Agus mengeryit melihat kelakuan Nur. Wanita itu tidak lagi bersikap malu-malu seperti sebelum mereka melakukan hubungan suami istri. Nuraini tersenyum penuh arti dan memberanikan diri mencium sekali lagi bibir laki-laki di depannya."Istrinya aku mau ngomong apa?" tanya Agus lirih. Agus memejamkan mata, membiarkan Nur mengusap wajahnya dan menciuminya. Agus justru semakin mengeratkan pelukan pada tubuh kecil itu.Sikap sedikit agresif dari Nur kembali membangkitkan keinginan lelaki itu untuk meminta lebih. Akhirnya, tanpa menunggu persetujuan, Agus kembali mengajak Nur mengulanginya. Nuraini tidak menolak. Walaupun hatinya nelangsa, dia tetap melayani Agus dan tak menghiraukan rasa tidak nyaman pada bagian tubuh bawahnya."Nuraini, masih sakit?" tanya Agus lirih sambil mengecup pelan pipi wanita itu.Nuraini menggeleng pelan. Rasa sakit itu masih ada. Akan tetapi, lebih sakit jika mengingat sang suami melakukan itu hanya demi kepuasan hasrat. "Benarkah apa yang dikatakannya kalau di
"Nuur, Nur ... bangun. Sudah subuh!"Agus menunduk dan mencium kening Nur. Dia mengusap pelan rambut panjang istrinya. Nuraini mengerjap kaget dan menatap Agus dengan bingung.Agustus terkekeh melihat kebingungan di wajah sang istri. Laki-laki itu duduk di tepi tempat tidur dengan jemari mengusap kepala istrinya."Kenapa bingung? Kamu lupa ya, kita sudah menikah, hm? Kenapa kamu peluk bajunya bukan orangnya?" goda Agus.Nur memalingkan wajahnya yang memerah. Agus menyunggingkan senyum dan menatap beberapa bercak merah di leher dan dada istrinya. Nur langsung mengikuti arah pandangan lelaki itu dan menarik selimut, menutupi tubuhnya sampai batas leher."Nggak usah ditutup. Aku sudah lihat jelas banget semuanya." Agus kembali menggoda lalu menunduk dan mencium bibir Nur sekilas."Pak Agus, kenapa Bapak jadi mesum?'Agus terbelalak mendengar panggilan Nur yang kembali berubah. "Hei, kenapa kamu panggil aku Bapak lagi? Aku suami kamu, lho. Bukankah semalam kamu sudah lancar memanggilku, '
Mendengar suaranya saja, wajah Agus langsung berubah masam. Tanpa menghiraukan tatapan bertanya dari Nur dan Nenek Kanti, laki-laki itu segera bangkit dan mendekati wanita cantik yang berdiri di depan pintu.Agustus menatap datar pada wanita itu sembari memasukkan kedua telapak tangannya ke saku celana. Wanita tersebut melongok ke arah ruang makan, menatap dingin ke arah Nur, lalu tersenyum satu sudut."Jadi, itu istri kamu, Ji? Nggak salah nih, dibuang Susan kamu dapatnya gadis polos kampungan begitu? Oh, ya, nggak mungkin masih gadis kan? Siapa sih yang nggak mau sama duda keren banyak duit? Ck, ck!" ejeknya. Agus mengeraskan rahangnya dan melirik ke arah Nur yang menunduk dalam. Nur segera bangkit dari tempat duduk diikuti oleh neneknya. Saat melewati Agus, lelaki itu segera menyambar tangan Nur. Nenek Kanti mematung, memperhatikan ketiganya."Wanita yang kamu bilang kampungan, tapi nggak pernah menawarkan dirinya padaku. Nggak pernah mencoba merayuku, apalagi demi uang. Nggak per
Agustus menyipitkan mata mendengar sindiran istrinya. "Kamu cemburu, Nur?" tanyanya sembari merangkul bahu Nur.Nuraini menghentikan langkah di depan pintu. Dia mendongak menatap lelaki bertubuh tinggi tersebut. Agus terkekeh dan menarik tubuh mungil Nur ke dalam pelukannya. Tinggi Nuraini hanya sebatas dada Agus. Lelaki itu menunduk dan memegang wajah sang istri"Kamu cemburu, Nur?" ulang Agus lagi. Nuraini mendengus kasar membuang rasa kesal di hati. "Kok nggak dijawab," kejar laki-laki itu."Nggak, aku cuma menyayangkan saja, Mas. Nggak seharusnya aku keluar kamar dan melihatnya. Supaya acara ciumannya khusyu.""Ha ha ha!" Agus langsung terbahak. "Kamu ingin aku melakukan itu, hm? Begini?" Tanpa basa-basi Agus melahap bibir tipis Nur. Wanita itu mendorong dada sang suami, namun Agus justru mengeratkan pelukannya. Cukup lama mereka hanyut dalam ciuman. Agustus menghentikan ciuman sejenak dan menatap sayu pada sang istri."Nanti di Malang kita bikin yang khusyu, Nur. Sekarang, nggak
