Tentu semua orang tidak langsung percaya begitu saja mendengar hal itu. Akan tetapi, Aditama tidak mempedulikanya. "Terserah kalian mau percaya atau tidak ... aku tidak ambil pusing karena yang terpenting bagiku adalah ... perusahaan keluarga Hermanto telah menjalin kerja sama dengan Gandara corporation." ucap Aditama dengan tegas. Kemudian, ia pindah menatap Bastian untuk beberapa saat. "Dan sesuai janji Paman, jika hal itu terwujud. Maka, Paman tidak jadi memecat Vania dan harus kembali mempekerjakan Vania di perusahaan keluarga Hermanto!" kata Aditama lagi sambil membusungkan dada.Bastian terdiam mendengar hal itu. Seketika teringat dengan janjinya waktu itu. Begitu pula dengan semua orang.Di saat ini, Vania berujar, "Aku tahu ... kalian semua tidak percaya," Kemudian, ia menghela nafas berat. "Aku harus bagimana ... aku harus menunjukan bukti apa lagi kepada kalian ... biar kalian percaya jika perusahaan kita telah bekerja sama dengan Gandara corporation?" Semua orang k
Vania kembali menatap Bastian. "Bisa," jawab Vania dengan dingin setelah terdiam sebentar. Tak terlihat ada keraguan sedikit pun pada ekspresi wajah dan ucapannya itu. Bastian mengerjap diikuti oleh yang lain. Setelah mengatakan hal itu, Vania langsung merogoh tas, mengeluarkan ponsel dari dalam sana dan kemudian langsung menghubungi wakil direktur Gandara corporation melalui pesan. Sebenarnya Vania merasa agak cemas jika wakil direktur tidak langsung membalas pesannya—apalagi dirinya bukan orang penting yang pesannya harus segera dibalas saat itu juga. Akan tetapi, kecemasan Vania tak berlangsung lama karena pesannya ternyata langsung dibalas oleh sang wakil direktur. Hal tersebut tentunya membuat Vania kegirangan bukan main. Namun di sisi lain, ia merasa ... heran.Kenapa seorang wakil direktur perusahaan konglomerat multinasional langsung membalas pesannya?Padahal ... ia bukan orang penting dan berpengaruh! Akan tetapi, Vania buru-buru menggelengkan kepalanya, tak ma
Mendengar hal itu, anggota keluarga Hermanto menjadi kasak-kusuk. Agak terpengaruh.Vania tersenyum kecut, lalu menyodorkan ponselnya kepada Edward. Dengan ekspresi wajah buruk, muka merah padam, Edward menerima ponsel itu setengah merebut. Lalu, Edward dan sang Ayah segera mengecek nomor ponsel yang mereka berdua miliki dengan yang ada di ponsel Vania.Selagi mereka berdua tengah fokus pada layar ponsel, anggota keluarga Hermanto menunggu dengan agak gelisah karena takut jika nomornya berbeda. Tiba-tiba Edward dan sang Ayah melotot, kemudian membeku di sofa untuk beberapa saat. Melihat mereka berdua bersikap demikian, semua orang langsung mengajukan pertanyaan. "Bagimana, Ed?" "Nomornya sama atau berbeda?""Itu ... benar-benar nomornya wakil direktur Gandara corporation atau tidak?!" Mendengar pertanyaan-pertanyaan itu tak elak membuat mereka berdua tersadar. Akan tetapi, mereka berdua tidak mempedulikannya, malah kembali melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Seperti
Mendengar hal itu, seketika Haryadi dan Edward menjadi gelagapan. "Iya! Benar itu!" sambung Bastian yang secara refleks bangkit berdiri sambil menunjuk-nunjuk ke arah mereka berdua dengan wajah mengeras. Bastian bukan bermaksud berpihak dan setuju dengan Aditama—lagi pula ia tak sudi. Akan tetapi, ia hendak menyampaikan apa yang menjadi kecurigaannya terhadap mereka berdua. "Saya menduga jika kedatangan kalian berdua ke sini itu bukan semata-mata karena mau menjenguk Ayah. Tapi, pasti ada niat buruk dibaliknya! Iya, 'kan?!" seru Bastian lagi dengan gigi gemeretak. "Bagimana tidak? Hubungan keluarga kita sudah tak baik lagi sejak kejadian di hotel Gandhi Life itu!" Seketika wajah Haryadi dan Edward menggelap, sepertinya sudah tidak perlu menyembunyikan kepura-puraan lagi di depan mereka. Sementara itu, tiba-tiba Hermanto mengerjap kala teringat sesuatu. Ia pun menghadap Bella dan berujar, "Tadi kamu bilang ... jika ... Bintoro Group sudah tidak bekerja sama dengan Gandara corp
