Aku sedih melihat Iqbal dengan kemarahan dan kekecewaannya kepada Muzammil. Aku segera menutup teleponnya dan ganti menelepon Muzammil. Berkali-kali aku mencoba menghubungi Muzammil tapi tidak diangkat juga. Entah kenapa aku terus memikirkan Iqbal dan Muzammil.
Tanpa berpikir panjang aku ganti gaun pesta dan meminta sopir mengantarkan aku menyusul ke pesta. Tiga puluh menit kemudian aku sudah sampai di sana. Aku melihat Iqbal sedang bicara empat mata dengan Muzammil di meja yang jauh dari keramaian. Aku juga melihat Hema dan Marwa serta Faruq sedang duduk semeja dan berbicara serius.
"Umiiiiii!" teriak Iqbal yang menyadari kedatanganku.
Sontak seluruh pandangan para tamu tertuju kepadaku. Muzammil beranjak berdiri dan menghampiriku seolah tak percaya.
"Zhee, apa yang kamu lakukan? Bukankah kamu harusnya beristirahat?" tanya Muzammil terkejut.
Iqbal memeluk tubuhku dengan erat, tiba-tiba dia menangis tersedu.
"Ada apa denganmu, Zh
Kenapa kepergian Iqbal dari pangkuanku sangat menyakiti hatiku. Rasanya hati ini masih merindukannya meskipun dia baru terlepas dari dekapanku. Tak terasa air mataku meleleh di pipi. "Tidurlah diatas, Zhee! Temani aku malam ini!" pinta Muzammil. "Tidak, Pangeran, biarkan malam ini ganti aku yang tidur di kamarmu!" sahut Hema meminta. "Maaf, Putri Hema, hari ini Zhee sudah merelakan kamu mendampingiku di pesta. Biarkan malam ini aku bersamanya!" pinta Muzmil. Tiba-tiba tanpa mendengar pendapat dari Hema yang masih protes, Muzammil membopong tubuh mungilku naik ke kamarnya. Aku hanya diam tanpa sepatah katapun. Tanganku melingkar manja di leher Muzammil. Pandanganku tajam menatap wajah tampan suamiku. Kusandarkan kepalaku di dadanya yang hangat dan bidang. Sambil melangkah naik meniti tangga Muzammil mencium rambutku dengan lembut. "Hatiku cemburu, saat di pesta tadi, Faruq dengan tajam menatapku tanpa berkedip. Bahkan dia berani masuk kamarmu t
Dokter mulai memainkan alat USG di atas perutku. "Usia kandungan baru delapan minggu, Nyonya? Bukankah ...?" tanya dokter terputus. "Sebenarnya bayi saya yang saat itu meninggal, Dokter. Terjadi kecelakaan yang membuat saya harus kehilangan bayi saya," ujarku lirih. "Untuk kali ini Nyonya harus lebih banyak istirahat, kandungan nyonya masih terlalu lemah," pesan dokter. "Tapi kehamilannya tidak membahayakan istri saya kan, Dok?" sahut Muzammil khawatir. "Bedrest saja, Nyonya! Ini saya beri obat penguat kandungan, mohon diminum sampai habis, Nyonya!" pesannya lagi. "Tapi sekarang keadaan anak dan istriku baik-baik saja kan, Dok? Tidak ada yang mengkhawatirkan kan, Dok?" tanya Muzammi masih gelisah. "Bayinya sehat, ini detak jantungnya bagus sekali!" kata dokter. Selain penguat kandungan ini saya kasih vitamin. Oh ya untuk trimester pertama makan saja yang manis-manis, agar bayinya cepat besar!" usul dokter. "Baik,
"Ada apa ribut-ribut, Pangeran?" tanya permaisuri yang tiba-tiba muncul bersama Sultan Mahmud. "Sultan, bagaimana saya bisa hamil pangeran tidak pernah adil kepada saya. Dia jarang menghabiskan malam bersama saya," ketus Hema. "Apa itu benar, Zammil?" tanya sultan. "Aku kan sudah berjanji akan berbuat adil kepadamu asal kamu bisa berbuat baik kepada Zhee," hardik Muzammil. "Tapi ternyata dia banyak menyembunyikan sesuatu di belakangku," lanjutnya. "Pangeran!" pekikku sambil mengernyitkan dahiku memberi isyarat melarang pangeran berbicara. Akhirnya Muzammil diam, tapi tatapannya memendam kesal dan geram. "Ada apa, Zammil?" tanya sultan. "Tidak apa-apa, aku akan berusaha tapi karena Zhee sedang hamil aku memberi perhatian khusus dan kamu jangan sakit hati dan berulah!" kata Muzammil. "Apa maksudnya, Zammil?" tanya sultan. "Aku akan berbuat adil, Pa tapi aku minta waktu!" kata Muzammil pergi meninggalkan mereka sem
