“Ini sudah selesai semua, Pak,” ucapnya lagi sambil menepuk-nepuk tangan yang berdebu.“Oke. Saya bawa ke mobil.” Berjalan menghampiri, mengangkat kardus besar berisi barang-barang Raihan serta Mayla kemudian meletakkannya di dalam mobil.“Ini, Pak.” Aku terkesiap ketika Andita sudah ada di belakang dan menyodorkan satu buah kardus lainnya.Biar badannya kecil, ternyata dia kuat juga ngangkat barang berat. Nggak sia-sia punya karyawati seperti dia. Sudah rajin, jujur, supel, kuat lagi.“Jangan diliatin terus. Belum halal!” celetuk Ibu membuat diri ini menjadi salah tingkah.Andita tersenyum manis, memamerkan cerukan di pipi yang membuat dia bertambah memesona.“Memangnya Bu Mayla nggak balik lagi ke sini, Pak?” tanya Andita seraya menggeser kardus.“Nggak, An,” jawabku.“Berarti Bapak ikut tinggal di Tegal juga dong?” tanyanya lagi, menatap penasaran wajah ini.Ah, tatapannya biasa-biasa saja, kok. Nggak ada tanda-tanda cinta di dalam sana. Dasar Ibu suka ngarang.“Nggak juga, An. Say
"Kenapa ngerem mendadak seperti ini sih, Pak. Jidat saya jadi benjol nih!" protesnya sembari menunjukkan benjolan di dahi."Maaf, saya tidak sengaja!""Akhir-akhir ini Bapak terlihat aneh. Doyan marah-marah. Nggak kaya Pak Bram yang aku kenal. Jangan-jangan, Bapak lagi PMS ya? Jadi uring-uringan.""Kamu anak kecil mana ngerti urusan orang dewasa!""Aku udah dua puluh lima tahun, Bapak. Kecil dari mananya. Tetangga saja sampai ngasih julukan sama aku perawan tua!""Kamu perawan tua, saya bujang lapuk!" Tertawa renyah sambil menatap wajah imut Andita."Nggak jelas banget, ih!" Dahi gadis berbulu mata lentik itu berkerut-kerut sambil menatap wajahku dengan mimik heran."Berarti kita punya julukan yang sama, An!" Lagi, aku tertawa ngakak. Menertawakan nasibku yang selalu susah mendapatkan jodoh, walaupun tampangku cukup lumayan tampan. Banyak yang bilang wajahku mirip sekali dengan Omar Daniel.Tapi, entah mengapa dengan wajah seperti ini aku justru sulit mendapatkan jodoh. Mungkin Allah
“Saya kesini hanya mau mengantarkan barang-barang milik Mayla. Itu saja. Sekalian mau minta maaf karena sudah mengganggu hidup kalian.”Gus Azmi menghela napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Ada kelegaan yang tergambar, juga senyum yang terkembang lebar.“Ya sudah. Saya permisi dulu. Titip Mayla. Jangan pernah sakit hatinya seperti dulu Ibnu melakukan hal itu kepadanya. Karena jika njenengan sampe menyakiti hati Mayla, njenengan akan berhadapan dengan saya. Assalamualaikum!” Aku berujar sambil menepuk pundak Gus Azmi kemudian masuk ke dalam mobil.“Mas Bram. Sekali lagi saya minta maaf. Tolong jangan ada dendam yang tersimpan. Sungguh. Saya merasa sangat bersalah kepada sampean.”Aku mengangkat satu tangan, mencoba mengulas senyum seikhlas mungkin, walaupun bibir terasa kaku.“Hai perawan tua, romannya sibuk amat?” sapaku meledek Andita yang sedang sibuk melayani para pengunjung.“Apa sih, Bujang lapuk. Saya lagi sibuk, jangan ganggu!” sahut perempuan berkerudung abu-abu itu t
Andita membuang muka menghindari tatapanku. Apa ini saatnya dia jujur bahwa sebenarnya dia menyimpan rasa kepadaku seperti apa yang dikatakan oleh Ibu?Ah, jangan terlalu gede rasa, Bram.“Maaf, Pak. Saya mau beres-beres barang yang baru datang. Permisi!” Dia beranjak dari duduknya, membuatku spontan mencekal lengannya.Andita menatap wajahku kaget. Hingga tanpa sengaja pandangan kami salin berserobok.“Duduk dulu, An. Saya belum selesai bicara sama kamu,” lirihku dan segera dituruti oleh wanita berparas cantik itu.“Memangnya ada apa lagi, Pak?” Dia menatapku canggung.Aku mengangkat kedua ujung bibir.“Saya penasaran, kepingin tahu siapa wanita yang mencintai saya. Mau saya lamar!” godaku.“Ba–Bapak serius?”“Iya, serius.”Andita menggigit bibir bawahnya yang terlihat gemetar. Aku terkekeh melihat ekspresinya itu. Lucu, lugu, menggemaskan.“Noh, kan. Bapak belum apa-apa sudah tertawa. Pak Bram mah nggak asyik!” rutuknya sambil memonyongkan bibir manja.Aku menatap lamat-lamat wajah
