara?" Ci
Cintya bernafas lega karena dugaannya salah."Obatnya nanti diminum, ada yang sebelum makan dan sesudah makan!""Iya Dok." Cintya semakin bernafas lega. Ketakutannya tidak terbukti. "Mel, yuk ngobrol di luar!" ajak Cintya setelah Mela memberikan obat buat Aisya. "Terima kasih, Dok!" ucap Aisya setelah dokter Mela pamit. "Rajin makan, meskipun sedikit!" ujar dokter Mela sebelum meninggalkan Aisya. Aisya tersenyum bahagia. Ternyata Cintya masih mau merawatnya. Cintya mengajak dokter Mela duduk di taman samping, agar Aisya tak mendengar percakapannya. Dokter Mela semakin dibuat bingung oleh tingkah sahabatnya. "Beneran dia enggak hamil?" Cintya kembali memastikan, setelah keduanya duduk di ayunan. Dokter Mela membenarkan letak kacamata yang bertengger di atas hidungnya yang mancung. "Enggak, dia terkena infeksi usus. Tadi 'kan sudah kubilang.""Syukurlah," jawab Cintya lega. Lagi-lagi dokter Mela heran. Siapa sebenarnya gadis muda tadi, sampai-sampai Cintya begitu khawatir. "D
Dokter Mela tak tahu harus menjawab apa. Dia juga tidak menyangka, Bara yang selama ini dia kenal bisa sejahat itu. "Andai aku bisa hamil, pasti mas Bara tak akan mendua. Apa aku terlalu jahat, ternyata Aisya tidak jadi hamil?" Dokter Mela mencoba memeluk Cintya. Cintya tak menolak. "Sabar, Allah pasti sudah merencanakan yang lebih baik," bisik Mela. Cintya tak mampu menahan tangisnya. Beban yang selama ini tertumpu, dia curahkan kepada Mela. Sesekali, Mela mengusap punggung wanita cantik di pelukannya. "Sudah ah jangan nangis terus, nanti cepet tua!" goda Mela yang dibalas cubitan kecil Cintya. "Aduh, galak amat bu dosen," rintih Mela sambil mengusap lengannya yang merah. "Pasienmu sudah nunggu, pulang saja!" usir Cintya sambil melirik jam tangannya. Jam lima sore, klinik Mela sudah harus buka. Bukannya tersinggung, Mela malah tertawa ngakak. "Kamu belum bayar. Mana bayaranku!" ujar Mela ceplas-ceplos. "Aku enggak punya uang."Mela memutar bola mata malas. Sahabatnya memang
Langkah Cintya mendadak berhenti, mendengar permintaan tak masuk akal dari madunya. Bisa-bisanya Aisya memintanya menghubungi Bara untuknya. Cintya menghirup nafas dalam, lalu mengembuskannya. Dia harus menetralkan emosi yang selalu muncul saat berhadapan dengan Aisya. "Dia bekerja. Jangan diganggu!" pesan Cintya. "Apa sesibuk itu, sampai lupa menghubungiku? Setidaknya menelfon kalau sudah sampai," gerutu Asiya. "Itu belum seberapa, dibanding apa yang aku rasakan sekarang," ujar Cintya sambil terus melenggang masuk. Tak lupa ditutupnya pintu karena hari sudah mulai gelap.Cintya terus melangkah masuk. Dia tak menghiraukan madunya. Rasa sakitnya masih begitu besar, daripada rasa ibanya. Andaikan dia tidak menjadi duri di rumah tangganya, Cintya pasti punya rasa iba. Cintya teringat, kalau dokter Mela belum dibayar. Diraihnya ponsel yang masih tergeletak di meja. Dibukanya aplikasi m-bangking. "Beres," gumamnya.Cintya lantas membereskan tas dan jilbabnya yang masih berserakan di