"Maaf ya, Nduk. Mbah nggak bisa bantu kamu, nggak seharusnya kamu bekerja keras seperti itu, Nur. Seandainya ibuk sama bapakmu nggak tergoda bujukan Sutoro. Seandainya bapakmu nggak jadi orang salah jalan, Nur. Kamu pasti bisa kuliah, Nduk..."Nuraini mengusap-usap punggung ringkih perempuan tua tersebut dengan mata berkaca-kaca. Memang jalan hidupnya telah berbalik karena ulah kedua orang tuanya. Jika mereka tidak mengabdi pada setan maka Nur dan neneknya juga tidak merasakan malu. Beruntung, Pak Haji Imran masih selalu berbaik hati menolong Nur dan neneknya.Begitu juga dengan orang tua Alisha yang bersedia menerima Nur bekerja paruh waktu di tokonya. Namun, gaji pegawai toko juga hanya cukup untuk keperluan sehari-hari dan biaya sekolah Nur yang akan lulus beberapa bulan lagi. Nur juga merasa malu jika selalu mendapatkan bantuan dari Bu Halimah. Gadis itu mengusap air matanya. Teringat kembali lamaran Agus ketika itu. Jika dia mau menerima lamaran Agus maka hidup Nur dan neneknya
"Sya-syarat apa, Pak?" Nuraini terkejut.Agus menggaruk rambutnya, lalu menatap gadis berparas manis tersebut. Nur langsung menunduk tidak berani membalas tatapan laki-laki di depannya.Agus berdehem lirih. "Nuraini, setelah menikah, kamu tidak boleh mengajukan gugatan cerai. Bagaimana, kamu setuju?" tanya lelaki itu.Nuraini langsung mendongak, memberanikan diri membalas tatapan mata laki-laki dewasa itu. Dia sudah tidak bisa mundur lagi sekarang. Keputusan yang telah dilontarkan menerima lamaran Agus seperti sebuah jebakan untuk dirinya sendiri."Bagaimana, Nur? Kamu tidak keberatan?" ulang Agus lirih. "Maaf, Nur. Saya rasa kamu sudah tahu tentang masa lalu saya. Saya sudah pernah mengalami kegagalan dan saya tidak ingin hal itu terulang lagi. Saya tidak ingin merasakan kembali pahitnya perceraian, Nur."Nuraini mengangguk pelan. "I-iya, saya setuju, Pak. Saya akan berusaha menjadi istri yang baik, Pak." Akhirnya, jawaban itu terlontar dari bibir tipis itu."Baiklah, kalau begitu, sa
"Mbah, mulai sekarang ini kamar Njenengan. Jangan sungkan kalau perlu apa-apa, panggil Mbak Susi, nggih."Agus menunjukkan kamar yang cukup besar di lantai satu rumahnya. Nenek Kanti, hanya melongo memperhatikan seisi kamar yang lengkap dengan tempat tidur berukuran queen size. Lemari pakaian berwarna putih dua pintu berdiri elegan di sisi tempat tidur.Nuraini yang ikut memasuki kamar, ikut takjub. Dia menatap tak enak hati pada Agus. Laki-laki itu menyunggingkan senyum sekilas.Mulanya, Nenek Kanti tidak ingin ikut Nur ke rumah Agus. Perempuan tua itu memilih hidup di rumahnya yang sederhana. Namun, Agus sedikit memaksa supaya Nenek Kanti mau pindah ke rumahnya supaya lebih dekat dengan Nur. Apalagi setelah ini, Nur akan memasuki bangku kuliah sehingga tidak punya banyak waktu menemui neneknya. "Le, apa ini nggak terlalu apik. Mbah turu, nek mburi wae karo Mbak Susi, ya Le." ( Mbah tidur di belakang saja sama Mbak Susi.) Nenek Kanti bernegosiasi. Agus tersenyum dan mendekati wanit
"Bolehkah aku mencium kamu, Nur?" ulang Agus lirih. Nur terdiam beberapa saat lalu memutuskan mengangguk pelan. Gadis itu menunduk malu-malu, namun Agus segera mendongakkan wajah sang istri dengan pelan. Ciuman. Itu pertama kali dialami oleh Nur. Dulu semasa Banu masih hidup, pemuda itu hanya mencium kening dan pipinya.Nuraini seperti kehabisan napas. Dia mendorong pelan dada Agus. Agus meraih kepala Nuraini dan menyatukan kening mereka. Napasnya memburu. "Maaf, Nur. Maaf," ucapnya lirih. Agus merasa menjadi orang yang munafik. Ketika dia tengah mencium Nuraini, hatinya masih tertinggal di satu raga. Raga Sigit. Ingatan Agustus tentang Sigit, saat dirinya mencium Nur membuat lelaki itu menyesal. Tidak seharusnya dia memanfaatkan keinginannya pada Nuraini, gadis belia yang sekarang berstatus istrinya."Ya, sudah, kamu mandi dulu, Nur." Agus mencium kepala Nur lalu bergegas meninggalkan gadis itu. Nuraini masih termangu. Nur mengusap bibirnya yang basah. Dadanya berdebar kencang. A
