Tidak lama kemudian datang seorang dokter laki-laki bersama dua orang perawat. Mereka terlihat sibuk dengan tugas masing-masing. Satu orang perawat memasangkan infus di tangan, sedang yang satunya lagi membantu dokter menyiapkan alat yang entah apa namanya aku tidak tahu.Sebenarnya sedikit merasa kurang nyaman karena harus ditangani oleh dokter laki-laki. Tetapi keadaannya sudah gawat darurat. Dan kata pihak rumah sakit, hanya ada dokter laki-laki yang sedang berjaga pagi ini. Itupun sudah hampir pulang setelah selesai membantu persalinan.Dokter menyuruhku melipat kaki dan membukanya lebar-lebar, persis seperti orang mau melahirkan. Aku hanya bisa pasrah. Pun dengan suami yanh sejak tadi terlihat begitu gelisah.“Ambil kasa, Lin!” Terdengar dokter berkacamata itu memerintah salah seorang asistennya.“Ini ada kontraksi ya, Bu, Pak. Sama keluar flek sedikit,” terang dokter seraya terus memeriksa.“Apa yang Ibu rasakan saat ini? Apa perut bagian bawah Ibu terasa kencang?” Dia bertanya
POV Gus Azmi Menatap lamat-lamat wajah istri yang terbaring di atas ranjang sambil menggenggam jemarinya. Rasanya sedih sekali melihat dia seperti ini. Meringis kesakitan, bahkan sekarang tidak bisa bergerak bebas. Aku menyesal karena telah membuat dirinya bersedih. Menitikkan air mata, hingga dia mengalami kontraksi karena terlalu banyak pikiran juga kelelahan. Aku suami lalai. Tidak bisa menjaga istri serta calon bayi kembarku yang ada si dalam rahim belahan jiwaku. ‘May. Kamu tenang saja. Aku juga sudah menganggap Raihan seperti anak aku sendiri. Kamu hati-hati di situ. Jaga kesehatan dan jangan telat makan. Nanti mag kamu kambuh.’ Ah, kenapa kata-kata Mas Bram tadi terus saja terngiang di telinga, menghadirkan rasa sesak di dalam dada, karena sepertinya laki-laki berambut panjang itu masih begitu memperhatikan Dek Mayla. Apa cintanya kepada istriku masih begitu besar, tidak luntur sedikit pun walaupun dia tahu statusnya sekarang ini adalah milikku? Cemburu? Itu pasti. Takut
Setelah menempuh perjalanan sekitar tujuh jam, akhirnya sampai juga di depan toko bunga milik Mas Abraham. Ada perasaan bersalah menelusup ke dalam hati saat melihat pria berambut panjang itu sedang duduk termenung sendiri di depan toko, sebab aku telah merebut wanita yang teramat dia cinta.Namun, semua itu sudah suratan takdir dari Sang Pemilik Hati. Aku harus bersyukur serta berterima kasih karena dia telah menjaga jodohku.“Assalamualaikum, Mas!” sapaku pelan.“Waalaikumussalam. Maa syaa Allah. Njenengan sudah sampai, Gus?” Dia menjawab ramah. Akan tetapi, ada yang berbeda dari sorot matanya. Aku lihat ada luka begitu dalam di dasar sana.“Dari sana jam berapa, Gus? Bagaimana kabar Mayla? Kangen saya sama anak itu.”Astaghfirullah...Rasa cemburu kembali menyayat-nyayat kalbu. Kenapa Mas Abraham tetap saja tidak bisa melupakan Dek Mayla. Tidakkah dia tahu perasaanku seperti apa jika dia menyebut namanya dan mengucap kata rindu?Allahu Akbar...Mengambil napas dalam-dalam, menepis
“Njenengan yakin nggak kenapa-kenapa, Gus?” Mas Abraham kembali bertanya.“Insya Allah tidak apa-apa, Mas. Cuma pusing sedikit!” jawabku seraya menoleh ke arah Mas Abraham yang sedang fokus mengemudi.“Saya jadi nggak enak sama njenengan. Gara-gara saya tidak fokus menyetir, njenengan malah jadi korban.”“Apa sampean masih mencintai Dek Mayla, Mas?” Memberanikan diri untuk bertanya.Hening. Hanya suara derum mesin kendaraan serta suara napas berat Mas Abraham yang terdengar.Sekali lagi menoleh menatap wajahnya, dan lelaki berambut panjang itu masih duduk dalam mode yang sama. Tetap fokus mengemudi tanpa menghiraukan pertanyaan dariku.Tidak apalah. Mungkin dia merasa sungkan jika mengakui perasaan yang sebenarnya. Aku anggap diamnya itu sebagai jawaban tidak. Dan semoga saja benar adanya. Mas Abraham sudah benar-benar melupakan Dek Mayla serta menepis rasa cinta yang bertakhta di sanubari.“Sudah sampai, Gus!” ucap Mas Abraham pelan, memecah keheningan.Aku menatap sebuah rumah berga
