KAULAH YANG MEMBUAT AKU INGIN HIDUP SERIBU TAHUN LAGI" Begitulah bunyi tulisan yang ada di bagian kanan bawah lukisan. Tak lupa Mas Irsyad menuliskan tanggal lukisan itu dibuat, tanda tangan, serta namanya.Hatiku seperti dicabik-cabik, dadaku bergemuruh, tubuhku bagai tersetrum aliran listrik ribuan watt. Memang tidak ada kata cinta di kalimat itu, tapi kalimat itu sudah mewakili betapa dalam perasaan Mas Irsyad pada Nisa.Teringat kembali saat aku menangis meraung-raung karena mobil remote mainanku direbut oleh Mas Irsyad. Haruskah sekarang aku juga melakukan hal yang sama seperti lima belas tahun lampau? Menangis lalu mendatangi Mas Irsyad, meninju dadanya bertubi- tubi dengan kedua kepal tanganku. Lalu, berhenti saat Mas Irsyad dengan wajah merengut melemparkan mobil remote ke arahku.Terbayang kini tubuh ringkihnya pasti akan terhuyung lalu ambruk tak berdaya jika aku meninjunya. ‘Tega jah kau lakukan itu pada Mas Irsyad, kakakmu sendiri? Yang kini sedang merangkak menggapai hidu
Nisa terheran-heran, saat kukatakan padanya bahwa saat di menara tempo hari hanya ingin memberinya hadiah. Sepertinya ia tahu kalau aku berbohong. Namun, ia tak berani mengatakannya. Biarlah ... akan ada saatnya nanti kuungkapkan rasa cintaku ini. Jika sekarang tahu rasaku sebenarnya dan setelahnya aku harus pergi, pasti dia akan kecewa bertubi-tubi. Sungguh, aku tidak tega melihatnya. Karena aku sudah mantap untuk melepaskannya demi Mas Irsyad yang sudah cukup menderita. Aku rela, jika bersama Nisa membuat Mas Irsyad kembali memiliki semangat hidup, meski kukorbankan cintaku. Selain itu, aku juga ingin melihat Abah dan Umi tetap tersenyum. Saat ini yang mampu membuat mereka bahagia adalah melihat Mas Irsyad kembali memiliki semangat hidup.Nisa terisak, saat aku menyampaikan bahwa aku berubah pikiran untuk mengambil beasiswa di Negeri Jiran. Bukan hanya dia yang bersedih, aku pun sama. Mungkin kesedihanku dua kali lipat dari yang ia rasakan. Melepaskannya untuk lelaki yang tak lain a
POV KhairunnisaTerik matahari begitu menyengat, kuedarkan pandangan ke sekitar gerbang kampus. Aku tersenyum saat mendapati sosok Mas Iqbal telah menungguku di sana. "Sudah lama nunggu, Mas?" Aku berbasa-basi untuk menyembunyikan rasa grogi. "Nggak juga. Kita langsung jalan ya, Nis ...." Ada yang aneh. Kenapa nada suara Mas Iqbal datar ya, ada apa ini? Kutepis dugaanku, mengabaikan apa yang kurasa dan bergegas duduk di belakangnya. Berdua kami menyusuri jalanan Kota Cilacap yang panas. Sampai akhirnya pria berkemeja biru itu menghentikan kendaraannya di halaman resto yang menyuguhkan nuansa pedesaan. Setelah memarkir motor, kami memesan makanan lalu duduk di salah satu saung, berhadapan dengan meja bundar sebagai pembatasnya. Hening. Entah mengapa suasana begitu kaku, sampai ada pelayan yang datang mengantar pesanan. Setelah pelayan pergi Mas Iqbal membuka percakapan. Aku sudah tidak sabar untuk mendengarnya. "Nis, maafin aku, ya .... " Mas Iqbal menunduk. "Untuk apa?" Aku tak
Dengan alasan akan membeli tisu di mini market depan rumah sakit, aku keluar dari ruang tunggu ICU. Aku mencari Mas Iqbal ke segala penjuru. Perasaanku mengatakan Mas Iqbal ada di sekitar. Baru saja sepintas melihat sosoknya berkelebat di balik pilar rumah sakit yang tinggi dan lebar. Namun, saat kulihat dengan jarak dekat tak ada siapa pun di situ. Mungkinkah dia bersembunyi karena tak ingin bicara denganku tentang semua ini? Aku ingin minta penjelasannya, pasti ada hubungannya semua ini dengan niatnya untuk melanjutkan kuliah. Lalu, bagaimana pendapatnya tentang permintaan kedua orang tuanya. Akan tetapi, sepertinya aku harus memutuskan sendiri semua ini, karena tak kutemui sosoknya lagi. Setelah membeli tisu, aku kembali menemui Abah dan Umi di ruang tunggu ICU. Akhirnya aku putuskan untuk membantu memancing kesadaran Mas Irsyad. Tentang dia yang ternyata diam-diam mencintaiku, sementara aku abaikan. Aku berpikir nanti saja, setelah Mas Irsyad benar-benar pulih baru memutuskan apa
