“Maa syaa Allah, Habibi qolbi. Kenapa malah menangis? Apa Mas menyakiti perasaan kamu? Dan, untuk apa kamu minta maaf?” Dia mengangkat daguku, mengusap air mata yang terus saja berlomba-lomba meluncur dari kedua sudut netra dengan ujung-ujung jarinya.Aku menghambur ke dalam pelukannya. Merengkuh tubuhnya yang terasa lebih berisi dengan erat, menumpahkan kembali air mata yang tidak jua bisa aku bendung.“Jangan tinggalkan aku ya, Mas,” ucapku lagi.Gus Azmi mengangkat wajahku yang kubenamkan di dada bidangnya. Entah mengapa perasaanku semakin kesini semakin sensitif. Mudah sekali terbawa perasaan, merasa takut kembali ditinggalkan oleh orang yang aku cintai.Sebab, selama enam bulan menikah dengan guru ngaji putraku, perlahan tetapi pasti cinta itu menelusup ke dalam hati, terpatri erat dalam sanubari. Bagiku, tidak begitu sulit untuk mencintai seorang Gus Azmi. Lelaki penuh dengan kelembutan, kasih sayang serta kesabaran yang tiada habis-habisnya.Dia tidak pernah berkata kasar ataup
Kebiasaan, main gendong-gendong saja tanpa memberi kode atau aba-aba. ‘Kan, aku kaget jadinya.“Memangnya nggak berat gendong adek, Mas?” tanyaku seraya mengalungkan tangan di leher Gus Azmi. Takut dia tidak kuat menopang tubuhku yang semakin menggendut akhir-akhir ini. Berat badan saja sudah naik lima kilo, padahal usia kehamilan masih sangat muda. Tidak bisa dibayangkan jika sudah hamil tua nanti.Gus Azmi merebahkan tubuhku perlahan di atas pembaringan, menatap intens wajahku sambil sesekali menyunggingkan bibir tipisnya.“Sebenarnya kamu itu berat sekali loh, Dek. Tapi, Mas seneng karena Allah masih memberikan tenaga kepada Mas untuk meggendong wanita yang Mas cintai.” Dia berujar pelan.Gus Azmi berbaring miring di sebelahku, dengan satu tangan menopang kepala, sementara tangan yang satunya terus saja mengusap-usap perut gendutku.“Dek Mayla tambah cantik sekarang. Semenjak hamil, auranya itu berbeda. Lebih terlihat memesona, bikin Mas tambah dek-dekan kalau sedang bersama Adek!”
“Silakan keluar dari tempat ini jika kamu hanya ingin membuat onar. Aku tidak mau menerima tamu laki-laki pecundang seperti kamu, Mas!” usirku murka.“Sombong sekali kamu, Mayla.” Dia mengangkat satu ujung bibir.“Aku datang ke sini bukan untuk menemui kamu. Tapi menemui anakku. Raihan!”Aku beranjak dari duduk. Berjalan terburu-buru keluar, mencari Raihan di lapangan karena kata para santri dia sedang bermain bola. Biarpun Mas Ibnu selalu menyakiti hatiku juga tidak pernah menganggap kami ada, tapi dia tetap ayah biologisnya Raihan. Masih memiliki hak untuk bertemu dengan sang anak.Dengan berjalan setengah berlari malaikat kecilku itu menghampiri. Menyalami serta mencium punggung tanganku, diikuti oleh santri-santri lainnya yang sedang bermain dengannya.“Ada Papa. Ayo temui beliau,” ucapku pelan, sembari mengusap keringat yang menitik di dahi Raihan menggunakan telapak tangan.“Iya, Ma.” Putraku mengangguk dan langsung berjalan mengikutiku.“Kamu jangan terlalu capek, Rei. Kaki kam
Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sembilan malam. Mas Ibnu belum juga datang mengantar Raihan pulang ke rumah, membuat hatiku kian dilanda gelisah. Takut dia membawa Raihan menjauh dariku.“Mas, kok Raihan belum pulang juga ya?” tanyaku seraya duduk di sebelah Gus Azmi dan menyandarkan kepala di bahu pria bertubuh tegap itu.“Mungkin masih diajak muter-muter sama Papanya. Kamu yang tenang dong, sayang ....” Dengan lembut dia membelai rambutku yang tergerai.“Gimana aku mau tenang kalau begini, Mas. Njenengan juga sih, pake ngizinin Mas Ibnu bawa Raihan!” sungutku mulai sedikit emosi.“Mas minta maaf.”Aku mendengkus kesal.Beranjak dari sofa, pindah ke dalam kamar karena kaki serta kepalaku mulai terasa sakit.Mengambil minyak kayu putih yang tergeletak di bawah bantal, menuangkannya di telapak tangan kemudian membalurkannya di betis serta paha yang terasa ngilu.“Sini, Dek. Biar Mas saja yang pijat kakinya.” Gus Azmi mengambil minyak kayu putih dari tanganku, meletakkan kedua