Pelan-pelan kuteguk air putih yang ada di tangan, walaupun tenggorokan ini rasanya begitu sulit untuk menelan.Takut. Begitu khawatir jika doa Mas Abraham didengar oleh Allah dan Yang Maha Kuasa memisahkan aku dengan Dek Mayla.Astaghfirullahaladzim...Laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil adziimi...Meletakkan gelas di atas meja. Berjalan terhuyung menuju kamar kemudian lekas menggelar sajadah, bertafakur diri memohon supaya Tuhan tidak mengabulkan doa-doa lelaki berambut gondrong itu.Aku sudah terlalu lama menunggu agar bisa bersatu dengan Dek Mayla. Aku juga sangat mencintai perempuan bermanik coklat itu, dan tidak akan sanggup jika harus dipisahkan dengannya.Mengusap wajah perlahan, bertilawah sebentar sambil menunggu azan Subuh berkumandang, agar hati serta pikiran terasa tenteram.“Assalamualaikum!” Tok! Tok! Tok!Terdengar suara Mas Abraham mengetuk pintu seraya mengucap salam. Gegas beranjak bangun dari atas sajadah, membuka pintu untuk tuan rumah yang sedang aku
“Ya sudah. Semoga saja Mas segera bertemu dengan Mas Ibnu dan bisa membawa Raihan kembali. Aku sudah kangen banget sama dia. Dedek bayi perut juga sudah kangen sama Abinya,” ucapnya dengan manja.Aku melirik ke arah Mas Bram yang terus saja memperhatikan. Berusaha bersikap biasa kepada Dek Mayla, tidak ingin menunjukkan kemesraan si depan pria berambut gondrong tersebut demi menjaga perasaannya.“Ya sudah, Dek. Mas maem dulu, ya. Adek juga jangan lupa maem, istirahat yang cukup, jangan mikir yang berat-berat. Jangan lupa juga minum vitamin sama susu hamilnya ya sayang.”“Iya, Mas. Mas juga hati-hati di Jakarta. Assalamualaikum!”“Waalaikumussalam!” menekan tombol merah lalu meletakan kembali ponselku di atas meja.Sesaat suasana menjadi hening. Mas Abraham terus saja menatap ke luar jendela, seperti sedang menyembunyikan perasaannya yang pasti terbakar cemburu melihatku sudah bahagia dengan istri.Maafkan saya, Mas Bram. Bukan maksud memanas-manasi, tapi kalau Dek Mayla menghubungi da
Astagfirullah ....Aku tidak boleh berprasangka buruk terhadap dia. Mas Abraham tidak mungkin mempunyai pemikiran sejahat itu. Dia datang ke tempat kerjanya Mas Ibnu, pasti juga sedang mencari informasi tentang keberadaan putraku.Perlahan-lahan mobil hitam yang selalu dibawa ke mana-mana oleh Mas Abraham berjalan menjauh dari parkiran. Aku segera masuk ke dalam gedung itu, mencari informasi tentang Mas Ibnu dan ternyata tidak ada satu orang pun yang tahu di mana dia tinggal sekarang.Aku hampir saja putus asa karena tidak jua menemukan titik terang di mana Raihan berada.Baru saja hendak menstater motor, ponsel di dalam tas tiba-tiba bergetar. Ada panggilan masuk, dari Mas Abraham. Lekas kugeser tombol hijau, penasaran karena tiba-tiba dia menghubungiku.“Assalamualaikum. Ada apa, Mas?” sapaku kepada lawan bicara yang ada di seberang sana.“Waalaikumussalam, Gus. Saya sudah menemukan Raihan. Njenengan segera datang ke mal Taman Anggrek. Saya menemukan dia sedang bersama Mas Ibnu. Tap
“Kamu jangan terlalu memikirkan Raihan. Dia baik-baik saja. Mas pastikan Raihan akan kembali ke pelukan kita, sayang.”“Terima kasih, Mas. Pokoknya aku ikhlas tidak mendapatkan apa-apa dari Mas Ibnu, asalkan dia tidak mengambil anakku. Aku rela kehilangan semua asalkan jangan kehilangan putraku.”“Iya, sayang.”Segera kuakhiri panggilan, meminta Mas Abraham menyerahkan anjungan tunai mandiri milik Dek Mayla kepada Mas Ibnu.“Oke. Saya akan menyerahkan ATM ini, asalkan Mas Ibnu mau tanda tangan di atas materai. Aku ingin dia membuat pernyataan kalau dia tidak akan mengganggu kehidupan Mayla dan putranya!” usul Mas Abraham dan langsung kami sepakati.Gegas kami berjalan menuju tempat foto copy, menyuruh si empunya toko membuatkan surat perjanjian, menyuruh Mas Ibnu tanda tangan di atas materai dan setelah itu membawa Raihan pulang ke rumah Mas Abraham.Sebenarnya sudah tidak sabar membawa pulang putraku ke pesantren, karena hati sudah teramat merindukan Dek Mayla dan juga calon bayi kem