Nur semakin mempercepat langkah ketika merasakan langkah Agus semakin mendekat. Di belakangnya, Agus terus memanggil dengan setengah berlari."Nuraini, berhenti!"Nuraini masih tak menghiraukan. Dia malah berlari menghindari laki-laki yang telah mengajarkan banyak hal, namun juga meremukkan hatinya.Agus melirik ke sebuah jembatan yang dilaluinya. Dia menatap tubuh Nur yang kian menjauh. Agus ingin tahu seberapa besar cinta sang istri untuknya. Tentunya, dia juga masih waras untuk melakukan hal konyol tersebut."Nuraini Laila! Kamu berhenti atau aku melompat!" teriaknya sekuat tenaga. Agustus berdiri di tepi pagar jembatan dengan air sungai yang mengalir deras di bawah sana. Dia menoleh ke kanan kiri dan satu kakinya memanjat pagar tersebut. Suara beberapa orang yang meneriaki Agus, menghentikan langkah Nur. Dia membalikkan badan. "Mas Agus!" pekiknya. Agustus melirik sekilas ke arah Nur dan menyunggingkan senyum satu sudut. Laki-laki itu berbisik ke salah satu orang yang berkerum
"Nuraini, jangan becanda!" sentak Agus marah.Laki-laki itu memegang wajah istrinya dengan tatapan tajam. Nur memalingkan wajah. Hatinya kembali terasa sakit mengingat ucapan laki-laki yang bernama Gino tadi."Sudah Mas, kita siap-siap pulang."Nuraini beranjak namun Agus segera menyambar lengannya. Agus memeluk tubuh Nur dengan erat."Nuraini, percaya sama aku. Aku sudah jelaskan semuanya. Kamu lebih percaya sama orang yang baru kamu temui atau suami kamu, Nur?" tanyanya lirih di balik bahu sang istri. Agustus melepaskan pelukan dan kembali memegang wajah Nur. Menatap kedua mata wanita itu dengan sendu."Aku bukannya nggak tahu, aku juga bukannya nggak dengar gosip tentang aku setelah aku berpisah dengan Susan. Tapi aku nggak perlu menjelaskan apa-apa karena itu nggak penting. Aku nggak pernah berurusan dengan mereka, Nur. Dan sekarang mereka akan diam dengan sendirinya."Nuraini bertanya ragu. "Lalu, lalu ... ke-kenapa, laki-laki itu berkata begitu, Mas?"Agustus mendesah kasar lal
Agus berjingkat kaget. Nuraini memperhatikan serpihan-serpihan kertas yang berada di dalam kloset dengan kening berkerut."Kertas apa itu?" tanya Nur lagi."Eh, bukan apa-apa, Nur. Kertas nggak penting," jawab Agus gugup, lalu menekan tombol kloset. Kini perhatian Nur beralih pada suaminya. Dia yakin, ada hal penting yang disembunyikan oleh Agus. Apalagi wajah laki-laki itu terlihat murung dan sembab. Kalau tidak penting kenapa buangnya di kloset? Nur hanya bisa membatin.Nuraini mengangkat tangan, memegang wajah suaminya. "Mas menangis? Ada apa ini? Apa ada sesuatu yang serius dengan Ibuk, Mas?" cecarnya khawatir.Agustus menggeleng dan menepis pelan tangan sang istri. Dia juga tidak berani membalas tatapan mata wanita itu. Agus bergegas keluar dari kamar mandi. Nuraini yang masih penasaran mengekor."Kita siap-siap pulang, Nur," Agus segera mengambil baju-bajunya. "Mas, sebenarnya kenapa dengan Ibuk?" tanya Nur sambil memegang lengan sang suami sehingga Agus menghentikan kegiatann
Nuraini tersenyum miris. Menyesalkan sikap agresifnya pada Agus. Walaupun Agus berstatus sebagai suami, namun jika laki-laki itu tidak sungguh-sungguh berusaha mencintainya, semua yang Nur lakukan seperti sia-sia.Nur merasa dirinya tak lebih dari perempuan muda murahan. Kembali setetes air jatuh ke pipinya. Nur mengusapnya cepat, supaya tidak dilihat oleh Agus."Nuraini, kamu jangan bicara kayak begitu. Tolong pahami aku, Nur. Bersabarlah, cinta itu nggak bisa dipaksakan. Dia akan datang seiring berjalannya waktu. Kamu mengerti?""Iya, Mas. Aku sudah siap, Mas." Nuraini mengalihkan pembicaraan. Dia kembali memeriksa barang bawaannya. Agus menggeleng samar memperhatikan istrinya itu. Agustus mendekat ke arah Nur, tetapi dengan cepat Nur menghindar."Nuraini!" Merasa diabaikan, Agus menjadi geram. Dia menarik tangan Nur dan mendekap tubuh mungil itu dengan erat. Nuraini memalingkan wajah ketika Agus hendak mendaratkan ciuman di bibirnya. Wanita itu mendorong pelan tubuh Agus berusaha
