Arin terlihat sedang berjalan dengan langkah cepat dan bergegas, dengan ekspresi wajah panik, muka pucat pasi, serta tubuh gemetaran hebat ke arah sang manager, Evita dan pria yang sedang mereka berdua layani itu.Melihat kedatangan Arin yang seperti baru melihat hantu, membuat perhatian ketiga orang tersebut teralihkan.Tiba di hadapan mereka, Arin tidak langsung bicara, melainkan menghembus-hembuskan napas dengan berat lebih dulu untuk meredakan ngos-ngos san yang tengah ia rasakan.Pasalnya, keadaan dirinya benar-benar sangat kacau.Sang manager mengernyitkan dahi. "Ada apa denganmu, Rin?" tanya sang manager, kemudian mengamatinya."Kenapa ... kamu terlihat panik dan gugup begitu, Rin?" sambung Evita yang diikuti tatapan keheranan pria itu. Arin tidak langsung menjawab, kepanikan yang tengah melandanya belum sepenuhnya reda. Hal tersebut membuat ketiga orang itu jadi tambah semakin bingung.Selama sesaat, Arin mengigit bibirnya kuat-kuat. Ia juga bingung hendak memberitahu hal me
Sementara itu, setelah Arin pergi, Vania langsung menghadap sang suami dengan perasaan tak karu-karuan."Tama ... jelaskan kepadaku sekarang juga ... kenapa kamu bisa memiliki black card?!" tanya Vania dengan suara meninggi dan wajah mengeras.Mendadak, Vania merasakan kepalanya begitu berat, pandangannya berkunang-kunang setelah sang suami mengeluarkan black card dari dalam dompetnya.Sontak, tanah di bawah kaki Vania seakan hancur. Dia terasa ingin jatuh.Ia tahu banyak tentang black card.Black card adalah kartu hitam super eksklusif keluaran american express, sebuah bank Amerika legendaris. Black card dapat memberikan previliege mustahil bagi para penggunanya. Bukan hanya kartu terbatas saja, kartu kredit itu juga akan membuat para penggunanya mendapatkan prioritas nomor satu di mana saja. Selain itu, tidak semua miliarder berkesempatan menjadi pengguna black card. American Express selaku provider melakukan penilaian sendiri terhadap orang-orang yang berhak menerima black card.
Evita langsung gelagapan. Tapi, ia buru-buru menguasai diri."Sekarang banyak sekali kartu seperti itu yang dijual di marketplace ... saya pernah melihatnya ... stiker dan logonya itu hanya tempelan ... sehingga bisa mirip dengan yang aslinya!" ucap Evita. Kemudian, ia beralih menatap Aditama. "Pasti ... Anda membeli black card itu di marketplace, 'kan?! Ngaku Anda!" Mendengar hal itu, sudut bibir Aditama malah terangkat dan membentuk senyuman penuh arti. Kemudian, ia malah tersenyum miring. Hal tersebut membuat Evita mengerjap, kemudian malah terlihat ragu dengan apa yang baru saja diucapkannya. Sementara Vania mengernyitkan dahi, mencerna perkataan Evita.Benar kah? Jika black card milik Aditama itu ... palsu? Akan tetapi, Vania menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin black card itu palsu. Ia mengetahui banyak hal tentang black card. Termasuk ciri-ciri yang membedakan, mana black card asli dan palsu.Dan ... milik sang suami ... asli! Mendadak, Vania merasa geram dengan Evita
Plak! Plak! Plak! Sang presdir melayangkan tamparan keras di pipi manager, satpam dan Evita bergantian. "Saya kan sudah pernah bilang sebelumnya kepada kalian ... apa perlu saya mengatakan hal itu berkali-kali?!" bentak sang presdir dengan emosi menggebu.Kemudian, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Seharusnya hal seperti ini tidak terjadi! Kalian ... telah merusak nama baik showroom karena ulah kalian yang tidak becus ini dalam bekerja!" "Lihat ... tuan ini yang berpenampilan seadanya dan hanya mengenakan sandal jepit ... yang kalian sangka tidak punya uang dan tidak bisa membeli mobil di sini ... tapi ... ternyata beliau adalah pemegang black card!" Kata sang presdir lagi dengan kemarahan membara selagi menunjuk-nunjuk Aditama yang seketika membungkam mereka bertiga dalam tundukan kepala. Sang presdir lanjut berkata. "Asal kalian tahu saja ... bahkan tuan dan nyonya ini bisa membeli gedung showroom ini sekalian dan harga diri kalian pun bisa dibeli dengan sangat mudah oleh m
