"Apa kah ... Anda juga yang meminjamkan uang sebesar 31 miliar ... kepada Aditama yang digunakan Aditama untuk membeli kalung merek terkenal di dunia ... Tiffany & Co?" tanya Hermanto tercekat sambil menunjuk Ricard. Mendengar hal itu, Ricard menatap Hermanto untuk beberapa saat sebelum kemudian mengangguk. Sontak, pria tua itu membelakakan matanya, mencerna dalam sepersekian detik selagi menelan ludah. Detik berikutnya, ia membeku di tempat diikuti oleh yang lainya. Ricard lalu menatap satu persatu anggota keluarga Hermanto dengan saksama. Seketika ia menggeram marah.Mereka-mereka telah memperlakukan tuan muda keluarga Gandara dengan buruk selama empat tahun. Kalau saja sang tuan muda sudah mengungkapkan identitas aslinya, ia pasti akan menghajar mereka tanpa ampun. Menyadari ia yang mendadak emosional, Ricard pun buru-buru menguasai diri. Akhirnya, setelah beberapa saat terdiam, Ricard membenarkan, sekaligus memperjelas semua pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para
"Kee ... kenaaa ... paaaa ... Ayah tiba-tiba menerima Aditama?! Kenapa tiba-tiba ... Ayah memberikan restu kepada mereka berdua?!" ucap Bastian. Kemudian, rahangnya mengeras. "Apa hanya karena mereka berdua berhasil membuat perusahaan kita bekerja sama dengan Gandara corporation, Yah?!" Ucapan Bastian langsung dibenarkan oleh Susan dan Mario setelahnya. Hermanto mendengus dingin. Menatap Bastian untuk beberapa saat. "Salah satunya itu!" Jawab Hermanto dengan tegas. "Selain itu ... adalah kemauan Vania sendiri yang tetap memilih bersama Aditama!" Wajah Hermanto tampak tegas. "Kek ... apa kakek lupa? Jika kakek akan mendepak pecundang ini dari keluarga kita? Dia itu ... hanya menjadi beban bagi Vania dan juga keluarga kita saja, Kek!" ujar Mario yang secara refleks bangkit dari duduknya seraya menunjuk-nunjuk Aditama. Belum sempat Hermanto menjawab, Bastian sudah angkat suara lagi. "Yah ... dengarkan Bastian," Kemudian, ia bangkit berdiri dan duduk di samping sang Ayah."Walau Ad
Hermanto beranjak lebih dulu dari ruang tamu dengan ditemani oleh Stephanie. Pasca operasi, tentu, pria tua itu harus melakukan anjuran dari dokter demi kesembuhanya. Menghadiri pesta, bertemu dengan banyak orang. Terlebih, sempat terjadi masalah pula tadi, membuatnya mengeluarkan banyak energi. Oleh karena itu, ia harus segera beristirahat. Setelah memastikan Hermanto telah pergi, Susan segera menatap Vania. "Eh, Vania ..." Panggilan itu membuat Vania menoleh. Begitu pula dengan Aditama. Diikuti oleh yang lainnya. Selagi semua orang tengah kompak menatap ke arahnya, Susan melipat tangan di depan dada.Ia menatap Vania dengan senyuman penuh arti. Dia kemudian berkata. "Bibi curiga padamu ... kamu itu ... sudah tidur dengan Pak Jauhar, ya? Wakil Presdir Gandara corporation ... makanya ... kamu bisa mendapatkan kontrak kerja sama dengan begitu mudah?" Sontak, Vania dan Aditama kompak membelalak. Begitu pula dengan semua orang. Susan ... tengah menuduh Vania?Se
Mendengar komentar-komentar keji itu, perasaan Vania langsung campur aduk tidak karuan.Sedih, sakit hati, kecewa dan marah—menjadi satu. Wanita itu pun tidak tahan untuk tidak menangis. Seketika darah dalam diri Aditama mendidih, kesabarannya habis dan emosinya membuncah. Tentu saja ia tidak terima. Ia pun sudah tidak peduli lagi dengan keluarga Hermanto. Awalnya ia masih memiliki rasa segan dan hormat kepada mereka. Tapi setelah melihat sang istri difitnah dan apalagi sampai membuatnya menangis?Jangan salahkan dirinya jika ia akan bertindak diluar batas dan menjadi tidak terkendali. Aditama refleks bangkit dari duduknya dan langsung melemparkan tatapan mematikan ke arah satu persatu anggota lain keluarga Hermanto. "Jaga mulut-mulut kalian semua! Dengar hal ini baik-baik ... Vania tidak melakukan hal menjijikan seperti apa yang dituduhkan oleh Bibi Susan, Paman Bastian dan Mario!" Aditama menghentikan kalimatnya sejenak. Kemudian, ia mendengus jengkel. "Dia berhasil men