Aku benar-benar geram dan emosi, kata-kata Faruq seperti orang tidak waras lagi. Dret ... dret ... dret! Ponselku kembali berdering. Dengan geram aku mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelepon. Karena aku yakin telepon yang aku putus tadi akan membuat Faruq penasaran. "Hentikan, Tuan muda! Aku bukan Fahim, tidak ada lagi Fahimmu di tubuhku. Berhenti menggodaku!" teriakku marah. "Zhee!" panggil Muzammil. "Pangeran?" pekikku. Betapa terkejutnya aku ternyata yang menelepon bukan Faruq melainkan pangeran. Aku segera menatap layar ponselku untuk memastikan. "Maaf, Pangeran!" ucapku pelan. "Apakah Faruq masih sering menghubungi kamu, Zhee?" tanya pangeran kecewa. "Tidak, Pangeran. Nanti saja aku cerita di rumah ya?" ujarku lembut menenangkan. Waktunya makan siang, Muzammil pulang untuk melayani aku makan siang. Setelah mendengar sendiri kelicikan Hema, dia takut meninggalkan aku meskipun di rumahku sendiri
Aku segera menyerahkan ponsel Muzammil yang masih terhubung dengan Hema. Muzammil diam hanya mendengarkan apa kata Hema. Hema tidak tahu kalau yang sedang mendengarkan pembicaraannya sekarang adalah pangeran. Entah apa yang sedang dibicarakan membuat pangeran marah besar."Hema!" bentaknya emosi. "Kamu benar-benar keterlaluan! Zhee adalah seorang istri pangeran, beraninya kamu berbicara seperti itu kepadanya!" lanjutnya menghardik.Aku segera memegang tangan Muzammil sambil menggelengkan kepalaku memberi isyarat kepada Muzammil agar lebih sabar. Aku segera meminta ponsel itu dan kumatikan. Aku tidak mau suasana liburan ini berubah sedih."Abi Zammil, kita lanjut main bolanya yuk!" teriak Iqbal mengajak Muzammil kembali bergabung bermain bola volley pantai bersama Faruq.Aku duduk sendiri sambil bermain ponsel. Marwa datang menghampiriku dengan muka sinis penuh kebencian. Kini dia duduk di sampingku."Kamu pasti puas kan?" katanya tiba-tiba.
Setelah makan bersama aku mengantar Iqbal pulang, aku belum melihat mobil tuan muda di garasi. Itu artinya mereka belum pulang."Ayo kita masuk, kita antarkan Iqbal sampai di rumah," tawar Muzammil."Aku takut, Pangeran," bisikku."Tidak perlu takut, Zhee! Sekarang kamu seorang putri dari Tukasha. Aku yakin mereka tidak akan meremehkan kamu lagi," ujar Muzammil.Iqbal berdiri menunggu kami di dekat mobil. Muzammil merangkul pundakku dan mengajak masuk rumah Tuan Hussein. Iqbal mengikuti kami dari belakang.Bel pintu ditekan oleh Muzammil dan tak lama keluarlah Ruby."Assalamualaikum," sapaku bersamaan dengan Muzammil."Waalaikum salam," jawab Ruby terperanjat."Abi belum pulang, Tante?" tanya Iqbal kepada Ruby."Belum, Tuan kecil," jawab Ruby."Mari masuk!" Ruby mempersilakan masuk. Matanya menatapku penuh selidik. Apakah dia tahu kalau aku operasi wajah? Apakah dia tahu kalau aku adalah Fahim, orang yang selalu d
Setelah Hema dan dokter pergi aku segera mengambil ponselku. Muzammil memastika bahwa aku aman tanpa kepergok Hema. Sesampai di kamar aku segera membuka rekaman itu dengan penasaran. Pembicaraan rekaman: Hema: "Katakan, berapa yang harus kubayar aku akan membayarmu, Dok." Dokter: "Ini resiko besar, Putri. Kalau sampai tertangkap hukuman mati. Untuk resiko besar bayaran juga harus besar. Bayar aku dengan saham di perusahaan
"Aku berangkat pagi pakai jet kerajaan, Marwa. Kuharap kamu selalu memberi kabar kepadaku tentang maduku, kamu mengerti kan?" pinta Hema. (...) "Ada acara penobatan pangeran sebagai putra mahkota. Untung Zhee tidak diajak! Kalau diajak hancurlah suasana romantisku bersama pangeran," ujar Hema setengah berbisik. (...) "Maka itu tolong awasi dia terus, aku yakin suamimu akan mencuri kesempatan kalau tahu pangeran tidak ada di rumah," Hema menggoda. (... ) "Aku tidak tahu sampai kapan di Tukasha, terserah pangeran saja asal bersamanya dimanapun aku bahagia," jawab Hema. Tapi ingat semua rencana kita harus berhasil, aku mengandalkanmu, Marwa!" lanjutnya. ( ... ) "Sekalian pangeran juga mengurus usahanya di Tukasha. Udah dulu ya, ini mau berangkat!" pamit nya. Aku segera pergi begitu Hema selesai berbicara di telepon dengan Marwa. Takut ketahuan kalau aku sedang menguping. Begitu aku membalikkan badanku betapa terkej