Malam hari, setelah selesai makan, Aditama dan Vania melanjutkan menonton TV bersama sembari bermesraan, ditemani camilan dan minuman. Selagi mereka berdua tengah fokus pada tayangan acara TV, tiba-tiba Vania mengerjap kala teringat sesuatu, lalu ia segera menarik kepala dari lengan sang suami. Melihat hal itu, Aditama menoleh ke arah Vania sembari mengernyitkan dahi. Ada apa?Vania lalu memperbaiki posisi duduk lebih dulu, menghadap Aditama. "Bagimana jika ... unit apartemen yang kita sewa ini ... kita beli saja, Tam?" Rahang Aditama mengeras mendengar hal itu.Selama sesaat, ia tampak berpikir. Akhirnya, setelah beberapa saat berpikir, Aditama mengangguk dan berujar. "Boleh." Dalam hati, Aditama tertawa. Asal Vania tahu saja, jika sebenarnya, unit apartemen yang mereka berdua tempati sekarang ini—memang telah menjadi milik mereka berdua—Aditama tak menyewanya. Waktu itu, tentu saja, ia harus berbohong kepada Vania supaya alasan tersebut terdengar masuk akal. Namu
Vania meletakan ponselnya di atas meja, kemudian menghempaskan punggung ke sandaran sofa lagi seraya melipat tangan di depan dada—dengan wajah tertekuk—kentara sekali jika wanita itu sedang kesal. "Pesan dari grup chatting teman-teman kuliahku dulu, Tam. Mereka membicarakan acara reuni yang akan diadakan dan itu ... membuat suasana hatiku langsung menjadi buruk!" Jelas Vania dengan emosi yang meluap-luap. Kemudian, ia menghela nafas panjang dan menghembuskannya dengan kasar—untuk mencoba meredakan emosinya. Suasana hatinya benar-benar berantakan setelah membaca isi pesan di group chat teman-teman kuliahnya dulu. "Dan yang lebih mengesalkannya lagi adalah ... mereka menyindirku, Tam ... mengejekku dan membujuku biar aku datang ke acara reuni kali ini dengan mengajak kamu!" Kata Vania lagi. Wajahnya tampak tegas sekaligus masih bercampur kesal. Di tahun pertama pernikahan mereka, Vania mengajak Aditama menghadiri acara reuni teman-teman kuliahnya dulu. Dikarenakan ia menikah d
"Bisa kah kamu datang ke rumah kontrakan mama sekarang, Tama?" ucap sang ibu dengan suara terdengar risau. "Ada hal yang ingin mama sampaikan kepadamu." Aditama mengernyitkan dahi. "Apa yang hendak mama sampaikan? Kenapa mama urung bercerita barusan?" sambar Aditama dengan nada mendesak. "Lanjutkan perkataan mama barusan saja ... jangan membuat Tama khawatir, ma." "Papa sakit keras, Tama ... dan ... mama ... memutuskan kembali ke rumah ... ke keluarga besar Gandara." Jawab sang ibu setelah terdiam sesaat. Aditama melotot mendengar hal itu dan kemudian membeku untuk beberapa saat. "S-secepat ... itu kah, ma?" balas Aditama dengan terbata. "Tama ... papamu sedang sakit keras dan kita harus cepat kembali!" Nada suara sang ibu terdengar mendesak dan dipenuhi kecemasan.Hal tersebut membuat Aditama terdiam, mendadak memikirkan perkataan sang ibu. "Kamu ke sini saja ya ... kita bicarakan secara langsung." Ucapan sang ibu membuat Aditama tersadar. Akan tetapi, matanya malah menutu
Akan tetapi, Aditama tidak menjawab perkataan sang ibu, malah menghempaskan punggung ke sandaran kursi dengan tatapan mata lurus ke depan seraya melipat tangan di depan dada. "Mama dulu saja yang kembali." ucap Aditama tanpa menoleh ke arah sang ibu pada akhirnya setelah terdiam sesaat. Dia kemudian menambahkan. "Aku belum siap kembali dan rasanya ... aku masih belum percaya saja mengenai kondisi ... papa itu." Mendengar jawaban Aditama, membuat Sophia menghela nafas berat dan memasang wajah tak berdaya diikuti Panji setelahnya. Aditama tidak percaya jika sang Ayah sedang sakit keras?Dan apakah itu artinya ... ia juga belum bisa memaafkan dan menerima sang Ayah kembali? Masih marah? Akhirnya, setelah beberapa saat terdiam, Sophia menatap putra satu-satunya itu dengan lembut. "Kalau itu keputusanmu ... mama hargai, Tam. Mama mengerti. Mama akan berikan kamu waktu untuk berpikir." ucap Sophia. "Tapi mama mohon kepadamu ... pikirkan lah hal tersebut secepatnya. Mama tidak ingin