"Aku tidak kaget sama sekali." Jawab Aditama dengan ekspresi wajah datar. Kemudian, ia memicingkan pandangan. "Apalagi hal itu keluar dari mulut-mulut kalian yang tidak bisa dipercaya." "Kalian itu ... pasti sengaja memfitnah Vania yang tidak-tidak karena kalian merasa iri, 'kan? Dengan pencapaian, Vania?" Lanjut Aditama. Mendengar hal itu, senyum sinis di bibir Mario seketika pudar. Sedangkan Bastian dan Susan yang sedang memikirkan Bella tiba-tiba tersadar, kemudian langsung menatap Aditama. Mario pun lalu memaki dalam hati. Pasalnya, Aditama tidak terlihat terpengaruh sama sekali dengan perkataanya. Aditama lanjut berkata. "Kalian pikir ... aku akan terpengaruh dengan fitnah dari kalian semua?!" Ucapan Aditama membuat semua orang terdiam. Bastian, Susan dan Mario saling pandang satu sama lain, seakan tengah menyamakan frequensi. Sepertinya mereka tidak bisa mempengaruhi pikiran Aditama mengingat Aditama sangat mencintai Vania. Tapi Mario tidak menyerah. Ia akan berusaha
Menantu itu sungguh sudah tidak takut lagi dengan anggota keluarga Hermanto.Termasuk dengan salah satu orang yang paling dihormati di keluarga mereka sekali pun. Aditama juga terlihat sudah tidak memiliki rasa segan dan hormat lagi seperti yang dulu selalu dia tunjukan. Mendapati dirinya diperlakukan dengan rendah oleh Aditama, membuat Bastian merasa campur aduk tidak karu-karu an. Ia lalu menggerakan tanganya, berusaha lepas dari cengkraman tangan Aditama. Akan tetapi, hal tersebut sia-sia belaka karena cengkraman tangan Aditama begitu kuat. "Bajingan kau, Aditama!!!" teriak Mario selagi bergegas menghampiri Aditama dan Ayahnya dengan emosi menggebu-gebu.Dia tidak terima Ayahnya diperlakukan seperti itu oleh Aditama. "Berani kau mencengkram tangan Papaku, bangsat?!" Lanjut Mario. Sontak, Aditama menoleh ke arah sumber suara. Tapi tiba-tiba Mario sudah berada di hadapanya. Mario langsung mendorong tubuh Aditama menjauh dari hadapan sang Ayah yang membuat cengkraman pada perg
Seluruh anggota keluarga Hermanto telah pulang. Begitu pula dengan Bastian, Susan dan Mario. Sebelum beranjak, mereka bertiga menantang Aditama. Dengan mengatakan jika tidak takut dengan ancaman Aditama yang akan melaporkan mereka bertiga ke polisi. Mendengar hal itu, Aditama jadi semakin bersemangat untuk segera melalukan hal tersebut. Ia akan membuktikan jika ancamanya itu tidak main-main. Setelah semua orang pergi, Aditama dan Vania lalu berjalan masuk ke dalam hendak menemui Hermanto dan Stephanie untuk mengucapkan terima kasih atas restu yang telah diberikan. Di dalam kamar kepala keluarga Hermanto, pria tua itu sedang menyenderkan punggung di tepi tempat tidur. Sudah bersiap hendak tidur.Melihat kedatangan mereka berdua, membuat Hermanto mengurungkan niat. Vania duduk di samping sang kakek. Sedangkan Aditama berdiri di sebelah sang istri. "Kakek ... hanya menuruti permintaanmu saja, Van." Ucap Hermanto setelah terdiam sebentar, menatap Vania dengan lekat. Mende
Aditama dan Vania kompak terdiam untuk beberapa saat. Detik berikutnya, Aditama mengulas senyum seraya mengangguk—membenarkan pertanyaan ibu mertua. Mata Stephanie melebar!Mencerna dalam sepersekian detik, lalu tercengang. Walau ia sudah tahu hal itu dari Vania, tapi tetap saja kaget. Mendapat uang warisan sebanyak 1 triliun? Itu sangat lah banyak! Pasti, Aditama akan langsung diterima dikeluarga Hermanto jika mereka mengetahuinya. Namun tiba-tiba Stephanie tersadar dan buru-buru menguasai diri.Kemudian, ia kembali menatap Aditama, pandangannya memicing. "Apakah ... sebenarnya kamu itu membeli kalung seharga 31 miliar ... bukan hasil meminjam uang dari Ricard? Melainkan menggunakan uangmu sendiri, Tam?" tanya Stephanie lagi dengan suara tercekat, tertinggal di tenggorokan. Hendak memastikan hal itu. Aditama mengangguk lagi. Sontak, Stephanie mengerjap sebelum kemudian tercengang lagi. Walau sebenarnya ia juga sudah menebak hal itu, tapi tetap saja kaget saat menge