“Ya Allah, Sayang. Kenapa kamu keluar? Ini sudah malam, loh.” Mata teduh si pemilik rahang tegas tidak lepas dari wajahku. Aku lihat ada sorot kecewa juga marah di dalam netranya, yang berusaha dia sembunyikan dariku.“Jangan pergi. Jangan tinggalkan Adek, Mas. Adek minta maaf!”“Sayang, dengerin Mas. Mas mau nyari Raihan dulu. Mas mau buktiin ke Adek, kalau Mas juga sangat menyayangi Raihan putra kita!” Dia membingkai wajahku dengan kedua telapak tangan.“Adek ikut!”Gus Azmi mendesah berat.“Kamu itu sedang mengandung, Dek. Nggak mungkin Mas bawa kamu muter-muter cari Raihan, sementara kita saja belum tahu ke mana Mas Ibnu membawa putra kita pergi.”“Pokoknya Adek ikut!” Menggamit tangan Gus Azmi dengan erat.Pria berjaket hitam itu menyentak napas. Sepertinya dia sudah mulai terbakar emosi menghadapi kelakuanku.“Dek, Kalau kamu ikut, bisa bahaya buat calon anak kita. Apa kamu juga tidak pernah memikirkan keselamatan calon anak-anak kita, Dek!” Terdengar ada emosi yang tertahan dar
Tidak lama kemudian datang seorang dokter laki-laki bersama dua orang perawat. Mereka terlihat sibuk dengan tugas masing-masing. Satu orang perawat memasangkan infus di tangan, sedang yang satunya lagi membantu dokter menyiapkan alat yang entah apa namanya aku tidak tahu.Sebenarnya sedikit merasa kurang nyaman karena harus ditangani oleh dokter laki-laki. Tetapi keadaannya sudah gawat darurat. Dan kata pihak rumah sakit, hanya ada dokter laki-laki yang sedang berjaga pagi ini. Itupun sudah hampir pulang setelah selesai membantu persalinan.Dokter menyuruhku melipat kaki dan membukanya lebar-lebar, persis seperti orang mau melahirkan. Aku hanya bisa pasrah. Pun dengan suami yanh sejak tadi terlihat begitu gelisah.“Ambil kasa, Lin!” Terdengar dokter berkacamata itu memerintah salah seorang asistennya.“Ini ada kontraksi ya, Bu, Pak. Sama keluar flek sedikit,” terang dokter seraya terus memeriksa.“Apa yang Ibu rasakan saat ini? Apa perut bagian bawah Ibu terasa kencang?” Dia bertanya
POV Gus Azmi Menatap lamat-lamat wajah istri yang terbaring di atas ranjang sambil menggenggam jemarinya. Rasanya sedih sekali melihat dia seperti ini. Meringis kesakitan, bahkan sekarang tidak bisa bergerak bebas. Aku menyesal karena telah membuat dirinya bersedih. Menitikkan air mata, hingga dia mengalami kontraksi karena terlalu banyak pikiran juga kelelahan. Aku suami lalai. Tidak bisa menjaga istri serta calon bayi kembarku yang ada si dalam rahim belahan jiwaku. ‘May. Kamu tenang saja. Aku juga sudah menganggap Raihan seperti anak aku sendiri. Kamu hati-hati di situ. Jaga kesehatan dan jangan telat makan. Nanti mag kamu kambuh.’ Ah, kenapa kata-kata Mas Bram tadi terus saja terngiang di telinga, menghadirkan rasa sesak di dalam dada, karena sepertinya laki-laki berambut panjang itu masih begitu memperhatikan Dek Mayla. Apa cintanya kepada istriku masih begitu besar, tidak luntur sedikit pun walaupun dia tahu statusnya sekarang ini adalah milikku? Cemburu? Itu pasti. Takut
Setelah menempuh perjalanan sekitar tujuh jam, akhirnya sampai juga di depan toko bunga milik Mas Abraham. Ada perasaan bersalah menelusup ke dalam hati saat melihat pria berambut panjang itu sedang duduk termenung sendiri di depan toko, sebab aku telah merebut wanita yang teramat dia cinta.Namun, semua itu sudah suratan takdir dari Sang Pemilik Hati. Aku harus bersyukur serta berterima kasih karena dia telah menjaga jodohku.“Assalamualaikum, Mas!” sapaku pelan.“Waalaikumussalam. Maa syaa Allah. Njenengan sudah sampai, Gus?” Dia menjawab ramah. Akan tetapi, ada yang berbeda dari sorot matanya. Aku lihat ada luka begitu dalam di dasar sana.“Dari sana jam berapa, Gus? Bagaimana kabar Mayla? Kangen saya sama anak itu.”Astaghfirullah...Rasa cemburu kembali menyayat-nyayat kalbu. Kenapa Mas Abraham tetap saja tidak bisa melupakan Dek Mayla. Tidakkah dia tahu perasaanku seperti apa jika dia menyebut namanya dan mengucap kata rindu?Allahu Akbar...Mengambil napas dalam-dalam, menepis