Rahang Aditama mengeras, pandangannya menatap lurus ke depan.Lalu, matanya menutup seiring menghela napas pelan. Ia telah siap, menceritakan semuanya kepada Vania. Ia akan berkata jujur, tanpa ada yang ditutup-tutupi lagi.Akhirnya, setelah beberapa saat terdiam, ia membuka mata dan berkata. "Sebenarnya ... aku adalah pewaris keluarga Gandara, Van. Aku adalah putra tunggal keluarga Gandara."Sontak, mata Vania melebar. Mencerna jawaban Aditama dalam sepersekian detik, kemudian melipat tangan di depan dada dan menghadap sang suami dengan alis tertaut. "Apa yang baru saja kamu katakan, Tam? Kamu ... adalah ... pewaris ... keluarga Gandara? Kamu ... adalah putra tunggal ... keluarga Gandara?" Vania mengulangi perkataan sang suami dengan hati-hati dan terbata, memastikan ia tidak salah dengar. Aditama menoleh—menatap Vania untuk beberapa saat, kemudian mengangguk pelan.Vania mengerjap sebelum kemudian tertegun. Tiba-tiba ia menggeleng. "Tama ... kalau kamu mau bercanda—" Adita
"Aku dan ibuku sudah diusir, Van. Aku dan ibuku juga sudah saling berjanji satu sama lain untuk melupakan Laksana Gandara dan keluarga Gandara!" ucap Aditama tegas. Dia kemudian menambahkan. "Itu lah alasannya mengapa aku dan ibuku harus berbohong kepadamu, dan keluargamu!" "Tapi, tiba-tiba, Panji, kepala urusan rumah tangga keluarga Gandara datang menemuiku disaat aku dan ibuku sedang membutuhkan bantuan." "Selain itu, dia juga mengabarkan kondisi Ayah yang katanya tidak baik, dia memintaku untuk kembali menjadi ahli waris dan meneruskan bisnis keluarga Gandara." "Sepertinya ... Ayah mau pun Panji sudah mengetahui keberadaanku dan ibu ... sudah mengawasi kami belakangan ini." Kata Aditama lagi. Mendengar hal tersebut, Vania tertegun—tidak kunjung menimpali perkataan sang suami.Akan tetapi, ia bisa menerima alasan Aditama dan ibunya. Setelah tersadar, ia menatap sang suami untuk beberapa saat. "Sejak kapan ... kepala urusan rumah tangga keluarga Gandara mendatangimu, Tam?" ta
Di meja makan kediaman keluarga Hermanto, terlihat Aditama, Vania dan sang kakek sedang duduk di kursi masing-masing. Mereka bertiga tengah makan malam bersama. Akan tetapi, bagi Vania dan Aditama, terlihat seperti bukan makan malam biasa. Pasalnya, hidangan di atas meja adalah hidangan spesial. Hal tersebut terlalu berlebihan jika hanya untuk menjamu mereka berdua. Sudah dipastikan jika keluarga Hermanto memang sengaja memasak khusus untuk mereka berdua. Di sisi lain, hal tersebut membuat Aditama dan Vania sedikit heran. Tak pernah sekali pun mereka berdua dijamu sedemikian rupa seperti saat ini.Biasanya, keluarga Hermanto akan menjamu seperti itu jika sedang ada acara atau ada tamu penting saja. Mereka berdua pun menjadi bertanya-tanya. Malam ini, Aditama dan Vania mengunjungi kediaman keluarga Hermanto untuk memenuhi undangan makan malam sang kakek.Di perjalanan tadi, mereka berdua saling berdiskusi, kira-kira, apa yang akan sang kakek bicarakan? Tidak mungkin kan ... s
Melihat hal itu, Vania seketika merasa cemas.Bagimana jika sang kakek marah? Tidak mengabulkan permintaanya? Akan tetapi, ia menggeleng, berharap sang kakek tidak bersikap demikian. Selagi sang kakek terdiam kaget, Vania angkat suara. "Kek ... kalau bukan karena Aditama ... kalau bukan karena teman dekatnya Aditama ... perusahaan kita tidak akan bisa bekerja sama dengan Gandara corporation!" Dia kemudian menambahkan. "Jadi ... bisa dibilang ... Aditama juga memiliki peranan dan andil yang besar dalam terjalinnya kerja sama ini." Vania mencoba meyakinkan sang kakek. Mendengar hal tersebut, Hermanto mengerjap—tersadar—kemudian balik menatap Vania."Kakek ada pertanyaan untukmu Van," ucap Hermanto pada akhirnya sambil memperbaiki posisi duduk. Kemudian, ia menatap sang cucu dengan lekat. "Apakah ... kamu benar-benar telah mencintai Aditama sepenuhnya?" tanya Hermanto dengan hati-hati, sesekali menatap ke arah Aditama. Tanpa pikir panjang, Vania mengangguk cepat. Kentara jika tid