"Omong kosong macam apa, ini, Nuraini!" Agus kembali terpancing emosi. Laki-laki itu bangkit dan memejamkan mata. Kedua tangannya masih terkepal dengan kuat."Arrgh!" Pyaar! Agus menggeser kasar benda di atas meja. Piring dan gelas di atas meja makan itu jatuh ke lantai dan isinya berhamburan. Nuraini bergerak pelan, lalu bersimpuh di lantai dengan air mata bercucuran. Dengan pandangan samar akibat tertutup air mata, Nur memunguti pecahan piring dan gelas. Sesekali pula dia menyeka air matanya dengan punggung tangan."Jangan sentuh. Kamu menyingkirlah!" perintah Agus tegas, tetapi tidak dihiraukan oleh Nur.Agustus menepis pelan tangan Nuraini dan kembali meminta istrinya meninggalkan tempat itu. "Pergilah ke kamar. Kamu mandi dulu. Aku antar kamu ke makam Banu," ucap Agus dengan suara melunak. Nur tertegun sejenak lalu mengangguk. Dia bangkit sambil memegang pecahan piring."Arrgh!" "Nuraini!" Agus segera mendekati istrinya yang kembali bersimpuh sambil memegangi telapak kakin
"Nggak apa-apa, Mbah. Kalau Nur ingin tidur di rumah Mbah."Nenek Kanti langsung menoleh. Dia mengikuti langkah Agus dengan pandangannya. Laki-laki itu meletakkan satu box ayam goreng berserta lalapan.Nur melirik sekilas paper food box bertuliskan Kemangi Ijo. Dia tahu, itu rumah makan milik Farrel. Tiba-tiba Nur teringat akan cinta pertamanya yang tak sampai pada Farrel karena Nur minder dan sadar diri. Sekarang, Farrel telah bahagia bersama istri dan anaknya yang lucu. Nur sedikit tahu, awal rumah tangga Farrel dan Alifa yang selalu diwarnai pertengkaran. Namun mereka berdua bisa melewati saat-saat itu seiring hadirnya Alfa. Nur berharap dirinya tidak menyerah dan bisa menaklukkan hati Agus, suaminya. Ah, seandainya dia bisa. Nur tertawa miris dalam hati.Agus mengambil tiga buah piring dan sendok, lalu meletakkan masing-masing di hadapan Nenek Kanti, Nur, dan dirinya sendiri. Agus juga mengambilkan potongan ayam untuk sang istri dan Nenek Kanti."Makan, dulu. Cocok banget ada pec
"Dua hari saja, ya, Nur. Jangan lama-lama di rumah Mbah," rengek Agus lagi seperti anak kecil.Nuraini memejamkan mata. Dia tidak tahu orang macam apa suaminya ini. Nur mendorong pelan dada Agus, meminta lelaki itu melepaskan pelukannya.Nur mendongak dan menggenggam tangan suaminya dengan mata berkaca-kaca. "Aku nggak bisa di sini terus, Mas. Aku pengin tenang. Biarkan kita sama-sama berpikir," ucapnya kemudian kembali mencium punggung tangan suaminya.Dengan tak rela, Agus melepaskan pelukan. Mereka menoleh ketika mendengar suara mobil berhenti di dekat pagar rumah. Agustus kembali menatap Nur dengan tatapan penuh arti."Kamu manggil taksi, Nur? Biar aku antar," ucap laki-laki itu.Nur menggeleng pelan dan mengambil tas pakaiannya. Wanita itu bergegas keluar kamar. Langkah Nur terhenti di anak tangga paling bawah. Dia menatap datar pada Bella yang berdiri di ambang pintu. Lalu, Nur melirik suaminya yang berdiri di sampingnya. Bella melangkah mendekat dengan gaya angkuhnya dan mempe
"Lho, terus ke mana, Nduk?" tanya tukang ojek itu bingung.Nur segera naik kembali ke boncengan motor setelah memberikan sebuah alamat. Nur tidak ingin ke rumah Nenek Kanti, setidaknya untuk hari ini."Lha, kok nggak diantar sama Pak Lurah, to Nduk?" tanya laki-laki itu samar di antara desau angin."Mas Agus lagi banyak kerjaan, Pakdhe." Nur menjawab asal. Laki-laki paruh baya yang tengah fokus menyetir motor itu mengangguk samar meskipun tidak percaya alasan yang diutarakan oleh Nuraini. Tidak kurang dari 15 menit, motor berhenti di depan pintu pagar rumah cluster. "Terima kasih, Pakdhe. Kembaliannya buat Njenengan saja," ucap Nur sembari memberikan uang seratus ribu."Yuuh, matursuwun ya, Nur. Moga saja rezeki kamu dan Pak Agus tambah berkah.""Aamin!" Rupanya, pembicaraan Nur dan tukang ojek itu didengar pemilik rumah yang tengah berada di garasi. Laki-laki muda itu mendekat dan membuka pintu pagar."Nuraini, ka-kamu." Pandangan Farrel lantas tertuju pada tas pakaian yang tergel