Aku terjaga saat sayup terdengar seseorang memanggil namaku. "Nis, Nisa ...." Suara itu sangat dekat. Kudongakkan kepala yang menelungkup di pinggir ranjang. Mengusap muka, berharap rasa kantuk bisa hilang. Aku terkejut, tak percaya kalau ternyata suara tadi adalah Mas Irsyad yang memanggilku. Dia sudah sadar. Wajah yang tadinya pucat kini terlihat ada semburat merah, matanya sudah membuka sempurna. Meski tatapannya masih sayu. "Alhamdulillah ... Mas Irsyad sudah sadar," pekikku kemudian. Kulihat jam di pergelangan tangan kiri, pukul 03.55. Kupencet bel di dinding atas tempat tidur, memanggil dokter jaga. Meminta bantuan untuk memberikan tindakan apa selanjutnya. Dalam hitungan detik, dokter telah masuk ke ruangan. Mengecek semuanya lalu tersenyum. Menurut dokter, melihat perkembangan Mas Irsyad yang cukup bagus, pagi nanti Mas Irsyad sudah bisa dipindah ke ruang perawatan. Beliau, juga berpesan agar Mas Irsyad jangan banyak bergerak dulu. Aku mengangguk, mengiyakan kata-katany
Tepat dua minggu setelah pulang dari rumah sakit, Mas Irsyad mengkhitbahku. Seluruh keluarga dekat hadir menyaksikan acara ini, kecuali Mas Iqbal. Ia tidak bisa pulang karena menurut cerita Abah masih sibuk mengurus keberangkatannya ke Malaysia dalam waktu dekat. Acara berlangsung lancar, hanya keluarga dekat yang menghadiri. Meski dengan jamuan sederhana, tapi mereka terlihat bahagia menyaksikan kami. Apalagi saat Mas Irsyad memberiku sebuah lukisan wajahku dengan bingkai kayu warna gold yang elegan. Aku menangis membaca kata-kata yang ada di pojok bawah kanvas. Teringat cerita Abah, bahwa yang pertama kali mengetahui lukisan itu adalah Mas Iqbal, saat Mas Irsyad mengantarku ke kampus pagi itu. Mereka mungkin menganggap isakku adalah tangis bahagia. Menilai aku telah cukup menderita saat batal dikhitbah oleh Mas Ilham, dan kini saatnya aku menemukan pengganti, yaitu Mas Irsyad. Memang begitulah hidup, orang hanya menilai apa yang ada di permukaan. Tanpa tahu gejolak di dasarnya. S
Aku tak percaya kalau mampu mengucap semua itu. Entah, rasa apa yang kini ada di hati. Namun, bisa kupastikan berbeda dengan perasaanku pada Mas Iqbal. Aku hanya tak tega kebahagiaan yang baru saja menyambangi Abah dan Umi akan terenggut bila hal buruk terjadi pada Mas Irsyad. Hingga refleks semua ini terucap. Baru saja rona bahagia terpancar dari wajah mereka, tapi hanya sekejap, kini berganti duka tak terkira. Aku sesenggukan, dengan kepala di atas dada Mas Irsyad kembali kupanggil nama calon suamiku itu. Air mata tumpah, membasahi jas pengantin yang ia kenakan. Sejenak meratapi nasibku. Haruskah ini terjadi? Pengantin priaku meninggal sesaat sebelum ijab kabul terucap. Sungguh sangat tragis. Ya Allah ... hikmah apa lagi yang akan Engkau tunjukkan? Abah menekan pergelangan tangan lelaki berusia enam tahun di atasku itu. Menurut Abah, denyutnya masih terasa. Lalu, seseorang mengusulkan untuk segera melarikan Mas Irsyad ke rumah sakit. Sementara seorang lagi berkata agar se
Hari beranjak malam, suasana kini mulai sepi. Para tamu sudah pulang sejak siang tadi, hanya beberapa kerabat dekat yang masih berada di rumah joglo ini. Gaun pengantin yang kupakai telah berganti gamis katun biru. Begitu juga Mas Irsyad, kini ia mengenakkan piama. Aku berjalan menuju kamar yang telah disulap layaknya peraduan raja dan permaisuri. Paduan warna biru dan silver menjadi pilihan Mbak Ainun untuk menghias kamarku. Meski aku sudah wantiwanti untuk sesederhana mungkin. Namun, Mbak Ainun tetap bersikukuh untuk menghiasnya menjadi mewah. "Ini momen bersejarah untukmu dan Irsyad, harus spesial, Nis. Karena kelak menjadi kenangan tak terlupakan." Mbak Ainun berkilah. Aku mengalah, karena wanita yang kuanggap layaknya saudara kandung itu mendapatkan dukungan dari Abah juga Umi. Diiringi Mas Irsyad, aku memasuki kamar pengantin. Tercium harum melati di setiap helaan nafas. Tiba-tiba jantungku berdebar tak beraturan, saat perlahan Mas Irsyad menutup pintu kamar lal