Nuraini hanya pasrah ketika Agus menjelajahi tubuhnya walaupun dia merasa ketakutan. Bagaimanapun juga, Agus adalah suaminya. Lelaki itu berhak penuh atas dirinya."Ak-aku ta-takut, Mas," bisik Nur lirih. Agus mencium kening gadis di bawah kungkungannya. "Aku nggak akan kasar, Nur. Aku akan pelan-pelan jangan takut," balasnya.Sekali lagi, Nur mengangguk pasrah ketika Agustus mengajaknya menggumamkan do'a. Nuraini terisak lirih ketika lelaki itu mengambil haknya. Antara sedih, sakit, dan kehilangan. Mahkota berharga yang dijaganya selama hampir 19 tahun, kini telah diambil orang yang berhak. Meskipun orang itu belum mengisi hatinya."Maaf, Nur." Agus berkata lirih di antara deru napasnya. Laki-laki itu mengusap pipi basah Nuraini dan mencium bibir istrinya untuk meredam rintihan wanita itu. Nur memejamkan mata rapat merasakan "penyiksaan" yang cukup panjang itu. "Nur, terima kasih sudah memberikannya untukku," bisik Agus sambil menjatuhkan dirinya di atas tubuh lembab Nuraini."Sud
Agus mengeryit melihat kelakuan Nur. Wanita itu tidak lagi bersikap malu-malu seperti sebelum mereka melakukan hubungan suami istri. Nuraini tersenyum penuh arti dan memberanikan diri mencium sekali lagi bibir laki-laki di depannya."Istrinya aku mau ngomong apa?" tanya Agus lirih. Agus memejamkan mata, membiarkan Nur mengusap wajahnya dan menciuminya. Agus justru semakin mengeratkan pelukan pada tubuh kecil itu.Sikap sedikit agresif dari Nur kembali membangkitkan keinginan lelaki itu untuk meminta lebih. Akhirnya, tanpa menunggu persetujuan, Agus kembali mengajak Nur mengulanginya. Nuraini tidak menolak. Walaupun hatinya nelangsa, dia tetap melayani Agus dan tak menghiraukan rasa tidak nyaman pada bagian tubuh bawahnya."Nuraini, masih sakit?" tanya Agus lirih sambil mengecup pelan pipi wanita itu.Nuraini menggeleng pelan. Rasa sakit itu masih ada. Akan tetapi, lebih sakit jika mengingat sang suami melakukan itu hanya demi kepuasan hasrat. "Benarkah apa yang dikatakannya kalau di
"Nuur, Nur ... bangun. Sudah subuh!"Agus menunduk dan mencium kening Nur. Dia mengusap pelan rambut panjang istrinya. Nuraini mengerjap kaget dan menatap Agus dengan bingung.Agustus terkekeh melihat kebingungan di wajah sang istri. Laki-laki itu duduk di tepi tempat tidur dengan jemari mengusap kepala istrinya."Kenapa bingung? Kamu lupa ya, kita sudah menikah, hm? Kenapa kamu peluk bajunya bukan orangnya?" goda Agus.Nur memalingkan wajahnya yang memerah. Agus menyunggingkan senyum dan menatap beberapa bercak merah di leher dan dada istrinya. Nur langsung mengikuti arah pandangan lelaki itu dan menarik selimut, menutupi tubuhnya sampai batas leher."Nggak usah ditutup. Aku sudah lihat jelas banget semuanya." Agus kembali menggoda lalu menunduk dan mencium bibir Nur sekilas."Pak Agus, kenapa Bapak jadi mesum?'Agus terbelalak mendengar panggilan Nur yang kembali berubah. "Hei, kenapa kamu panggil aku Bapak lagi? Aku suami kamu, lho. Bukankah semalam kamu sudah lancar memanggilku, '
Mendengar suaranya saja, wajah Agus langsung berubah masam. Tanpa menghiraukan tatapan bertanya dari Nur dan Nenek Kanti, laki-laki itu segera bangkit dan mendekati wanita cantik yang berdiri di depan pintu.Agustus menatap datar pada wanita itu sembari memasukkan kedua telapak tangannya ke saku celana. Wanita tersebut melongok ke arah ruang makan, menatap dingin ke arah Nur, lalu tersenyum satu sudut."Jadi, itu istri kamu, Ji? Nggak salah nih, dibuang Susan kamu dapatnya gadis polos kampungan begitu? Oh, ya, nggak mungkin masih gadis kan? Siapa sih yang nggak mau sama duda keren banyak duit? Ck, ck!" ejeknya. Agus mengeraskan rahangnya dan melirik ke arah Nur yang menunduk dalam. Nur segera bangkit dari tempat duduk diikuti oleh neneknya. Saat melewati Agus, lelaki itu segera menyambar tangan Nur. Nenek Kanti mematung, memperhatikan ketiganya."Wanita yang kamu bilang kampungan, tapi nggak pernah menawarkan dirinya padaku. Nggak pernah mencoba merayuku, apalagi demi uang. Nggak per