"Lho, lho, yo opo rek, isoke nikah ra ngabari iku lho!" ( Bagaimana sih, nikah tidak memberi kabar itu) ulang laki-laki itu dengan mata menyipit curiga.Agus berdehem lirih dan menggaruk pelipis. "Maaf, Mas. Belum ngadain resepsi, InshaAllah nanti aku undang," jawabnya canggung."Gus, syukurlah nek awakmu wes tob--" Agustus langsung menepuk pelan bahu laki-laki itu. Laki-laki tersebut merangkul bahu Agus sembari terkekeh dan berbisik lirih, "Yo opo, luwih enak karo wong wedok kan, Gus? Weslah, Gus, ojo suwe-suwe awakmu tersesat." (Bagaimana lebih enak sama perempuan kan? Sudahlah, jangan lama-lama kamu tersesat)"Aku masih belajar, Mas. Doain aku bisa dan kembali ke jalan yang lurus. Aku tersiksa, Mas, kayak gini terus," balas Agus sembari berbisik pula. Dia melirik Nur yang berdiri tak jauh darinya. Wanita itu malah sibuk memperhatikan ombak pantai sembari memvideokannya menggunakan kamera ponsel."Iyo, Gus. Nggak semua perempuan itu bajingan dan murahan seperti Susan. Lihat tuh ist
"Mas Agus jangan pernah begini sama orang lain, ya. Aku nggak ikhlas. Aku akan marah banget dan bisa membencimu, Mas," lirih Nur sembari memegang wajah sang suami.Agustus menatap Nur dengan nanar kemudian mendekap tubuh sang istri. Mencium bibir wanita di bawah kungkungannya itu dengan lembut. Agus mengerjap, sudut matanya terasa basah.Laki-laki itu menghentikan ciuman, lalu menatap Nur dengan tatapan berkabut. "Apa kamu mencintaiku, Nur?"Nur mengerjap dan mengangguk pelan. "Aku mencintaimu, Mas. Karena kamu suamiku. Jangan khianati cintaku, Mas." Setelah berkata begitu, Nur merengkuh bahu Agus dan terisak di dada lelaki itu. Nur memukul pelan lengan kekar Agus. Laki-laki itu semakin tertegun dengan kejujuran sang istri. Seharusnya dia senang atas pengakuan wanita itu. Namun, Agus justru merasa takut dan sedih. Dia takut akan mengecewakan wanita itu."Jangan mencintaiku terlalu dalam kalau kamu nggak bisa menerima kekuranganku, Nur. Aku nggak sebaik yang kamu pikirkan. Aku banyak
"Mas, apaan sih?"Nuraini mendorong dada suaminya. Agus tak menjawab dan kembali menarik pelan tangan Nur menuju ke mobil. Pandangan laki-laki itu masih tertuju ke lobby hotel. Nur mengikuti arah pandangan Agus, lalu menyentuh pelan lengan sang suami."Mas, ada apa sebenarnya? Siapa yang Mas lihat?" tanya Nur lagi.Agus menatapnya tanpa ekspresi. "Teman aku, tapi dia nggak sama istrinya," jawabnya berbohong. Agustus tidak ingin mengatakan hal yang sebenarnya."Kenapa banyak banget orang seperti itu? Astaghfirullah. Apa enaknya coba, berhubungan sembunyi-sembunyi begitu?" Agus mengangguk pelan. "Orang yang terbiasa berselingkuh akan merasa nyaman-nyaman saja, Nur," jawabnya sambil mengusap kepala istrinya."Mana ada orang selingkuh nyaman, Mas? Yang ada seperti kucing ketahuan nyolong ikan asin," sahut Nur sembari tertawa. Agustus tersenyum mendengar jawaban istrinya. Dia mencondongkan wajah ke arah sang istri. "Berarti Dion itu kucing garong yang nyolong ikan asin?""Hah, siapa Dion
"Dasar munafik. Pengkhianat!" Laki-laki tersebut menatap geram pada Agustus yang berenang bersama Nuraini. Laki-laki itu bergegas bangkit dari tempat duduk, namun dengan cepat lengannya ditarik oleh teman lelakinya."Oh, sekarang kamu ingin pergi begitu saja setelah melihat Agus? Ya, dia memang lebih tampan dariku, Gino!" ucap lelaki gemulai itu sembari menekan suaranya.Gino langsung melengos. Laki-laki bertubuh kekar itu kembali duduk dan mengusap-usap lengan kekasih sejenisnya. "Maaf, Sayang. Aku nggak tertarik dengannya, aku cuma geram karena dia mengkhianati temanku," dalihnya. Laki-laki gemulai dengan style rambut curly itu mencibir, memanyunkan bibir seksinya. "Ah, alasan. Paling kamu juga tertarik kan, sama dia? Dari tadi kamu lihat dia terus. Iya, badan dia bagus, atletis, nggak seperti aku, bulet," sungutnya lirih sambil mengusap-usap pipinya yang basah oleh air mata palsu.Gino mendengus, berusaha untuk sabar. "Sayang, jangan marah dong, ah," rayunya. "Kalau begitu ayo k