“Maa syaa Allah, Habibi qolbi. Kenapa malah menangis? Apa Mas menyakiti perasaan kamu? Dan, untuk apa kamu minta maaf?” Dia mengangkat daguku, mengusap air mata yang terus saja berlomba-lomba meluncur dari kedua sudut netra dengan ujung-ujung jarinya.Aku menghambur ke dalam pelukannya. Merengkuh tubuhnya yang terasa lebih berisi dengan erat, menumpahkan kembali air mata yang tidak jua bisa aku bendung.“Jangan tinggalkan aku ya, Mas,” ucapku lagi.Gus Azmi mengangkat wajahku yang kubenamkan di dada bidangnya. Entah mengapa perasaanku semakin kesini semakin sensitif. Mudah sekali terbawa perasaan, merasa takut kembali ditinggalkan oleh orang yang aku cintai.Sebab, selama enam bulan menikah dengan guru ngaji putraku, perlahan tetapi pasti cinta itu menelusup ke dalam hati, terpatri erat dalam sanubari. Bagiku, tidak begitu sulit untuk mencintai seorang Gus Azmi. Lelaki penuh dengan kelembutan, kasih sayang serta kesabaran yang tiada habis-habisnya.Dia tidak pernah berkata kasar ataup
Kebiasaan, main gendong-gendong saja tanpa memberi kode atau aba-aba. ‘Kan, aku kaget jadinya.“Memangnya nggak berat gendong adek, Mas?” tanyaku seraya mengalungkan tangan di leher Gus Azmi. Takut dia tidak kuat menopang tubuhku yang semakin menggendut akhir-akhir ini. Berat badan saja sudah naik lima kilo, padahal usia kehamilan masih sangat muda. Tidak bisa dibayangkan jika sudah hamil tua nanti.Gus Azmi merebahkan tubuhku perlahan di atas pembaringan, menatap intens wajahku sambil sesekali menyunggingkan bibir tipisnya.“Sebenarnya kamu itu berat sekali loh, Dek. Tapi, Mas seneng karena Allah masih memberikan tenaga kepada Mas untuk meggendong wanita yang Mas cintai.” Dia berujar pelan.Gus Azmi berbaring miring di sebelahku, dengan satu tangan menopang kepala, sementara tangan yang satunya terus saja mengusap-usap perut gendutku.“Dek Mayla tambah cantik sekarang. Semenjak hamil, auranya itu berbeda. Lebih terlihat memesona, bikin Mas tambah dek-dekan kalau sedang bersama Adek!”
“Silakan keluar dari tempat ini jika kamu hanya ingin membuat onar. Aku tidak mau menerima tamu laki-laki pecundang seperti kamu, Mas!” usirku murka.“Sombong sekali kamu, Mayla.” Dia mengangkat satu ujung bibir.“Aku datang ke sini bukan untuk menemui kamu. Tapi menemui anakku. Raihan!”Aku beranjak dari duduk. Berjalan terburu-buru keluar, mencari Raihan di lapangan karena kata para santri dia sedang bermain bola. Biarpun Mas Ibnu selalu menyakiti hatiku juga tidak pernah menganggap kami ada, tapi dia tetap ayah biologisnya Raihan. Masih memiliki hak untuk bertemu dengan sang anak.Dengan berjalan setengah berlari malaikat kecilku itu menghampiri. Menyalami serta mencium punggung tanganku, diikuti oleh santri-santri lainnya yang sedang bermain dengannya.“Ada Papa. Ayo temui beliau,” ucapku pelan, sembari mengusap keringat yang menitik di dahi Raihan menggunakan telapak tangan.“Iya, Ma.” Putraku mengangguk dan langsung berjalan mengikutiku.“Kamu jangan terlalu capek, Rei. Kaki kam
Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sembilan malam. Mas Ibnu belum juga datang mengantar Raihan pulang ke rumah, membuat hatiku kian dilanda gelisah. Takut dia membawa Raihan menjauh dariku.“Mas, kok Raihan belum pulang juga ya?” tanyaku seraya duduk di sebelah Gus Azmi dan menyandarkan kepala di bahu pria bertubuh tegap itu.“Mungkin masih diajak muter-muter sama Papanya. Kamu yang tenang dong, sayang ....” Dengan lembut dia membelai rambutku yang tergerai.“Gimana aku mau tenang kalau begini, Mas. Njenengan juga sih, pake ngizinin Mas Ibnu bawa Raihan!” sungutku mulai sedikit emosi.“Mas minta maaf.”Aku mendengkus kesal.Beranjak dari sofa, pindah ke dalam kamar karena kaki serta kepalaku mulai terasa sakit.Mengambil minyak kayu putih yang tergeletak di bawah bantal, menuangkannya di telapak tangan kemudian membalurkannya di betis serta paha yang terasa ngilu.“Sini, Dek. Biar Mas saja yang pijat kakinya.” Gus Azmi mengambil minyak kayu putih dari tanganku, meletakkan kedua